Soren Kierkegaard & Prometheus (movie) |
Film hasil karya sutradara terkenal Scott Riddley ini
membawa genre fiksi ilmiah. Prometheus diawali dengan adegan yang menurut saya
membingungkan maksud dan tujuannya sampai akhirnya bisa dimengerti setelah
pertengahan film. Bagian tersebut menceritakan tentang proses penciptaan
manusia, bahwa mereka diciptakan dari medium tanah dan air. Kemudian logika
membawa pemahaman pada adegan awal film ini yaitu bahwa untuk menciptakan
kehidupan baru yang ideal harus dengan menghancurkan kehidupan yang lama.
Isu terbesar dalam Prometheus ialah tentang pencarian sang
pencipta manusia, tuhan itu apa dan siapa dia. Isu-isu mengenai keyakinan
sangat dominan sepanjang alur Prometheus. Sisi relijius, scientology dan kapitalis saling bersinggungan membentuk alur
cerita yang harmonis dan problematis. Sisi relijius diwakili oleh tokoh
Elizabeth Shaw dengan latar belakang keluarga yang taat beragama. Misi
Prometheus ini ia gunakan untuk
membuktikan pandangannya mengenai keyakinan agama yang dijejalinya
selama ini. Tokoh Charlie Halloway memegang peran sebagai orang ya ng sangat scientologyst. Dia sosok yang berpegang
pada teori Chariots of the Gods: Unsolved
Mysteries of the Past, teori yang mengungkapkan bahwa teknologi, kebudayaan dan keyakinan bangsa-bangsa kuno seperti Maya, Babilonia, Mesir Kuno hingga ke Sumeria merupakan karya dari mahluk
angkasa luar yang disebut sebagai astronot atau dalam Prometheus disebut sebagai the engineer.
Kemudian
tokoh yang berjiwa kapitalis yaitu Peter
Weyland dan Meredith Vickers.
Mereka seolah menjadi tuhan dalam cara mereka sendiri. Mereka mendewakan uang
dan tidak peduli pada sisi relijius dan humanisme. Mereka bekerja pada
mekanisme mesin, sangat terikat pada aturan demi kenyamanan hidup. Ketiga sisi
ini dipertemuk an dalam satu misi dalam rangka mencari pembuktian eksistensi
sang pencipta. Keyakinan kuat mereka dilandasi dengan latar belakang yang
berbeda. Fokus yang sama yaitu mengenai pertanyaan: darimana kita berasal?; apa tujuan kita?; dan apa yang terjadi pada
kita setelah mati? Mereka memiliki keyakinan untuk membuktikan dan mencari
tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu.
Bahasan tentang keyakinan, fokus saya tertuju pada
seorang filsuf terkenal yaitu Soren Kierkegaard. Keyakinan berkaitan erat dengan pemahaman akan
kebenaran. Konsep kebenaran menurut Kierkegaard merupakan subjektivitas
manusia. Truth is subjectivity, itu salah satu slogan yang dikemukakan
olehnya. Unsur individualitas dalam pemikiran Kierkegaard sangat ditekankan,
bahwa individu memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya. Dengan memilih,
manusia akan melepaskan pilihan-pilihan lainnya. Oleh karena itu, keyakinan
untuk memeluk pilihan secara pribadi dan bebas merupakan kunci untuk melepaskan
diri dari kekecewaan. Orang harus harus berani meyakini apa yang dipeluknya dan
ini hanya dapat dilakukan bila ia memiliki iman (faith).
Menurut Kierkegaard, iman adalah the contradiction between the infinite passion of inwardness and the
objective uncertainty. Memilih dengan penuh keyakinan (faith) berarti melompat ke dalam ketidakpastian obyektif dan dengan
hasrat yang tak terbatas menjalankannya dengan penuh komitmen. Inilah yang
disebut kebenaran secara obyektif adalah sebuah paradoks dan dengan demikian
subyektivitas adalah kebenaran, kebenaran yang dijadikan milik pribadi.
Dalam Prometheus, peran yang dilakonkan oleh para
aktor tersebut menunjukkan dinamika hidup yang dihadapkan pada pilihan mengenai
keyakinan terhadap sang pencipta. Tiga sisi yang saling berinteraksi (relijius,
scientology dan kapitalis),
masing-masing memiliki keyakinan yang berbeda dalam memandang hakikat
penciptanya. Namun, mereka memiliki misi yang sama yaitu pergi sejauh mungkin
demi menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensialis di pikiran mereka. Mereka
melakukan misi Prometheus berawal dari kegelisahan terhadap pertanyaan
filosofis tentang asal-usul manusia.
Ada konflik yang terjadi di antara
tokoh-tokohnya ketika beberapa dari mereka percaya bahwa sang pencipta itu
memang the engineers dan beberapa
yang lain memilih untuk tidak percaya. Ini membuktikan sekaligus menunjukkan
bahwa pemikiran Kierkegaard tentang kebenaran sebagai subyektivitas memang
benar. Manusia memiliki kemampuan dan kebebasan untuk meyakini segala sesuatu
di hadapannya. Itu menunjukkan eksistensinya sebagai individu.
“I don’t know
but it’s the things that I used to believe,” kata Elizabeth Shaw. Itu salah
satu interpretasi kebenaran yang dimaksud Kierkegaard. Kebenaran subyektif perlu dipahami sebagai
kebenaran yang bersifat esensial bagi eksistensi manusia yakni kebenaran moral
dan relijius. Kierkegaard pun tidak menolak adanya kebenaran obyektif, dalam
hal ini ia percaya bahwa kebenaran obyektif dapat dicapai dengan ilmu
pengetahuan.
Referensi:
Rasikh Fuadi.
(2011). Soren Kierkegaard, Befilsafat
Melalui Pengalaman Hidupnya. http://filsafat.kompasiana.com/2011/10/24/soren-kierkegaard-berfilsafat-melalui-pengalaman-hidupnya/
(Diakses 23 Desember 2012)
R. Matindas. (2011).
Sahabat Kierkegaard. http://cdn.salihara.org/media/
documents/2011/02/12/k/u/kuliah_umum_sahabat_kierkegaard_-_matindas.pdf (Diakses 4 Desember 2012)
Thomas Hidya Tjaya.
(2004). Kierkegaard dan Pergulatan
menjadi Diri Sendiri. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
No comments:
Post a Comment