Jalur menuju Puncak Mahameru | gambar: viva.co.id |
****
Gerimis turun menjelang Stasiun Malang. Kaca jendela kereta mulai
mengembun. Di luar cuaca masih temaram, mungkin karena mendung. Kereta mulai
melambat dan suara klaksonnya yang menggema terdengar sebagai tanda. Beberapa
menit lagi akan tiba di pemberhentian selanjutnya, Stasiun Malang, yang juga
tujuan kami. Bunyi peron beradu dengan roda besi terdengar menyayat naluri
untuk segera turun. Aku mengajakmu, yang tengah memperhatikan alur air di kaca
jendela, turun.
”Oh ya? Ayok…ayok turun, sebentar.” Kamu bergegas mengambil tas ranselmu
dan tak sempat menggendongnya, hanya menentengnya.
Tak begitu kuperhatikan suasana hiruk pikuk stasiun siang itu. Perjalanan
kereta yang hampir tujuh jam itu membuat kami begitu lelah. Arloji menunjukkan
pukul 15.23 dan kami segera keluar area stasiun, mencari angkot tujuan Pasar
Tumpang. Itu tujuan kami selanjutnya karena di Pasar Tumpang inilah tempat
pengambilan formulir perijinan, sekaligus untuk mengurus surat keterangan sehat
dari puskesmas yang ada di sekitar pasar. Di luar stasiun, kami melepas lelah
dengan berisitirahat di depan warung nasi. Bukannya makan di warung tersebut,
kami justru membeli es dawet yang notabene warung sebelah penjualnya.
Kami harus segera meninggalkan stasiun peninggalan Belanda itu untuk
segera ke Pasar Tumpang. Hari telah beranjak sore dan angkot mulai sedikit dan
kami pun segera naik. Sesampai di Pasar Tumpang, kami menuju ke Kantor Taman
Nasional Gunung Bromo-Tengger-Semeru mengambil formulir perijinan. Kebetulan
surat keterangan sehat sudah dibuat sehingga perijinan lebih cepat. Keluar dari
Kantror TNGBTS sekitar pukul 16.00, sholat di mushola terdekat dan kemudian
menunggu jeep hardtop menuju Pos Ranu
Pane.
Perjalanan menuju Ranu Pane memakan waktu dua jam. Sepanjang jalan, kami
disuguhi pemandangan alam yang mengesankan, persawahan, bukit menghijau dan
Gunung Bromo yang terlihat samar di timur. Kabut mulai terlihat menyelimuti
bukit-bukit itu.
Tiba di Ranu Pani, arloji menunjukkan pukul 18.20. Segera turun, kami
tidak berniat mulai mendaki malam ini. Badan kami sudah terlalu lelah di
perjalanan. Aku melihatmu mulai menggosok-gosokkan kedua tangan, kedinginan.
“Ini sudah sampai puncak?” Tanyamu tiba-tiba. Seketika aku melihat si
sopir hardtop tertawa tertahan.
“Belum Wul, ini baru setengah perjalanan. Baru sampai di Ranu Pane,
ketinggiannya aja baru 2200-an meter.
Puncak Mahameru masih di ketinggian 3676 meter”, aku segera menjawab.
“Kita mau naik malem ini?”
“Enggak, cuaca gak memungkinkan nih. Lagian badan kita udah capek kan di
jalan. Jadi mending kita ngecas tenaga dulu di sini malam ini. Nanti kita cari tempat
nginep di rumah penduduk. Semoga ada yang ngebolehin…”
“Okedeh, ayo buruan…!” Kamu bersemangat.
Malam pertama di alam Semeru, kami habiskan di Ranu Pane. Setelah
sebelumnya aku mencoba minta izin ke warga desa setempat untuk bisa menumpang
tidur. Bersyukur ada orang yang ternyata masih mengenalku waktu pendakian ke
Semeru tahun lalu. Beliau adalah Wak Kasimin, seorang Tengger asli warga Ranu
Pane. Setelah sholat isya, makan nasi dan sayur asem dengan lauk tempe goreng
yang disediakan oleh istri Wak Kasimin, kami segera tidur. Tidur beralaskan tikar
pandan di bale depan. Hujan yang tak
begitu deras turun di luar. Hawa dingin cukup menusuk pori-pori kulit.
Sabtu, 26 Januari 2013.
Kami terbangun tepat pukul 4.00 dan segera mengambil air wudhu yang terasa
dingin sekali di kulit, kemudian sholat. Udara pagi khas pegunungan begitu
menyegarkan, masuk ke setiap pori kulit dan seakan mengisi ulang memori jiwa
dengan ketenangan dan rasa nyaman. Kami mengemasi barang, bersiap untuk jalan.
Setelah berpamitan dengan Wak Kasimin dan melahap beberapa potong ubi rebus,
perjalanan dimulai.
“Bismillahirrohmanirrohiim, lindungi dan lancarkanlah pendakian kami
menuju kaki langit-Mu ini ya Allah. Berilah kami kesempatan untuk menikmati
lagi pesona alammu dan kembali dengan selamat.” Aku berdoa sebelum mulai
langkah pertama.
“Amiiiin…” terdengar suaramu pelan. Aku pun demikian, mengamini doaku.
“Oke, siap memulai misi?” tanyaku bersemangat.
“Siaaap bosssss! Misi ke wilayah kekuasaan Hades ya…Semangat!”
Langit cerah, burung-burung yang saling bercanda di dahan pohon dan
udara yang masih cukup dingin menemani langkah-langkah awal kami. Jalanan
beraspal yang disusul jalan setapak berkelok di tepi bukit mengarahkan kami
menuju Waturejeg, sebuah batu besar yang sangat terkenal di kalangan pendaki.
Sebelumnya, kami disuguhi pula pesona pohon edelweiss
di punggungan bukit sepanjang perjalanan menuju Waturejeng ini. Sayangnya
ini bukan musimnya berbunga.
Beberapa kali kami berhenti sekedar mengambil napas ataupun minum. Masih
sekitar empat kilometer lagi untuk menuju Ranu Kumbolo, pos sekaligus danau
selanjutnya setelah Ranu Pane. Sesekali kamu berceloteh sambil menyanyi dan
disusul tawa beriringan.
“Naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali. Naik-naik ke puncak
gunung, tinggi-tinggi sekali. Kiri kanan kulihat saja, gak ada pohon
rambutaaaan. Kiri kanan kulihat saja, apalagi pohon durian,” begitu lagu
banyolan yang beberapa kali kamu nyanyikan. Setelah itu, kami pasti tertawa
beriringan. Aku senang, sejauh ini kamu terlihat menikmati pendakianmu yang
pertama ini.
Setelah berjalan sekitar empat jam, sampailah di Ranu Kumbolo. Kamu
berlari mendahuluiku, menuju danau itu. Aku tersenyum melihat ti ngkahmu yang
aneh tapi maklum.
“Nyebur aja, Wul. Lumayan loh seger…” aku agak berteriak.
“Enak aja…tapi ide bagus juga ya, hahaha,” kamu menimpali dengan suara
yang agak samar karena angin gunung.
Kami beristirahat hampir sejam sambil menikmati pesona Ranu Kumbolo di
siang bolong. Danau seluas hampir 14 hektar berada di ketinggian 2400 mdpl.
Pesonanya sangat tenar di kalangan pendaki dan pecinta alam pada umumnya. Di
sini biasanya tiap tahun, menjelang perayaan tujuhbelasan selalu ada jambore pendaki dan di tahun baru kemarin
juga ada pendakian massal yang ngecamp di
sini. Di malam hari, nuansa eksotis akan begitu kentara. Nuansa itu akan
semakin indah tatkala pagi datang. Kita bisa melihat sang mentari yang
terbangun dari peraduannya di antara dua bukit di ujung Ranu Kumbolo.
Bayangannya di danau akan menimbulkan efek dramatis yang dibarengi dengan kabut
yang begitu melankolis. Sangat indah, tapi kami sepertinya tidak akan
menikmatinya karena siang masih panjang dan masih bisa dimanfaatkan untuk
melanjutkan perjalanan.
Namun, salah perkiraan sekaligus sepertinya aku salah bercerita karena
setelah ceritaku tentang pesona sunrise di
Ranu Kumbolo, kamu terus mengiba untuk bermalam di sini.
“Ayo dong, kita ngecamp di sini aja. Pengen lihat sunrise di balik bukit
itu…” kamu merajuk.
“Tapi ini baru jam sebelas, lumayan loh kalo buat melanjutkan perjalan
ke pos berikutnya. Sayang waktunya, Wul.” Aku coba menjelaskan.
“Tapi….” Kamu terlihat kecewa.
“Tenang, kita bisa ngecamp di sini besok pas jalan turun gimana?”
Akhirnya aku menemukan alternatif solusi.
“Serius? Oke deh kalo gitu, beneran ya…” mukamu terleihat kembali cerah.
Kami melanjutkan perjalanan menuju Kalimati, target bermalam
selanjutnya. Kami membawa persiapan air cukup banyak karena sumber air di atas
cukup sulit. Meninggalkan Ranu Kumbolo, kami melewati bukit terjal dengan
pemandangan sangat menakjubkan mengarah ke danau. Oleh para pendaki, jalur ini
biasa disebut tanjakan cinta yang
terkenal dengan mitosnya bahwa siapa yang bisa melalui jalur ini sampai di
ujung tanpa berhenti maka cintanya akan abadi.
Mungkin aku tak perlu menceritakan hal-hal semacam ini karena dampaknya
sudah ketahuan. Kamu pasti akan mmenyuruhku melakukan apa yang dimitoskan itu.
Agaknya kesal tapi tetap saja kulakukan. Kami berdua sama-sama mencoba
membuktikan mitos itu. Membuktikan? Mungkin lebih tepatnya melakukan daripada
membuktikan karena bukti akan terlihat di masa mendatang, kan?
Begitulah, kami berjalan mendaki tanjakan
cinta tanpa berhenti sedikitpun hingga akhirnya sampai di balik bukit dan
disambut dengan hamparan padang rumput amat luas. Oro-Oro Ombo, begitu
orang-orang menyebut tempat ini. Pemandangan di sini begitu indah dengan ujung
berupa dinding bukit dan Gunung Kepolo. Dari balik gunung ini, terlihat kepulan
asap dari Puncak Mahameru. Sangat memesona. Kami menikmati pemandangan itu
sambil berlalu dengan peluh di dahi dan badan.
Target menuju Pos Kalimati masih cukup melelahkan, tapi kembali terbayar
dengan pesona keindahan hamparan hutan cemara di sepanjang perjalanan. Sesekali
terlihat burung-burung berlompatan di ranting-ranting cemara. Konon, di kawasan
ini sering dijumpai hewan liar seperti babi hutan dan tikus hutan. Keluar dari
area vegetas cemara yang dikenal dengan sebutan Cemara Kandang ini, sudah masuk
area Kalimati berupa hamparan tanah luas. Waktu menunjukkan pukul 16.05 ketika
kami sampai di Kalimati. Di sini kami akan menghabiskan malam kedua di alam
Semeru. Sebenarnya masih cukup waktu untuk menuju Arcopodo yang berjarak
sekitar sejam perjalanan dari Kalimati, tapi mengingat jalurnya yang cukup
ekstrim, hari yang hampir senja dan kabut mulai naik, kami mengurungkan niat
itu. Lebih baik menikmati alam sembari berisitirahat sejenak.
“Huaaaah…capek banget sumpah! Eh itu puncaknya kan ya?” kamu berkata
sambil menunjuk ke arah Puncak Mahameru.
“Lumayan, ternyata kamu jago juga ya udah sejauh ini loh ciyee, hehe.
Iya kita besok insyaallah akan ke sana. Siap kan?” jawabku, menepuk bahumu.
“Ciwulsky gitu loh, anaknya Neptunus, hahaha. Siap dong boss!” gayamu
sambil menggosok hidung dengan ibu jari.
“Hahaha, okelah dan malam ini kita istirahat di sini. Sekarang kita
sholat dulu yuk, jamak-qashar lagi nih dzuhur sama ashar dan pake tayamum ya,
hemat air soalnya.”
“Ayoook…”
Aku membereskan perlengkapan, mengeluarkan isi kerir termasuk tenda.
Nanti saja mendirikannya, yang penting semuanya keluar, khususnya logistik, air
dan perlengkapan masak. Selesai, aku lihat kamu pun mengikuti apa yang aku
lakukan, mengeluarkan logistik dan perlengkapan lainnya. Setelah itu kami
bertayamum dan lanjut sholat dzuhur dan ashar yang dijamak-qashar. Beralaskan
matras hitam, kami berjamaah menikmati khusyuknya mendekat Sang Rabb di alam
terbuka. Perasaan dan getaran spiritual yang begitu mendekatkan pada Sang
Pencipta begitu terasa di nurani.
Selesai sholat, inisiatif aku mencari kavling untuk mendirikan tenda.
Kuputuskan untuk mendirikan tenda agak di tepi hutan cemara, selain tempatnya
landai juga terlindung dari angin dan lebih dekat dengan sumber ranting-ranting
untuk membuat api unggun. Cuaca masih tetap cerah hari itu. Arloji menunjukkan
pukul 17.35 ketika aku selesai mendirikan tenda dibantu olehmu yang tetap
sambil bercanda. Itu membuat proses mendirikan tenda cukup lama walaupun
akhirnya berhasil juga.
“Abis ini masak air dong, pengen ngopi nih…mulai kedinginan.” Suhu udara
memang mulai menunjukkan perubahan dari tadi siang yang relatif sejuk menjadi
lebih dingin. Termometer di arlojiku menunjukkan angka 15 derajat celcius.
“Masak aja sendiriii…” ujarku sambil bercanda.
“Issshhh, sialan…yaudah sini kompornya,” kamu menimpali dengan muka terlipat.
“Hahaha, iya iya sebentar sayang…abis ini ya mau masang patok tenda
dulu, biar gak kena angin.”
“Gak mau! Maunya sekarang…sini aku bantuin!”
Kami mengikat tali patok tenda dan memasang penghadang angin dari ponco yang kubawa. Ini akan menghindari
hembusan angin yang terlalu kencang ke arah tenda. Pemasangan penghadang angin
ini harus memperkirakan arah angin yang akan datang. Setelah selesai semuanya,
aku mengeluarkan kompor dan kamu menuang air ke atas nasting. Siap memasak,
tapi kami mengurungkan niat memasak karena sepertinya waktu sholat maghrib
telah tiba. Kami sholat terlebih dahulu, berjamaah dan kembali khusyuk dalam
doa.
Suasana malam begitu cerah. Bintang-bintang terlihat menyebar di
seantero langit. Begitu dekat dan terang. Terlihat bayangan raksasa Semeru di
kegelapan terkena terpaan cahaya bulan yang hanya separo itu. Angin bertiup
cukup kencang dan hawa dingin begitu terasa hingga gigi-gigi bergemeretak. Aku
sudah menyalakan perapian di depan tenda dengan ranting-ranting kering di
sekitar hutan. Cukup menghangatkan.
Sambil menyeruput kopi dari gelas-gelas plastik dan ngemil kue kering yang kamu bawa, obrolan terus mengalir. Sesekali
diiringi tawa, sesekali terasa serius. Kami menikmati setiap obrolan. Aku kagum
padamu.
Malam belum larut tapi hawa dingin semakin menjadi. Waktunya istirahat
memulihkan tenaga. Kami masuk tenda dan masuk ke sleeping bag masing-masing. Hanya butuh beberapa saat sebelum
akhirnya aku dan kamu sama-sama terlelap. Esok harus bisa bangun sedini hari
mungkin untuk bisa menuju puncak dan menikmati pesona matahari terbit di sana.
Minggu, 27 Januari 2013.
Pukul 1.12, aku terbangun. Udara begitu dingin di luar. Sisa-sia api
unggun masih terlihat mengepul dan arangnya masih menyala. Langit masih temaram
dan bintang-bintang masih bertahta di atas sana. Kamu masih terlihat begitu
lelap. Tak tega rasanya membangunkanmu.
Selang beberapa saat, ternyata kamu pun terbangun. Syukurlah, aku tak
perlu membangunkanmu. Kami sama-sama mengenakan jaket rangkap tiga karena udara
yang begitu dingin. Waktu sudah menunjukkan pukul 1.47. Kami berencana naik
sepagi mungkin karena perjalanan menuju puncak masih sekitar 4-5 jam lagi.
Jalurnya juga akan semakin ekstrim. Setelah mempertimbangkan kondisi
masing-masing, diputuskan untuk segera naik dan barang-barang ditinggal di pos
ini. Keputusan ini diambil karena akan sangat merepotkan jika membawa kerir
terlalu berat melewati jalur ekstrim selanjutnya. Daripada resiko yang tidak
diinginkan, aku hanya membawa tas kecil untuk membawa bekal air minum dua botol
sedang.
Pukul 2.00 kami mulai berjalan menembus hawa dingin yang begitu menusuk
tulang. Bersyukur aku sudah lebih hapal jalur sehingga walapun gelap, hanya
dengan penerangan senter, kami bisa mengambil jalur yang benar. Sesekali aku
harus menuntunmu melewati jalur-jalur yang cukup curam. Akhirnya kami tiba di
Arcopodo. Istirahat sejenak dan langsung melanjutkan perjalanan. Ambisi kami
untuk bisa menikmati pesona sunrise di
Puncak Mahameru menjadi semangat dan motivasi khusus di jiwa kami. Segera
menggapai puncak adalah tujuan kami.
Tibalah kami di jalur Cemoro Tunggal dengan hamparan pasir dan batu.
Jalur ini terlihat rapuh dan longsoran bisa datang sewaktu-waktu. Harus bekerja
keras melewati jalur ini. Aku berkali-kali terperosok pasir dan harus
berpegangan pada batu-batu yang terlihat masih cukup kuat. Kamu berjalan di
depanku. Aku memastikan agar kamu tetap ada di jalur yang kuat. Beberapa kali
kami berhenti karena kehabisan napas. Kamu terlihat begitu letih. Waktu sudah
menunjukkan pukul 5.00 dan langit di ufuk timur sudah terlihat merona jingga
kemerahan. Sang surya mulai beranjak. Kami pun bergegas. Semangat itu kembali
muncul dan menggebu, sekalipun harus berkali-kali terseok, tersandung batu,
menggelosor turun lima langkah padahal sudah naik enam langkah. Peluh yang
terendap hawa dingin terasa di sekujur badan.
Aku melihatmu beberapa kali membenarkan letak kacamata. Terlihat sedikit
buram karena mungkin hawa dingin atau juga debu. Sekali lagi aku terkagum
dengan semangatmu.
Minggu, 27 Januari 2013 pukul 6.27 kamu menginjakkan kaki untuk pertama
kali di Atap Pulau Jawa, Puncak Mahameru.
“Aaaaaaaa…….alhamdulillah, subhanallah” tak henti kamu mengucap syukur
dan bertasbih. Aku melihat bulir air mata di balik kacamatamu yang terlihat
lebih buram. Aku segera menyusulmu, meraih Puncak Mahameru. Aku memelukmu erat.
“Subhanallah, kita berhasil sejauh ini. Kamu hebat, Wul.” Kami masih
berpelukan, dengan background mentari pagi yang mulai meninggi di barat sana.
Tapi masih menyisakan eksotisme jingga merah yang begitu dramatis.
Beberapa saat kemudian, kawah Jonggring Seloko mengeluarkan letupannya.
Mengepulkan asap yang membumbung tinggi. Tak henti-hentinya kami mengucap
tasbih, memuji kebesaran-Nya dan kuasa-Nya atas alam semesta. Kami semakin merasa
begitu kecil berada di kaki langit-Nya.
Setengah jam kami menikmati pesona Puncak Mahameru, mengambil beberapa
foto sebagai memori bisu, sebelum akhirnya turun. Persediaan air tinggal satu
botol, perkiraan pasti cukup untuk sampai di Kalimati. Hingga kejadian tak
terduga terjadi.
“Aaaaaaaarrrrhhhhh…..” kamu berteriak. Aku melihatmu terperosok di jalur
pasir, terperosok dan berhenti sekitar 15 meter dari tempatmu berdiri semula.
Aku pun segera berlari pelan ke arahmu. Aku harus berhati-hati setiap langkah,
jangan sampai berniat menolong justru ikut celaka.
“Tenang, Wul, tenang…tenangin diri dulu. Jangan panik. Semuanya
insyaallah baik-baik aja.” Aku berusaha menenangkanmu yang terlihat panik dan
meringis kesakitan sambil memegangi betis. Betismu terantuk batu saat
terperosok tadi, meninggalkan lebam dan luka gores. Aku membuka kotak P3K di
tas kecilku. Segera mengeluarkan air, betadine dan perban.
“Ini wul, kamu minum dulu. Tenang ya, jangan panik. Kamu kuat, sayang.”
Aku tetap menghiburmu. Kemudian membersihkan luka di betismu dengan air dan
slayer yang aku basahi, aku tetesi dengan betadine.
“Sakiiiiiiiiiit….” Kamu meringis kesakitan.
“Gak apa, Wul. Ini biar lebih baikan kok. Sepertinya betismu lebam deh.
Kamu bisa berdiri?” kamudian aku membantumu mencoba berdiri. Tapi sepertinya
kesulitan dan pasti kemungkinan bisa berjalan sangat kecil.
“Sakiiit…gak bisa.” Air mata terlihat menetes di balik kacamatamu yang
terlihat buram itu. Aku melepas kacamatamu dan membersihkannya dengan kapas.
“Nah, ini lebih baik kan.” Sambil tersenyum aku memakaikan kacamatamu
kembali. “Udah, jangan nangis dong. Nanti aku gendong turun yah. Tapi di jalur
ini mungkin cuma bisa memapahmu soalnya gak memungkinkan buat gendong.” Aku
tersenyum sambil bercanda.
“Mmhh…makasih ya.” Kamu mengusap air mata di mata kecilmu.
“Ayok…kamu kuat kok.” Aku membantumu berdiri dan memapahmu berjalan
turun. Kamu terpincang-pincang kesulitan berjalan dengan satu kaki.
Sesampai di area yang cukup landai, mendekati Arcopodo, aku
menggendongmu. Kamu terlihat begitu letih. Air minum persediaan sudah habis. Hanya
sisa-sisa semangat yang memberi kekuatan padaku, padamu, kita saat itu. Dua jam
aku menggendongmu melewati tebing curam di sekitar Arcopodo hingga akhirnya
sampai di Pos Kalimati. Rasa lega untuk sementara terasa karena bisa memberimu
air minum. Kamu sudah sangat dehidrasi saat itu.
“Wul, minum dulu nih.”
Kamu tersenyum. Itu membuatku tenang. Aku begitu khawatir dengan
keadaanmu tadi. Kamu terasa lemas dan dingin.
“Gimana keadanmu sekarang?” aku bertanya.
“Mau tau banget? Apa mau tau aja?” kamu mulai bercanda. Aku tersenyum
lega.
“Dasarrrrr…” kemudian kami tertawa kecil.
Setelah itu, aku memasak air, tiga bungkus mie instan dan menyeduh teh
hangat. Itu menu sarapan sekaligus makan siang kami. Beruntung ada beberapa
potong sosis, cukup memperlezat menu itu.
Matahari mulai beranjak. Waktu menunjukkan pukul 10.35 dan aku berkemas.
Aku menyuruhmu tetap istirahat saja karena tidak memungkinkan untuk berdiri.
Tapi agar tak begitu merasa tak berguna, aku memberimu jatah mengelap perkakas
sisaa makan tadi. Itu akan cukup membantu. Pukul 11.00 semuanya telah siap dan
kami akan segera turun gunung.
Aku tidak mungkin menggendongmu lagi karena kerir sudah ada di punggung.
Isi kerir milikmu telah aku ringkas dan jadikan satu dengan kerirku. Beberapa
barang yang sudah tidak diperlukan, kami tinggalkan di pos untuk mempermudah
mobilisasi. Aku memapahmu perlahan menembus hutan cemara hingga tiba di Oro-Oro
Ombo. Tak terhitung berapa kali kami harus berhenti sejenak untuk
berisitirahat.
Pukul 17.16 kami tiba di Ranu Kumbolo, terkapar di pondokan yang ada di
sana. Bulan-bulan ini mungkin begitu sepi pendaki karena kami belum menjumpai
pendaki lain semenjak hari pertama di sini. Aku tidak berniat membuka tenda
malam ini. Cuaca mulai mendung. Sepertinya akan turun hujan. Segera aku
memapahmu ke dalam pondokan dan menyandarkanmu di sana.
Kami menunaikan kewajiban sholat dan kemudian kembali memasak air,
menyeduh kopi. Hujan turun di luar. Lebat. Angin juga cukup kencang. Kami
beruntung karena ada pondokan ini sehingga bisa berlindung di tempat yang aman
dan tepat. Tapi kamu terlihat begitu
kedinginan.
“Kamu kenapa, Wul? Kedinginan? Pake jaketku lagi nih…” Aku ambilkan
jaket kering dari dalam kerir dan memakaikannya padamu.
“Makasih yaa…” suaramu pelan. Kondisimu sepertinya menurun.
“Kamu minum vitamin C ini deh ya. Kamu kuat…pasti kuat.” Selalu kuberi
kamu dorongan semangat.
Lambat laun, kamu pun terlelap tidur. Aku berikan satu lagi jaketku
untuk menahanmu dari dinginnya udara malam itu. Termometer di arloji
menunjukkan angka 5 derajat. Pantas saja begitu dingin. Bermodal satu jaket di
badan dan sleepin bag, aku coba untuk
tidur. Perlahan tapi pasti, mata terpejam.
Senin, 28 Januari 2013.
Terbangun. Suara tetesan air hujan di atap masih terdengar pelan. Hujan
telah berhenti rupanya. Sesekali terdengar hembusan angin. Menderu melewati
celah-celah atap pondokan. Suara air danau pun terdengar berdebur pelan di
luar. Terdengar. Beberapa hewan malam masih berbunyi. Benarkah ada orong-orong di sini? Suara itu sering
kudengar di kampungku.
Pukul 4.30, aku mengambil air wudhu di danau. Sangat dingin. Berjamaah,
kami menghadap kembali pada Sang Khalik. Bersyukur pada nikmat yang telah Dia
anugerahkan, pada setiap hembusan nafas kami.
Di luar, tanda-tanda sang surya telah bangun mulai terlihat. Di antara
dua bukit di ujung danau, terlihat rona jingga kemerahan. Kami berdua menikmati
proses terbangunnya sang surya itu perlahan. Mengabadikannya dalam rekaman
video kamera saku. Akhirnya dia menunjukkan wajahnya, tersenyum hangat menyambut
pagi. Menyinari buliran air danau yang beriak pelan. Di sana cahanya terefleksi
dengan sempurna. Terlihat dua matahari, satu di atas dan satu di bawah, di
dalam air. Subhanallah.
Aku menepati janjiku padamu kemarin, menyaksikan sang mentari terbit di
Ranu Kumbolo, di antara dua bukit nan memesona. Namun seketika….
*****
Alarm hape berbunyi…kriiiiiing…kriiiiiiing…kriiiiiiiiiiiiiiiing.
Aku terbangun. Ternyata itu mimpi.Reflek melihat kalender, ini tanggal 3 Desember 2012.
Ya, aku memimpikanmu semalam. Untuk kesekian kali, kamu jadi artis di
mimipiku. Selamat ya. Meskipun tidak ada yang membayarmu sebagai artis. Kalau
ini aku kasihan. Sudahlah, ini mau
ngapain sih.
Terbangun dari tidur pendek, aku tersentak dan terburu-buru mengucap
istighfar dan syukur bergantian sebelum akhirnya langsung menuju dispenser butut di pojok kamar. Minum.
Mimpi tadi begitu jelas. Mimpi itu begitu detil. Aku pun tersenyum, bukan yang
dibuat-buat. Ya, aku tersenyum. Kamu hadir di mimpiku lagi. Dan yang
mengesankan, karena cerita aktivitas dalam mimpi ini aku tahu adalah sesuatu
yang berat kamu lakuin, naik gunung.
Kamu orang yang gak pernah
kuat dingin, boleh mungkin aku katakan kamu benci udara dingin. Aku tahu itu
karena kamu pernah menceritakannya, bukan? Gunung, aku yakin bukan duniamu.
Kamu begitu mencintai dan terobsesi dengan pantai dan semilir angin di sana.
Tapi ini gunung, dengan segala kuasanya dan fenomena di sana yang mungkin saja
di dunia nyata kamu tak sempat membayangkannya.
Mimpi adalah visualisasi dari apa yang kita pikirkan sebelum tidur. Bisa
jadi itu benar, setidaknya aku beberapa kali mengalaminya. Baru saja aku
mengalaminya semalam. Aku ingin menuangkannya dalam catatan ini karena ingin
menjadikannya sejarah. Sejarah, karena mimpi semalam bagiku begitu penting. Ini
tentang aku dan kamu.
Benar bila semakin kita memikirkan sesuatu yang kita pikirkan terakhir
menjelang tertidur, bisa jadi itulah yang akan menjadi mimpi kita. Banyak
penelitian tentang dunia mimpi yang ingin membuktikan fenomena ini. Aku sih
tidak tertarik meneliti mimpi, cukup menjadikannya motivasi dan refleksi, entah
itu mimpi baik ataupun jelek. Tapi, spesial untuk semalam itu mimpi luar biasa.
Efek kangen dan rindu yang menggebu menumpuk meskipun tak terlihat di permukaan
tapi seperti fenomena gunung es, begitu mengembang di dalam.
Jakarta—Jogjakarta—Mahameru, Desember—Januari dalam mimpi dan kenyataan.
No comments:
Post a Comment