Saturday, December 8, 2012

Mimpi Pendek di Mahameru (2)



Jalur menuju Puncak Mahameru | gambar: viva.co.id
****
Gerimis turun menjelang Stasiun Malang. Kaca jendela kereta mulai mengembun. Di luar cuaca masih temaram, mungkin karena mendung. Kereta mulai melambat dan suara klaksonnya yang menggema terdengar sebagai tanda. Beberapa menit lagi akan tiba di pemberhentian selanjutnya, Stasiun Malang, yang juga tujuan kami. Bunyi peron beradu dengan roda besi terdengar menyayat naluri untuk segera turun. Aku mengajakmu, yang tengah memperhatikan alur air di kaca jendela, turun.

“Ayooo…kita sudah sampai nih”, ajakmu sambil menepuk pundakmu.

”Oh ya? Ayok…ayok turun, sebentar.” Kamu bergegas mengambil tas ranselmu dan tak sempat menggendongnya, hanya menentengnya.

Tak begitu kuperhatikan suasana hiruk pikuk stasiun siang itu. Perjalanan kereta yang hampir tujuh jam itu membuat kami begitu lelah. Arloji menunjukkan pukul 15.23 dan kami segera keluar area stasiun, mencari angkot tujuan Pasar Tumpang. Itu tujuan kami selanjutnya karena di Pasar Tumpang inilah tempat pengambilan formulir perijinan, sekaligus untuk mengurus surat keterangan sehat dari puskesmas yang ada di sekitar pasar. Di luar stasiun, kami melepas lelah dengan berisitirahat di depan warung nasi. Bukannya makan di warung tersebut, kami justru membeli es dawet yang notabene warung sebelah penjualnya.

Kami harus segera meninggalkan stasiun peninggalan Belanda itu untuk segera ke Pasar Tumpang. Hari telah beranjak sore dan angkot mulai sedikit dan kami pun segera naik. Sesampai di Pasar Tumpang, kami menuju ke Kantor Taman Nasional Gunung Bromo-Tengger-Semeru mengambil formulir perijinan. Kebetulan surat keterangan sehat sudah dibuat sehingga perijinan lebih cepat. Keluar dari Kantror TNGBTS sekitar pukul 16.00, sholat di mushola terdekat dan kemudian menunggu jeep hardtop menuju Pos Ranu Pane.

Perjalanan menuju Ranu Pane memakan waktu dua jam. Sepanjang jalan, kami disuguhi pemandangan alam yang mengesankan, persawahan, bukit menghijau dan Gunung Bromo yang terlihat samar di timur. Kabut mulai terlihat menyelimuti bukit-bukit itu.

Tiba di Ranu Pani, arloji menunjukkan pukul 18.20. Segera turun, kami tidak berniat mulai mendaki malam ini. Badan kami sudah terlalu lelah di perjalanan. Aku melihatmu mulai menggosok-gosokkan kedua tangan, kedinginan.

“Ini sudah sampai puncak?” Tanyamu tiba-tiba. Seketika aku melihat si sopir hardtop tertawa tertahan.

“Belum Wul, ini baru setengah perjalanan. Baru sampai di Ranu Pane, ketinggiannya aja baru 2200-an meter.  Puncak Mahameru masih di ketinggian 3676 meter”, aku segera menjawab.

“Kita mau naik malem ini?”

“Enggak, cuaca gak memungkinkan nih. Lagian badan kita udah capek kan di jalan. Jadi mending kita ngecas tenaga dulu di sini malam ini. Nanti kita cari tempat nginep di rumah penduduk. Semoga ada yang ngebolehin…”

“Okedeh, ayo buruan…!” Kamu bersemangat.

Malam pertama di alam Semeru, kami habiskan di Ranu Pane. Setelah sebelumnya aku mencoba minta izin ke warga desa setempat untuk bisa menumpang tidur. Bersyukur ada orang yang ternyata masih mengenalku waktu pendakian ke Semeru tahun lalu. Beliau adalah Wak Kasimin, seorang Tengger asli warga Ranu Pane. Setelah sholat isya, makan nasi dan sayur asem dengan lauk tempe goreng yang disediakan oleh istri Wak Kasimin, kami segera tidur. Tidur beralaskan tikar pandan di bale depan. Hujan yang tak begitu deras turun di luar. Hawa dingin cukup menusuk pori-pori kulit.

Sabtu, 26 Januari 2013.
Kami terbangun tepat pukul 4.00 dan segera mengambil air wudhu yang terasa dingin sekali di kulit, kemudian sholat. Udara pagi khas pegunungan begitu menyegarkan, masuk ke setiap pori kulit dan seakan mengisi ulang memori jiwa dengan ketenangan dan rasa nyaman. Kami mengemasi barang, bersiap untuk jalan. Setelah berpamitan dengan Wak Kasimin dan melahap beberapa potong ubi rebus, perjalanan dimulai.

“Bismillahirrohmanirrohiim, lindungi dan lancarkanlah pendakian kami menuju kaki langit-Mu ini ya Allah. Berilah kami kesempatan untuk menikmati lagi pesona alammu dan kembali dengan selamat.” Aku berdoa sebelum mulai langkah pertama.

“Amiiiin…” terdengar suaramu pelan. Aku pun demikian, mengamini doaku.

“Oke, siap memulai misi?” tanyaku bersemangat.

“Siaaap bosssss! Misi ke wilayah kekuasaan Hades ya…Semangat!”

Langit cerah, burung-burung yang saling bercanda di dahan pohon dan udara yang masih cukup dingin menemani langkah-langkah awal kami. Jalanan beraspal yang disusul jalan setapak berkelok di tepi bukit mengarahkan kami menuju Waturejeg, sebuah batu besar yang sangat terkenal di kalangan pendaki. Sebelumnya, kami disuguhi pula pesona pohon edelweiss di punggungan bukit sepanjang perjalanan menuju Waturejeng ini. Sayangnya ini bukan musimnya berbunga.

Beberapa kali kami berhenti sekedar mengambil napas ataupun minum. Masih sekitar empat kilometer lagi untuk menuju Ranu Kumbolo, pos sekaligus danau selanjutnya setelah Ranu Pane. Sesekali kamu berceloteh sambil menyanyi dan disusul tawa beriringan.

“Naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali. Naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali. Kiri kanan kulihat saja, gak ada pohon rambutaaaan. Kiri kanan kulihat saja, apalagi pohon durian,” begitu lagu banyolan yang beberapa kali kamu nyanyikan. Setelah itu, kami pasti tertawa beriringan. Aku senang, sejauh ini kamu terlihat menikmati pendakianmu yang pertama ini.

Setelah berjalan sekitar empat jam, sampailah di Ranu Kumbolo. Kamu berlari mendahuluiku, menuju danau itu. Aku tersenyum melihat ti ngkahmu yang aneh tapi maklum.

“Nyebur aja, Wul. Lumayan loh seger…” aku agak berteriak.

“Enak aja…tapi ide bagus juga ya, hahaha,” kamu menimpali dengan suara yang agak samar karena angin gunung.

Kami beristirahat hampir sejam sambil menikmati pesona Ranu Kumbolo di siang bolong. Danau seluas hampir 14 hektar berada di ketinggian 2400 mdpl. Pesonanya sangat tenar di kalangan pendaki dan pecinta alam pada umumnya. Di sini biasanya tiap tahun, menjelang perayaan tujuhbelasan selalu ada jambore pendaki dan di tahun baru kemarin juga ada pendakian massal yang ngecamp di sini. Di malam hari, nuansa eksotis akan begitu kentara. Nuansa itu akan semakin indah tatkala pagi datang. Kita bisa melihat sang mentari yang terbangun dari peraduannya di antara dua bukit di ujung Ranu Kumbolo. Bayangannya di danau akan menimbulkan efek dramatis yang dibarengi dengan kabut yang begitu melankolis. Sangat indah, tapi kami sepertinya tidak akan menikmatinya karena siang masih panjang dan masih bisa dimanfaatkan untuk melanjutkan perjalanan.

Namun, salah perkiraan sekaligus sepertinya aku salah bercerita karena setelah ceritaku tentang pesona sunrise di Ranu Kumbolo, kamu terus mengiba untuk bermalam di sini.

“Ayo dong, kita ngecamp di sini aja. Pengen lihat sunrise di balik bukit itu…” kamu merajuk.

“Tapi ini baru jam sebelas, lumayan loh kalo buat melanjutkan perjalan ke pos berikutnya. Sayang waktunya, Wul.” Aku coba menjelaskan.

“Tapi….” Kamu terlihat kecewa.

“Tenang, kita bisa ngecamp di sini besok pas jalan turun gimana?” Akhirnya aku menemukan alternatif solusi.

“Serius? Oke deh kalo gitu, beneran ya…” mukamu terleihat kembali cerah.

Kami melanjutkan perjalanan menuju Kalimati, target bermalam selanjutnya. Kami membawa persiapan air cukup banyak karena sumber air di atas cukup sulit. Meninggalkan Ranu Kumbolo, kami melewati bukit terjal dengan pemandangan sangat menakjubkan mengarah ke danau. Oleh para pendaki, jalur ini biasa disebut tanjakan cinta yang terkenal dengan mitosnya bahwa siapa yang bisa melalui jalur ini sampai di ujung tanpa berhenti maka cintanya akan abadi.

Mungkin aku tak perlu menceritakan hal-hal semacam ini karena dampaknya sudah ketahuan. Kamu pasti akan mmenyuruhku melakukan apa yang dimitoskan itu. Agaknya kesal tapi tetap saja kulakukan. Kami berdua sama-sama mencoba membuktikan mitos itu. Membuktikan? Mungkin lebih tepatnya melakukan daripada membuktikan karena bukti akan terlihat di masa mendatang, kan?

Begitulah, kami berjalan mendaki tanjakan cinta tanpa berhenti sedikitpun hingga akhirnya sampai di balik bukit dan disambut dengan hamparan padang rumput amat luas. Oro-Oro Ombo, begitu orang-orang menyebut tempat ini. Pemandangan di sini begitu indah dengan ujung berupa dinding bukit dan Gunung Kepolo. Dari balik gunung ini, terlihat kepulan asap dari Puncak Mahameru. Sangat memesona. Kami menikmati pemandangan itu sambil berlalu dengan peluh di dahi dan badan.

Target menuju Pos Kalimati masih cukup melelahkan, tapi kembali terbayar dengan pesona keindahan hamparan hutan cemara di sepanjang perjalanan. Sesekali terlihat burung-burung berlompatan di ranting-ranting cemara. Konon, di kawasan ini sering dijumpai hewan liar seperti babi hutan dan tikus hutan. Keluar dari area vegetas cemara yang dikenal dengan sebutan Cemara Kandang ini, sudah masuk area Kalimati berupa hamparan tanah luas. Waktu menunjukkan pukul 16.05 ketika kami sampai di Kalimati. Di sini kami akan menghabiskan malam kedua di alam Semeru. Sebenarnya masih cukup waktu untuk menuju Arcopodo yang berjarak sekitar sejam perjalanan dari Kalimati, tapi mengingat jalurnya yang cukup ekstrim, hari yang hampir senja dan kabut mulai naik, kami mengurungkan niat itu. Lebih baik menikmati alam sembari berisitirahat sejenak.

“Huaaaah…capek banget sumpah! Eh itu puncaknya kan ya?” kamu berkata sambil menunjuk ke arah Puncak Mahameru.

“Lumayan, ternyata kamu jago juga ya udah sejauh ini loh ciyee, hehe. Iya kita besok insyaallah akan ke sana. Siap kan?” jawabku, menepuk bahumu.

“Ciwulsky gitu loh, anaknya Neptunus, hahaha. Siap dong boss!” gayamu sambil menggosok hidung dengan ibu jari.

“Hahaha, okelah dan malam ini kita istirahat di sini. Sekarang kita sholat dulu yuk, jamak-qashar lagi nih dzuhur sama ashar dan pake tayamum ya, hemat air soalnya.”

“Ayoook…”

Aku membereskan perlengkapan, mengeluarkan isi kerir termasuk tenda. Nanti saja mendirikannya, yang penting semuanya keluar, khususnya logistik, air dan perlengkapan masak. Selesai, aku lihat kamu pun mengikuti apa yang aku lakukan, mengeluarkan logistik dan perlengkapan lainnya. Setelah itu kami bertayamum dan lanjut sholat dzuhur dan ashar yang dijamak-qashar. Beralaskan matras hitam, kami berjamaah menikmati khusyuknya mendekat Sang Rabb di alam terbuka. Perasaan dan getaran spiritual yang begitu mendekatkan pada Sang Pencipta begitu terasa di nurani.

Selesai sholat, inisiatif aku mencari kavling untuk mendirikan tenda. Kuputuskan untuk mendirikan tenda agak di tepi hutan cemara, selain tempatnya landai juga terlindung dari angin dan lebih dekat dengan sumber ranting-ranting untuk membuat api unggun. Cuaca masih tetap cerah hari itu. Arloji menunjukkan pukul 17.35 ketika aku selesai mendirikan tenda dibantu olehmu yang tetap sambil bercanda. Itu membuat proses mendirikan tenda cukup lama walaupun akhirnya berhasil juga.

“Abis ini masak air dong, pengen ngopi nih…mulai kedinginan.” Suhu udara memang mulai menunjukkan perubahan dari tadi siang yang relatif sejuk menjadi lebih dingin. Termometer di arlojiku menunjukkan angka 15 derajat celcius.

“Masak aja sendiriii…” ujarku sambil bercanda.

“Issshhh, sialan…yaudah sini kompornya,” kamu  menimpali dengan muka terlipat.

“Hahaha, iya iya sebentar sayang…abis ini ya mau masang patok tenda dulu, biar gak kena angin.”

“Gak mau! Maunya sekarang…sini aku bantuin!”

Kami mengikat tali patok tenda dan memasang penghadang angin dari ponco yang kubawa. Ini akan menghindari hembusan angin yang terlalu kencang ke arah tenda. Pemasangan penghadang angin ini harus memperkirakan arah angin yang akan datang. Setelah selesai semuanya, aku mengeluarkan kompor dan kamu menuang air ke atas nasting. Siap memasak, tapi kami mengurungkan niat memasak karena sepertinya waktu sholat maghrib telah tiba. Kami sholat terlebih dahulu, berjamaah dan kembali khusyuk dalam doa.

Suasana malam begitu cerah. Bintang-bintang terlihat menyebar di seantero langit. Begitu dekat dan terang. Terlihat bayangan raksasa Semeru di kegelapan terkena terpaan cahaya bulan yang hanya separo itu. Angin bertiup cukup kencang dan hawa dingin begitu terasa hingga gigi-gigi bergemeretak. Aku sudah menyalakan perapian di depan tenda dengan ranting-ranting kering di sekitar hutan. Cukup menghangatkan.

Sambil menyeruput kopi dari gelas-gelas plastik dan ngemil kue kering yang kamu bawa, obrolan terus mengalir. Sesekali diiringi tawa, sesekali terasa serius. Kami menikmati setiap obrolan. Aku kagum padamu.

Malam belum larut tapi hawa dingin semakin menjadi. Waktunya istirahat memulihkan tenaga. Kami masuk tenda dan masuk ke sleeping bag masing-masing. Hanya butuh beberapa saat sebelum akhirnya aku dan kamu sama-sama terlelap. Esok harus bisa bangun sedini hari mungkin untuk bisa menuju puncak dan menikmati pesona matahari terbit di sana.

Minggu, 27 Januari 2013.
Pukul 1.12, aku terbangun. Udara begitu dingin di luar. Sisa-sia api unggun masih terlihat mengepul dan arangnya masih menyala. Langit masih temaram dan bintang-bintang masih bertahta di atas sana. Kamu masih terlihat begitu lelap. Tak tega rasanya membangunkanmu.

Selang beberapa saat, ternyata kamu pun terbangun. Syukurlah, aku tak perlu membangunkanmu. Kami sama-sama mengenakan jaket rangkap tiga karena udara yang begitu dingin. Waktu sudah menunjukkan pukul 1.47. Kami berencana naik sepagi mungkin karena perjalanan menuju puncak masih sekitar 4-5 jam lagi. Jalurnya juga akan semakin ekstrim. Setelah mempertimbangkan kondisi masing-masing, diputuskan untuk segera naik dan barang-barang ditinggal di pos ini. Keputusan ini diambil karena akan sangat merepotkan jika membawa kerir terlalu berat melewati jalur ekstrim selanjutnya. Daripada resiko yang tidak diinginkan, aku hanya membawa tas kecil untuk membawa bekal air minum dua botol sedang.

Pukul 2.00 kami mulai berjalan menembus hawa dingin yang begitu menusuk tulang. Bersyukur aku sudah lebih hapal jalur sehingga walapun gelap, hanya dengan penerangan senter, kami bisa mengambil jalur yang benar. Sesekali aku harus menuntunmu melewati jalur-jalur yang cukup curam. Akhirnya kami tiba di Arcopodo. Istirahat sejenak dan langsung melanjutkan perjalanan. Ambisi kami untuk bisa menikmati pesona sunrise di Puncak Mahameru menjadi semangat dan motivasi khusus di jiwa kami. Segera menggapai puncak adalah tujuan kami.

Tibalah kami di jalur Cemoro Tunggal dengan hamparan pasir dan batu. Jalur ini terlihat rapuh dan longsoran bisa datang sewaktu-waktu. Harus bekerja keras melewati jalur ini. Aku berkali-kali terperosok pasir dan harus berpegangan pada batu-batu yang terlihat masih cukup kuat. Kamu berjalan di depanku. Aku memastikan agar kamu tetap ada di jalur yang kuat. Beberapa kali kami berhenti karena kehabisan napas. Kamu terlihat begitu letih. Waktu sudah menunjukkan pukul 5.00 dan langit di ufuk timur sudah terlihat merona jingga kemerahan. Sang surya mulai beranjak. Kami pun bergegas. Semangat itu kembali muncul dan menggebu, sekalipun harus berkali-kali terseok, tersandung batu, menggelosor turun lima langkah padahal sudah naik enam langkah. Peluh yang terendap hawa dingin terasa di sekujur badan.

Aku melihatmu beberapa kali membenarkan letak kacamata. Terlihat sedikit buram karena mungkin hawa dingin atau juga debu. Sekali lagi aku terkagum dengan semangatmu.

Minggu, 27 Januari 2013 pukul 6.27 kamu menginjakkan kaki untuk pertama kali di Atap Pulau Jawa, Puncak Mahameru.

“Aaaaaaaa…….alhamdulillah, subhanallah” tak henti kamu mengucap syukur dan bertasbih. Aku melihat bulir air mata di balik kacamatamu yang terlihat lebih buram. Aku segera menyusulmu, meraih Puncak Mahameru. Aku memelukmu erat.

“Subhanallah, kita berhasil sejauh ini. Kamu hebat, Wul.” Kami masih berpelukan, dengan background mentari pagi yang mulai meninggi di barat sana. Tapi masih menyisakan eksotisme jingga merah yang begitu dramatis.

Beberapa saat kemudian, kawah Jonggring Seloko mengeluarkan letupannya. Mengepulkan asap yang membumbung tinggi. Tak henti-hentinya kami mengucap tasbih, memuji kebesaran-Nya dan kuasa-Nya atas alam semesta. Kami semakin merasa begitu kecil berada di kaki langit-Nya.

Setengah jam kami menikmati pesona Puncak Mahameru, mengambil beberapa foto sebagai memori bisu, sebelum akhirnya turun. Persediaan air tinggal satu botol, perkiraan pasti cukup untuk sampai di Kalimati. Hingga kejadian tak terduga terjadi.

“Aaaaaaaarrrrhhhhh…..” kamu berteriak. Aku melihatmu terperosok di jalur pasir, terperosok dan berhenti sekitar 15 meter dari tempatmu berdiri semula. Aku pun segera berlari pelan ke arahmu. Aku harus berhati-hati setiap langkah, jangan sampai berniat menolong justru ikut celaka.

“Tenang, Wul, tenang…tenangin diri dulu. Jangan panik. Semuanya insyaallah baik-baik aja.” Aku berusaha menenangkanmu yang terlihat panik dan meringis kesakitan sambil memegangi betis. Betismu terantuk batu saat terperosok tadi, meninggalkan lebam dan luka gores. Aku membuka kotak P3K di tas kecilku. Segera mengeluarkan air, betadine dan perban.

“Ini wul, kamu minum dulu. Tenang ya, jangan panik. Kamu kuat, sayang.” Aku tetap menghiburmu. Kemudian membersihkan luka di betismu dengan air dan slayer yang aku basahi, aku tetesi dengan betadine.

“Sakiiiiiiiiiit….” Kamu meringis kesakitan.

“Gak apa, Wul. Ini biar lebih baikan kok. Sepertinya betismu lebam deh. Kamu bisa berdiri?” kamudian aku membantumu mencoba berdiri. Tapi sepertinya kesulitan dan pasti kemungkinan bisa berjalan sangat kecil.

“Sakiiit…gak bisa.” Air mata terlihat menetes di balik kacamatamu yang terlihat buram itu. Aku melepas kacamatamu dan membersihkannya dengan kapas.

“Nah, ini lebih baik kan.” Sambil tersenyum aku memakaikan kacamatamu kembali. “Udah, jangan nangis dong. Nanti aku gendong turun yah. Tapi di jalur ini mungkin cuma bisa memapahmu soalnya gak memungkinkan buat gendong.” Aku tersenyum sambil bercanda.

“Mmhh…makasih ya.” Kamu mengusap air mata di mata kecilmu.

“Ayok…kamu kuat kok.” Aku membantumu berdiri dan memapahmu berjalan turun. Kamu terpincang-pincang kesulitan berjalan dengan satu kaki.

Sesampai di area yang cukup landai, mendekati Arcopodo, aku menggendongmu. Kamu terlihat begitu letih. Air minum persediaan sudah habis. Hanya sisa-sisa semangat yang memberi kekuatan padaku, padamu, kita saat itu. Dua jam aku menggendongmu melewati tebing curam di sekitar Arcopodo hingga akhirnya sampai di Pos Kalimati. Rasa lega untuk sementara terasa karena bisa memberimu air minum. Kamu sudah sangat dehidrasi saat itu.

“Wul, minum dulu nih.”

Kamu tersenyum. Itu membuatku tenang. Aku begitu khawatir dengan keadaanmu tadi. Kamu terasa lemas dan dingin.

“Gimana keadanmu sekarang?” aku bertanya.

“Mau tau banget? Apa mau tau aja?” kamu mulai bercanda. Aku tersenyum lega.

“Dasarrrrr…” kemudian kami tertawa kecil.

Setelah itu, aku memasak air, tiga bungkus mie instan dan menyeduh teh hangat. Itu menu sarapan sekaligus makan siang kami. Beruntung ada beberapa potong sosis, cukup memperlezat menu itu.

Matahari mulai beranjak. Waktu menunjukkan pukul 10.35 dan aku berkemas. Aku menyuruhmu tetap istirahat saja karena tidak memungkinkan untuk berdiri. Tapi agar tak begitu merasa tak berguna, aku memberimu jatah mengelap perkakas sisaa makan tadi. Itu akan cukup membantu. Pukul 11.00 semuanya telah siap dan kami akan segera turun gunung.

Aku tidak mungkin menggendongmu lagi karena kerir sudah ada di punggung. Isi kerir milikmu telah aku ringkas dan jadikan satu dengan kerirku. Beberapa barang yang sudah tidak diperlukan, kami tinggalkan di pos untuk mempermudah mobilisasi. Aku memapahmu perlahan menembus hutan cemara hingga tiba di Oro-Oro Ombo. Tak terhitung berapa kali kami harus berhenti sejenak untuk berisitirahat.

Pukul 17.16 kami tiba di Ranu Kumbolo, terkapar di pondokan yang ada di sana. Bulan-bulan ini mungkin begitu sepi pendaki karena kami belum menjumpai pendaki lain semenjak hari pertama di sini. Aku tidak berniat membuka tenda malam ini. Cuaca mulai mendung. Sepertinya akan turun hujan. Segera aku memapahmu ke dalam pondokan dan menyandarkanmu di sana.

Kami menunaikan kewajiban sholat dan kemudian kembali memasak air, menyeduh kopi. Hujan turun di luar. Lebat. Angin juga cukup kencang. Kami beruntung karena ada pondokan ini sehingga bisa berlindung di tempat yang aman dan tepat. Tapi  kamu terlihat begitu kedinginan.

“Kamu kenapa, Wul? Kedinginan? Pake jaketku lagi nih…” Aku ambilkan jaket kering dari dalam kerir dan memakaikannya padamu.

“Makasih yaa…” suaramu pelan. Kondisimu sepertinya menurun.

“Kamu minum vitamin C ini deh ya. Kamu kuat…pasti kuat.” Selalu kuberi kamu dorongan semangat.

Lambat laun, kamu pun terlelap tidur. Aku berikan satu lagi jaketku untuk menahanmu dari dinginnya udara malam itu. Termometer di arloji menunjukkan angka 5 derajat. Pantas saja begitu dingin. Bermodal satu jaket di badan dan sleepin bag, aku coba untuk tidur. Perlahan tapi pasti, mata terpejam.

Senin, 28 Januari 2013.
Terbangun. Suara tetesan air hujan di atap masih terdengar pelan. Hujan telah berhenti rupanya. Sesekali terdengar hembusan angin. Menderu melewati celah-celah atap pondokan. Suara air danau pun terdengar berdebur pelan di luar. Terdengar. Beberapa hewan malam masih berbunyi. Benarkah ada orong-orong di sini? Suara itu sering kudengar di kampungku.

Pukul 4.30, aku mengambil air wudhu di danau. Sangat dingin. Berjamaah, kami menghadap kembali pada Sang Khalik. Bersyukur pada nikmat yang telah Dia anugerahkan, pada setiap hembusan nafas kami.

Di luar, tanda-tanda sang surya telah bangun mulai terlihat. Di antara dua bukit di ujung danau, terlihat rona jingga kemerahan. Kami berdua menikmati proses terbangunnya sang surya itu perlahan. Mengabadikannya dalam rekaman video kamera saku. Akhirnya dia menunjukkan wajahnya, tersenyum hangat menyambut pagi. Menyinari buliran air danau yang beriak pelan. Di sana cahanya terefleksi dengan sempurna. Terlihat dua matahari, satu di atas dan satu di bawah, di dalam air. Subhanallah.

Aku menepati janjiku padamu kemarin, menyaksikan sang mentari terbit di Ranu Kumbolo, di antara dua bukit nan memesona. Namun seketika….

*****
Alarm hape berbunyi…kriiiiiing…kriiiiiiing…kriiiiiiiiiiiiiiiing.



Aku terbangun. Ternyata itu mimpi.Reflek melihat kalender, ini tanggal 3 Desember 2012.



Ya, aku memimpikanmu semalam. Untuk kesekian kali, kamu jadi artis di mimipiku. Selamat ya. Meskipun tidak ada yang membayarmu sebagai artis. Kalau ini aku kasihan. Sudahlah, ini mau ngapain sih.



Terbangun dari tidur pendek, aku tersentak dan terburu-buru mengucap istighfar dan syukur bergantian sebelum akhirnya langsung menuju dispenser butut di pojok kamar. Minum. Mimpi tadi begitu jelas. Mimpi itu begitu detil. Aku pun tersenyum, bukan yang dibuat-buat. Ya, aku tersenyum. Kamu hadir di mimpiku lagi. Dan yang mengesankan, karena cerita aktivitas dalam mimpi ini aku tahu adalah sesuatu yang berat kamu lakuin, naik gunung.



Kamu orang yang gak pernah kuat dingin, boleh mungkin aku katakan kamu benci udara dingin. Aku tahu itu karena kamu pernah menceritakannya, bukan? Gunung, aku yakin bukan duniamu. Kamu begitu mencintai dan terobsesi dengan pantai dan semilir angin di sana. Tapi ini gunung, dengan segala kuasanya dan fenomena di sana yang mungkin saja di dunia nyata kamu tak sempat membayangkannya. 


Mimpi adalah visualisasi dari apa yang kita pikirkan sebelum tidur. Bisa jadi itu benar, setidaknya aku beberapa kali mengalaminya. Baru saja aku mengalaminya semalam. Aku ingin menuangkannya dalam catatan ini karena ingin menjadikannya sejarah. Sejarah, karena mimpi semalam bagiku begitu penting. Ini tentang aku dan kamu.



Benar bila semakin kita memikirkan sesuatu yang kita pikirkan terakhir menjelang tertidur, bisa jadi itulah yang akan menjadi mimpi kita. Banyak penelitian tentang dunia mimpi yang ingin membuktikan fenomena ini. Aku sih tidak tertarik meneliti mimpi, cukup menjadikannya motivasi dan refleksi, entah itu mimpi baik ataupun jelek. Tapi, spesial untuk semalam itu mimpi luar biasa. Efek kangen dan rindu yang menggebu menumpuk meskipun tak terlihat di permukaan tapi seperti fenomena gunung es, begitu mengembang di dalam.


Jakarta—Jogjakarta—Mahameru, Desember—Januari dalam mimpi dan kenyataan.

No comments:

Post a Comment