Monday, December 3, 2012

Mimpi Pendek di Mahameru (1)


gambar: flickr.com
**
Sore itu seperti biasa aku menghabiskan waktu di perpustakaan mencari literatur untuk skripsiku. Sebagai mahasiswa tingkat akhir, inilah kesibukanku akhir-akhir ini. Memang deadline skripsi masih cukup panjang tapi tak ada salahnya memulai lebih awal, itu prinsipku. Masa senggang di tahun terakhir ini kugunakan untuk magang di beberapa lembaga swasta maupun pemerintah. Lumayan untuk menambah pengalaman dan pastinya, menebalkan kantong sedikit.
Aku tengah mengangkat tiga buku dari rak perpustakaan ketika hape terasa bergetar di saku celana. Tanda pesan baru diterima, seperti biasa aku tahu karena memang aku men-silent mode-kan hapeku itu. Aku berhenti sejenak ingin meletakkan buku itu kembali ke rak dan melihat pesan singkat yang masuk, tapi kuurungkan niat. Aku lanjutkan sejenak mencari satu literatur tentang information retrieval system di rak 020.

Ternyata aku belum berhasil menemukan literatur itu, tatanan buku di rak Perpustakaan UI ini memang berantakan terkesan membingungkan. OPAC yang ada pun bisa dikatakan hanya sebagai penanda mengenai nomor klasifikasi buku yang akan dicari bukan di rak mana buku itu diletakkan. Inilah seninya menelusur ribuan koleksi di Perpustakaan UI. Segala hal memiliki dua sisi, begitu pula di sini. Ada untungnya juga dengan berantakannya tatanan buku di perpustakaan ini karena pengguna dipaksa untuk menelusur ke jajaran rak sehingga bisa saja menemukan koleksi buku yang menarik di luar konteks yang sebenarnya dicari. Aku juga, akhirnya buku lain yang kuambil tentang “Manajemen Perpustakaan Digital” dari jajaran rak dan bersama tiga buku sebelumnya aku membawanya ke meja baca.

Notebook-ku masih menyala dan terlihat wallpaper Slytherin berpendar kehijauan. Kuletakkan buku-buku tadi di sampingnya. File skripsiku-revised kulihat dan kubaca sekali lagi denga gaya menyipit-nyipitkan mata dan berkerut kening. Bukannya fokus malah pikiranku kabur mengawang entah kemana dan aku teringat pesan singkat yang tadi. Terburu kuambil hape dari saku celana.

Sore kakaaak…lagi ngapain?
Januari besok naik gunung yuk. Aku penasaran nih dan udah diijinin sama mama juga loh… :D
Pengen ke Mahameru… >.<

Deggggg… Aku kaget antara percaya dan tidak percaya saat membaca pesan singkat darimu yang di notifikasi tertera pukul 15.53. Aku tak segera membalas, pikiranku kembali mengawang tak tentu. Sekarang jam di hape menunjukkan pukul 16.45, berarti pesan ini sudah 52 menit yang lalu. Segera aku memikirkan kata-kata untuk membalas pesan singkatmu yang tidak biasa itu.

Aku lagi di perpus wul, nyari bahan skripsi, hehe
Kamu serius ngajakin ke gunung? Tumben banget, ini ngajakin ke Mahameru pula, kayak bukan ciwul deh :p
Aku sih ayok aja, Januari besok aku bisa tapi kamu harus prepare dulu ya..coba search tentang pendakian gunung, gimana persiapannya, terus mulai deh siapin dari sekarang. Fisik dan perlengkapan.
Oiya, ini beneran ajakan serius kan? Kamu gak takut dingin lagi?

Klik enter dan pesan balasan pun terkirim. Aku kembali mengawang. It was surprising me that you ask me something you’re never ask before.  Seorang kamu yang aku tahu selama ini tidak pernah kepikiran gunung, begitu cinta dengan pantai dan takut kedinginan, tiba-tiba ngajakin naik gunung. Kalau aku, naik gunung adalah hobi. Aku begitu mencintai aktivitas ini yang menurutku sangat relaksasif dan refleksif. Naik gunung adalah salah satu aktivitas yang membuatku rileks. Rileks karena menurutku menyatu dengan alam adalah bentuk meditasi paling sempurna dan aku mendapatkannya di gunung-gunung itu. Di sana aku menemukan kedamaian dan jati diri. Di puncak-puncak itulah aku menemukan diriku yang begitu kecil begitu dekat dengan Sang Pencipta semesta. Di sanalah segala bentuk persaingan dunia muncul dan sifat alami manusia saling terlihat sesama pendaki. Lamunanku buyar ketika hape di meja belajar  bergetar. Satu pesan baru diterima.

Ciyeee yang lagi skripsian :p
Ishhh ya serius lah, aku udah strong dong dan pengen banget naik gunung kayak kamu. Enggak sih, sebenernya aku emang pengen banget ke gunung, penasaran. Dan aku tau kamu suka banget sama gunung kan? Jadi aku gak salah dong ngajakin kamu? Paling gak, ada yang jagain aku di sana nantinya. Ini yang aku omongin ke mama. Makanya aku diijinin :)
Siaaap boss, pasti aku siapin dong. Beneran yah, Mahameru. See you soon next month, January :)

Aku membacanya dengan antusias dan segera mengetik di layar surepress hapeku, membalas pesan singkatmu.

Mmhh, okedeh kalo emang kamu udah niat gitu.
Pokoknya siapin ya semua-muanya. See you soon… tanggalnya nanti diomongin lagi ya :D

Tiba-tiba semangat muncul. Inspirasi mengalir deras. Ingin rasanya Januari segera datang. Aku lihat aplikasi calendar di hape ternyata Januari masih 28 hari lagi. 

“Tak akan seperti pendakian-pendakianku sebelumnya, ini akan jadi pendakian yang paling berkesan”, pikirku.

Aku melanjutkan membaca file word yang semenjak tadi terabaikan begitu saja. Satu per satu kalimat dan kata-kata serta analisis yang diberi tanda bulat dan tanda tanya oleh dosen pembimbing kuperbaiki. Inspirasi bisa datang sewaktu-waktu tapi mood menulis tak datang kapan saja. Mumpung sekarang si mood lagi baik, manfaatkan pula sebaik mungkin demi skripsi yang cepet rampung.

Hari-hari berlalu dengan lambat. Kesibukanku di kampus maupun tempat magang dan organisasi masih kurang berdampak pada percepatan zona waktu. Dampak besar yang terasa justru rasa rindu yang kian hari semakin menumpuk, menunggu pelampiasan pada inangnya. Tapi di satu sisi aku jalani hariku seperti biasa. Tak ada yang berbeda dari sebelumnya. Ini yang terjadi di luar karena tak ingin aku tunjukkan apa yang sebenarnya ada di dalam diriku ada diri yang lain sedang beraktivitas sama sepertiku. Dia yang mengendalikan semuanya, eksistensinya akan kentara saat aku sendiri dan merenung.

Januari datang juga dan hari-hari hujan masih mewarnai perjalanan sang waktu. Akhir-akhir ini hujan lebat memang turun, khususnya di area kampus dan kosanku. Tanggal pendakian sudah ditentukan setelah berunding denganmu beberapa hari yang lalu.

“Jadinya kamu bisa tanggal berapa nih naiknya?” Tanyaku mengawali perbincangan di telepon.

“Aku selesai UAS sekitar pertengahan Januari. Gimana kalo akhir Januari aja?” jawabmu dengan balik bertanya.

“Kita butuh waktu sekitar 4 hari di sana nih, kalo tanggal 25 sampai 29 Januari gimana?”

“25 Januari ya? 4 hari? Mmm…gak mau ah, kurang lama. Sebulan aja gimana?” 

“Yakaliii sebulan…serius nih”, nadaku agak sambil memonyongkan bibir.

“Hahahaha…iya sayaaang, aku setuju kok tanggal 25. Jadi kita berangkat tanggal segitu ya? Kamu bikin itenerary-nya yah”, jawabmu dengan nada menyebalkan.

“Ishhh…becanda mulu. Gak mau ah, kamu aja yang bikin sana! Hahahaha.”

“Hzzzzzzzzz…..” tak ada jawaban.

“Iya…iya..iyaaa…aku bikin aku bikin, nanti aku kirim ke emailmu apa yang musti kamu siapin deh. Oke?”

“Hahaha, iya…siap boss!” Kamu tersenyum, aku tahu itu.

***
Hari itu Jumat dan di kalender menunjukkan tanggal 25 Januari 2013. Aku sudah sampai di peron Stasiun Tugu, Jogja pukul tujuh pagi. Kemudian sarapan pecel di depan pintu masuk karena belum sempat sarapan di rumah. Sesekali aku perhatikan lalu lalang orang-orang lewat. Ada yang menarik perhatianku saat di jalan melihat kusir andong yang mengendarai andongnya dengan wajah yang terkantuk-kantuk. Cukup menggelikan tapi agak was-was juga kalau tiba-tiba pak kusir itu tidak sigap dengan kudanya, bisa terjadi kecelakaan. Salah perkiraan, si bapak itu meskipun dengan muka mengantuk tapi sangat cekatan mengendarai kudanya. Terbukti, di jalanan yang cukup ramai dengan kendaraan itu, dia bisa mengendalikan andongnya dengan stabil.

Nuansa tradisional dan modernisasi Jogja memang selalu menimbulkan banyak persepsi. Sosial masyarakat Jogja yang masih tetap memegang teguh budaya Jawa sebagai falsafah hidupnya dihadapkan pada gerusan era globalisasi yang terkesan sekuler, bisa hidup berdampingan dalam harmoni di Kota Gudeg ini. Lamunanku buyar ketika terasa pundakku ditepuk oleh seseorang.

“Halloooo…!!!!” 

Ekspresiku kaget ketika melihat ke belakang dan dua orang berjilbab ada di sana, yang satu aku tak pernah lupa sejak pertama bertemu dengan ciri khas wajah ramahnya dan satu lagi tentunya dengan muka ceria yang selalu senyum dan kacamata itu. Keduanya orang yang aku sayangi. Gerak reflek yang tiba-tiba dariku ialah memeluk gadis berkacamata itu. Rasa rindu yang lama menumpuk itu terasa tertumpah di sana. Namun, logika membangunkanku dari nuansa emosional itu. Kemudian pandanganku tertuju pada wanita berjilbab di belakang gadis berkacamata itu.

“Mamaa…apa kabar?” Aku menyalami wanita itu dan mencium tangannya. Dia ibu dari gadis berkacamata itu. Aku agak tersipu karena kelakuanku tadi.

Wanita itu menyunggingkan senyum lebar di wajahnya.

“Alhamdulillah, baik. Kamu apa kabar? Udah lama ya gak ketemu…tuh si Desi udah kangen berat katanya.”

“Ishh mamaa, apaan deh?” Gadis yang bernama Desi itu menimpali. Mukanya memerah.

“Alhamdulillah baik juga, hehe. Mama bisa aja. Oiya, sekalian mau izin, kita mau ke Malang. Rencananya mau ke Gunung Semeru, Ma. Mungkin Desi udah cerita sebelumnya, kita di sana sekitar 4 hari dan mohon doanya.” Aku mengakhiri kalimatku ini dengan senyum.

“Iya, dari sebulan lalu Desi udah ngomong soal ini. Mama sih ngijinin dan doain semoga selamat sampai pulang ke rumah lagi. Tapi yang penting kalian hati-hati ya di sana dan tolong mama buat jagain anak ini. Dia kadang gak kuat dingin. Mama pikir namanya gunung pasti dingin kan?” Sambil memeluk gadis berkacamata itu.

“Siap, Ma… Terima kasih doanya dan insyaallah kita bakal hati-hati dan inget pesen mama. Sebentar lagi kereta datang, mending kita siap-siap dulu, yuk…” 

Gadis berkacamata itu menimpali lagi,”Iya nih udah jam delapan, kayaknya kereta ke Malang jam 8.15 deh. Mamaa…Desi pamit dulu yaa.” Segera setelah itu dia mencium dan memeluk mamanya.

“Aku juga pamit, Ma… Assalamualaikum”, aku mengikuti pamit dan cium tangan.

“Waalaikumsalaam, kalian hati-hati ya…”, kata mama sambil tersenyum.

Kami pun menjawab bersamaan,”Iya Maa…”

Suara kereta mulai terdengar dari arah barat kejauhan. Sepertinya itu kereta kami. Segera aku bergegas dan berkemas barang bawaan yang hanya satu ransel 60 liter ini. Ranselmu tak begitu besar sepertinya, 40 liter.  Aku mengajakmu mendekat ke arah peron yang menurut petugas stasiun adalah tempat kereta menuju Malang itu akan singgah. Sesuai tiket, kami dapat tempat duduk nomor 21 A dan B di gerbong 3. Kereta pun tiba. Aku naik, menggandengmu yang terlihat terburu-buru naik. Perjalanan kami akan segera dimulai. Kami tak pernah tahu apa dan bagaimana yang akan terjadi di sana nanti. Mahameru, kami datang meraihmu.


****bersambung, mimpi masih panjang di tidur yang cukup pendek.

2 comments: