gambar: flickr.com |
**
Sore itu seperti biasa
aku menghabiskan waktu di perpustakaan mencari literatur untuk skripsiku. Sebagai
mahasiswa tingkat akhir, inilah kesibukanku akhir-akhir ini. Memang deadline
skripsi masih cukup panjang tapi tak ada salahnya memulai lebih awal, itu
prinsipku. Masa senggang di tahun terakhir ini kugunakan untuk magang di
beberapa lembaga swasta maupun pemerintah. Lumayan untuk menambah pengalaman
dan pastinya, menebalkan kantong sedikit.
Aku tengah mengangkat
tiga buku dari rak perpustakaan ketika hape terasa bergetar di saku celana. Tanda
pesan baru diterima, seperti biasa aku tahu karena memang aku men-silent
mode-kan hapeku itu. Aku berhenti sejenak ingin meletakkan buku itu kembali ke
rak dan melihat pesan singkat yang masuk, tapi kuurungkan niat. Aku lanjutkan
sejenak mencari satu literatur tentang information
retrieval system di rak 020.
Ternyata aku belum
berhasil menemukan literatur itu, tatanan buku di rak Perpustakaan UI ini
memang berantakan terkesan membingungkan. OPAC yang ada pun bisa dikatakan
hanya sebagai penanda mengenai nomor klasifikasi buku yang akan dicari bukan di
rak mana buku itu diletakkan. Inilah seninya menelusur ribuan koleksi di
Perpustakaan UI. Segala hal memiliki dua sisi, begitu pula di sini. Ada untungnya
juga dengan berantakannya tatanan buku di perpustakaan ini karena pengguna
dipaksa untuk menelusur ke jajaran rak sehingga bisa saja menemukan koleksi
buku yang menarik di luar konteks yang sebenarnya dicari. Aku juga, akhirnya
buku lain yang kuambil tentang “Manajemen Perpustakaan Digital” dari jajaran
rak dan bersama tiga buku sebelumnya aku membawanya ke meja baca.
Notebook-ku masih
menyala dan terlihat wallpaper Slytherin berpendar kehijauan. Kuletakkan buku-buku
tadi di sampingnya. File skripsiku-revised
kulihat dan kubaca sekali lagi denga gaya menyipit-nyipitkan mata dan
berkerut kening. Bukannya fokus malah pikiranku kabur mengawang entah kemana
dan aku teringat pesan singkat yang tadi. Terburu kuambil hape dari saku
celana.
Sore kakaaak…lagi ngapain?Januari besok naik gunung yuk. Aku penasaran nih dan udah diijinin sama mama juga loh… :DPengen ke Mahameru… >.<
Deggggg… Aku kaget
antara percaya dan tidak percaya saat membaca pesan singkat darimu yang di
notifikasi tertera pukul 15.53. Aku tak segera membalas, pikiranku kembali
mengawang tak tentu. Sekarang jam di hape menunjukkan pukul 16.45, berarti
pesan ini sudah 52 menit yang lalu. Segera aku memikirkan kata-kata untuk
membalas pesan singkatmu yang tidak biasa itu.
Aku lagi di perpus wul, nyari bahan skripsi, heheKamu serius ngajakin ke gunung? Tumben banget, ini ngajakin ke Mahameru pula, kayak bukan ciwul deh :pAku sih ayok aja, Januari besok aku bisa tapi kamu harus prepare dulu ya..coba search tentang pendakian gunung, gimana persiapannya, terus mulai deh siapin dari sekarang. Fisik dan perlengkapan.Oiya, ini beneran ajakan serius kan? Kamu gak takut dingin lagi?
Klik enter dan pesan
balasan pun terkirim. Aku kembali mengawang. It was surprising me that you ask me something you’re never ask before.
Seorang kamu yang aku tahu selama
ini tidak pernah kepikiran gunung, begitu cinta dengan pantai dan takut
kedinginan, tiba-tiba ngajakin naik gunung. Kalau aku, naik gunung adalah hobi.
Aku begitu mencintai aktivitas ini yang menurutku sangat relaksasif dan
refleksif. Naik gunung adalah salah satu aktivitas yang membuatku rileks. Rileks
karena menurutku menyatu dengan alam adalah bentuk meditasi paling sempurna dan
aku mendapatkannya di gunung-gunung itu. Di sana aku menemukan kedamaian dan
jati diri. Di puncak-puncak itulah aku menemukan diriku yang begitu kecil
begitu dekat dengan Sang Pencipta semesta. Di sanalah segala bentuk persaingan
dunia muncul dan sifat alami manusia saling terlihat sesama pendaki. Lamunanku buyar
ketika hape di meja belajar bergetar. Satu
pesan baru diterima.
Ciyeee yang lagi skripsian :pIshhh ya serius lah, aku udah strong dong dan pengen banget naik gunung kayak kamu. Enggak sih, sebenernya aku emang pengen banget ke gunung, penasaran. Dan aku tau kamu suka banget sama gunung kan? Jadi aku gak salah dong ngajakin kamu? Paling gak, ada yang jagain aku di sana nantinya. Ini yang aku omongin ke mama. Makanya aku diijinin :)Siaaap boss, pasti aku siapin dong. Beneran yah, Mahameru. See you soon next month, January :)
Aku membacanya dengan
antusias dan segera mengetik di layar surepress
hapeku, membalas pesan singkatmu.
Mmhh, okedeh kalo emang kamu udah niat gitu.Pokoknya siapin ya semua-muanya. See you soon… tanggalnya nanti diomongin lagi ya :D
Tiba-tiba semangat
muncul. Inspirasi mengalir deras. Ingin rasanya Januari segera datang. Aku lihat
aplikasi calendar di hape ternyata
Januari masih 28 hari lagi.
“Tak akan seperti
pendakian-pendakianku sebelumnya, ini akan jadi pendakian yang paling berkesan”,
pikirku.
Aku melanjutkan
membaca file word yang semenjak tadi terabaikan begitu saja. Satu per satu
kalimat dan kata-kata serta analisis yang diberi tanda bulat dan tanda tanya
oleh dosen pembimbing kuperbaiki. Inspirasi bisa datang sewaktu-waktu tapi mood menulis tak datang kapan saja. Mumpung
sekarang si mood lagi baik,
manfaatkan pula sebaik mungkin demi skripsi yang cepet rampung.
Hari-hari berlalu
dengan lambat. Kesibukanku di kampus maupun tempat magang dan organisasi masih
kurang berdampak pada percepatan zona waktu. Dampak besar yang terasa justru
rasa rindu yang kian hari semakin menumpuk, menunggu pelampiasan pada inangnya.
Tapi di satu sisi aku jalani hariku seperti biasa. Tak ada yang berbeda dari
sebelumnya. Ini yang terjadi di luar karena tak ingin aku tunjukkan apa yang
sebenarnya ada di dalam diriku ada diri yang lain sedang beraktivitas sama
sepertiku. Dia yang mengendalikan semuanya, eksistensinya akan kentara saat aku
sendiri dan merenung.
Januari datang juga dan
hari-hari hujan masih mewarnai perjalanan sang waktu. Akhir-akhir ini hujan
lebat memang turun, khususnya di area kampus dan kosanku. Tanggal pendakian
sudah ditentukan setelah berunding denganmu beberapa hari yang lalu.
“Jadinya kamu bisa tanggal
berapa nih naiknya?” Tanyaku mengawali perbincangan di telepon.
“Aku selesai UAS
sekitar pertengahan Januari. Gimana kalo akhir Januari aja?” jawabmu dengan
balik bertanya.
“Kita butuh waktu
sekitar 4 hari di sana nih, kalo tanggal 25 sampai 29 Januari gimana?”
“25 Januari ya? 4
hari? Mmm…gak mau ah, kurang lama. Sebulan aja gimana?”
“Yakaliii sebulan…serius
nih”, nadaku agak sambil memonyongkan bibir.
“Hahahaha…iya
sayaaang, aku setuju kok tanggal 25. Jadi kita berangkat tanggal segitu ya? Kamu
bikin itenerary-nya yah”, jawabmu dengan nada menyebalkan.
“Ishhh…becanda mulu. Gak
mau ah, kamu aja yang bikin sana! Hahahaha.”
“Hzzzzzzzzz…..” tak
ada jawaban.
“Iya…iya..iyaaa…aku
bikin aku bikin, nanti aku kirim ke emailmu apa yang musti kamu siapin deh.
Oke?”
“Hahaha, iya…siap
boss!” Kamu tersenyum, aku tahu itu.
***
Hari itu Jumat dan di
kalender menunjukkan tanggal 25 Januari 2013. Aku sudah sampai di peron Stasiun
Tugu, Jogja pukul tujuh pagi. Kemudian sarapan pecel di depan pintu masuk
karena belum sempat sarapan di rumah. Sesekali aku perhatikan lalu lalang
orang-orang lewat. Ada yang menarik perhatianku saat di jalan melihat kusir
andong yang mengendarai andongnya dengan wajah yang terkantuk-kantuk. Cukup menggelikan
tapi agak was-was juga kalau tiba-tiba pak kusir itu tidak sigap dengan
kudanya, bisa terjadi kecelakaan. Salah perkiraan, si bapak itu meskipun dengan
muka mengantuk tapi sangat cekatan mengendarai kudanya. Terbukti, di jalanan
yang cukup ramai dengan kendaraan itu, dia bisa mengendalikan andongnya dengan
stabil.
Nuansa tradisional dan
modernisasi Jogja memang selalu menimbulkan banyak persepsi. Sosial masyarakat
Jogja yang masih tetap memegang teguh budaya Jawa sebagai falsafah hidupnya
dihadapkan pada gerusan era globalisasi yang terkesan sekuler, bisa hidup
berdampingan dalam harmoni di Kota Gudeg ini. Lamunanku buyar ketika terasa
pundakku ditepuk oleh seseorang.
“Halloooo…!!!!”
Ekspresiku kaget
ketika melihat ke belakang dan dua orang berjilbab ada di sana, yang satu aku
tak pernah lupa sejak pertama bertemu dengan ciri khas wajah ramahnya dan satu
lagi tentunya dengan muka ceria yang selalu senyum dan kacamata itu. Keduanya orang
yang aku sayangi. Gerak reflek yang tiba-tiba dariku ialah memeluk gadis
berkacamata itu. Rasa rindu yang lama menumpuk itu terasa tertumpah di sana. Namun,
logika membangunkanku dari nuansa emosional itu. Kemudian pandanganku tertuju
pada wanita berjilbab di belakang gadis berkacamata itu.
“Mamaa…apa kabar?” Aku
menyalami wanita itu dan mencium tangannya. Dia ibu dari gadis berkacamata itu.
Aku agak tersipu karena kelakuanku tadi.
Wanita itu
menyunggingkan senyum lebar di wajahnya.
“Alhamdulillah, baik.
Kamu apa kabar? Udah lama ya gak ketemu…tuh si Desi udah kangen berat katanya.”
“Ishh mamaa, apaan
deh?” Gadis yang bernama Desi itu menimpali. Mukanya memerah.
“Alhamdulillah baik
juga, hehe. Mama bisa aja. Oiya, sekalian mau izin, kita mau ke Malang. Rencananya
mau ke Gunung Semeru, Ma. Mungkin Desi udah cerita sebelumnya, kita di sana
sekitar 4 hari dan mohon doanya.” Aku mengakhiri kalimatku ini dengan senyum.
“Iya, dari sebulan
lalu Desi udah ngomong soal ini. Mama sih ngijinin dan doain semoga selamat
sampai pulang ke rumah lagi. Tapi yang penting kalian hati-hati ya di sana dan
tolong mama buat jagain anak ini. Dia kadang gak kuat dingin. Mama pikir
namanya gunung pasti dingin kan?” Sambil memeluk gadis berkacamata itu.
“Siap, Ma… Terima kasih doanya dan insyaallah
kita bakal hati-hati dan inget pesen mama. Sebentar lagi kereta datang, mending
kita siap-siap dulu, yuk…”
Gadis berkacamata itu
menimpali lagi,”Iya nih udah jam delapan, kayaknya kereta ke Malang jam 8.15
deh. Mamaa…Desi pamit dulu yaa.” Segera setelah itu dia mencium dan memeluk
mamanya.
“Aku juga pamit, Ma…
Assalamualaikum”, aku mengikuti pamit dan cium tangan.
“Waalaikumsalaam,
kalian hati-hati ya…”, kata mama sambil tersenyum.
Kami pun menjawab
bersamaan,”Iya Maa…”
Suara kereta mulai terdengar
dari arah barat kejauhan. Sepertinya itu kereta kami. Segera aku bergegas dan
berkemas barang bawaan yang hanya satu ransel 60 liter ini. Ranselmu tak begitu
besar sepertinya, 40 liter. Aku mengajakmu
mendekat ke arah peron yang menurut petugas stasiun adalah tempat kereta menuju
Malang itu akan singgah. Sesuai tiket, kami dapat tempat duduk nomor 21 A dan B
di gerbong 3. Kereta pun tiba. Aku naik, menggandengmu yang terlihat
terburu-buru naik. Perjalanan kami akan segera dimulai. Kami tak pernah tahu
apa dan bagaimana yang akan terjadi di sana nanti. Mahameru, kami datang
meraihmu.
****bersambung, mimpi masih panjang di tidur yang cukup pendek.
ini kisah nyata apa imajnasi ya, kok dah tahhun 2013 sih?
ReplyDeleteMimpi gaes... :D
Delete