Tuesday, July 31, 2012

Akhir yang Mengawali Kehidupan Baru


sumber: pixabay.com
Manusia lahir, tumbuh dewasa, mengenal dunia, saling memberi, menebar manfaat, merasakan cinta kemudian mati. Semua akan melewati tahap demi tahap. Gue, gak begitu yakin sudah mencapai tahap yang mana. Yang jelas gue belum mati. Tapi intinya aku bersyukur terlahir ke dunia dengan segala keunikan dan keanehan ini.

Di bawah ini adalah tulisan—lebih tepatnya curahan hati—gue ketika merasakan sedikit tahap kehidupan yang cukup asin dirasa. Asam sih sebenernya bukan asin. Hahaha. Gue gak nyangka ternyata gue bisa nulis kayak gitu. Gue bukan cowok romantic apalagi melankolis ya, tapi ternyata bisa-bisanya gue nulis beginian. Ini tepatnya ketika gue baru putus cinta. Nahloh! Ini juga tulisan udah cukup lama. Mungkin 2 tahunan yang lalu deh. Gak tau apa yang gue pikirkan waktu itu tapi yuk deh dibaca aja kalo penasaran. Kalo gak penasaran, gampang…close tab aja. Kelar!

Pengen liat gue galau? Hahaha…

22.30
Yang ada di otak gue sekarang cuma orang yang paling gue benci. Bisa jadi dia orang yang paling gue benci sedunia.

Tapi apa alasan gue benci sama lo? Padahal lo bukan siapa-siapa atau apa-apa gue.

Tapi ya itulah, benci gue bisa tanpa alasan dan emang benci sama orang kadang bisa tanpa alasan. Tergantung konteksnya dan itu yang terjadi dengan gue sekarang.

Kadang gue mikir kenapa bisa selalu mikirin lo? Apa untungnya buat gue sedangkan lo aja mungkin gak peduli sama gue, gak pernah mau tau gimana gue sekarang.

Kalo aja ada pilihan di dunia sekali, sehari tanpa doa. Satu hal yang pengen gue lakuin sekarang. “Bunuh” lo. Kejam mungkin dan gue bakal dikira binatang sama orang-orang, gak berperikemanusiaan kata mereka. Jelas aja gak berperikemanusiaan, mereka aja binatang, yang cuma bisa makan ‘kotoran’ zaman. Terus? Apa bedanya?

Ada orang yang hidupnya gak pernah bisa lepas dari orang lain, bergantung dari belas kasih orang, mengais-ngais kantong orang lain. Tau lo?

“Hidup ini begitu indah..”, kata orang yang bisa menikmatinya.
“Hidup ini naif..”, kata orang yang tidak bisa memaknainya.
“Hidup ini sementara...”, kata Pak Ustad.
“Hidup ini panggung sandiwara..”, kata Ahmad Albar..(eh salah…hidup harusnya ‘dunia’ ye)
“Hidup ini bejat…”, kata para preman.
“Hidup ini gak adil..”. kata orang-orang yang tidak tau apa itu ke’adil’an yang sebenarnya.
“Hidup ini sudah berakhir..”, kata korban pemerkosaan yang mau bunuh diri.

Dan “hidup hidup” yang lain yang mungkin dikatakan oleh setiap orang…

Tapi kalo kata gue…”Hidup itu virus”. Kenapa? Karena ketika makhluk ‘hidup’, dia akan berusaha menjangkiti makhluk ‘hidup’ lainnya. Mencari inang untuk melampiaskan nafsunya, menjalar seiring aliran darah dengan cepat, mencari tempat untuk penetrasi dan ejakulasi, dan setelah puas, dia akan mencampakkan mereka begitu saja tanpa rasa berdosa dan mencari inang yang lain untuk dia ‘jangkiti’. Tau kan maksud gue? Gak? Bagus. Itu tandanya lo mikir.

22.59
Aku kembali ke kehidupan nyata. Hanya ini yang tersisa di hidupku. Penyesalan, kekecewaan, hina, terpuruk, pecundang, …hanya itu? Yaa, mungkinkah ada sedikit harapan untuk orang sepertiku?

Aku selalu terbuai dengan mimpiku. Merasa bahwa mimpi itu nyata bukan semu. Merasa bahwa esok pagi mimpi-mimpiku semalam akan jadi kenyataan. Menganggap bahwa segala hal yang terjadi itu berawal dari mimpi.

Hidup, mimpi, cita-cita, cinta dan masa depan.

Kenapa aku letakkan mimpi di urutan kedua setelah hidup? Itulah salah satu dari sekian banyak kebodohanku. Hah? Benarkah aku bicara soal kebodohan? Padahal ku sendiri tak yakin apakah aku masih punya kepandaian. Setiap hal yang aku lakukan hanya membuat orang lain kecewa. Tak ada pencapaian tinggi dalam hidupku.

23.11
Gue gak tau apa yang musti gue lakuin buat lo. Gue cinta dan dan gue sayang sama lo. Apa selama ini cara gue salah buat ngungkapin semua perasaan itu sama lo? Bisa jawab?

Ngomong plis, apa yang musti gue lakuin agar lo tau kalo gue sayang banget sama lo. Gue butuh lo, cuma lo yang ngertiin gue selama ini, lo yang ada buat gue, lo yang selalu support gue dari belakang, lo yang care banget sama gue… Tapi gue sendiri gak punya perasaan. Emang gue gak pernah ngungkapin perasaan gue. Itu smua cuma kiasan, cuma mimpi…gak ada yang nyata dalam hidup gue sekarang…bahkan untuk urusan cinta, gue NOL. Terus? Apa lo peduli?

23.16
Mimpi, sebenarnya untuk apa Sang Khalik memberi kita mimpi ketika tidur? “Mimpi itu cuma bunga tidur”, kata sebagian besar orang. Tapi sebenarnya Tuhan Maha Adil bahwa Dia memberikan kita mimpi saat terlelap. Ketika kita tidak bisa menjangkau hal yang paling mustahil kita raih pun ketika tidur kita bisa menjangkaunya, mencapainya, bahkan meraihnya dan mengenakan jubah kebesarannya.

Se-riil itukah? Pertanyaan yang bagus… Aku adalah orang yang percaya pada mimpi. Hampir mendewakan mimpi. Karena hidupku pun aku anggap mimpi yang suatu saat ketika kita terjaga apa yang baru saja kita alami akan menghilang begitu saja tanpa bekas. Dan yang ada hanya kekecewaan ketika kita tidak merampungkan sesuatu yang padahal sudah seharusnya kita lakukan.

23.21
Gue selalu mikirin lo, gak tau sampe kapan perasaan ini bakal bisa ilang. Gue gak yakin.
What are you looking for, boy? … Gue emang cuma bisa nunggu, dalam segala hal. Dan karena itulah gue ngalamin semua kekecewaan dan keterpurukan ini. Don’t tell her… starting from now, I’m not sure if we’ll be together. Gue gak mau ngulangin semua kesalahan masa lalu, sama siapapun.

Masa lalu gue udah terlalu buruk untuk terulang di saat gue ingin ngelupain semua itu. Gue bakal kubur hidup-hidup masa lalu itu. Gue hidup buat masa depan bukan cuma buat mengungkit masa lalu.

Masa depan gue terlalu berharga buat dikorbanin dengan hal-hal yang gak jelas kaya gini. Gue musti berubah mulai sekarang. Hidup gue masih panjang, masih banyak orang yang sayang sama gue…setidaknya itu yang gue yakinin.

Jangan pernah lagi hadir dalam kehidupan gue. Jangan pernah terulang masa lalu…

22.33
Aku pun tak tahu mengapa mereka berpikir seolah-olah mereka tahu segalanya. Seolah mereka itu malaikat yang menjagaku siang malam. Mereka seakan tahu apa yang aku lakuin selama ini, seolah mengerti apa yang aku rasakan saat ini.

Aku sendiri. Tapi seolah ada yang selalu mengawasiku… tapi siapa?

Bahkan orang tuaku pun tak pernah peduli denganku. Aku selalu yang terburuk di keluarga. Aku selalu kalah dengan saudara-saudaraku. Akulah yang selalu jadi ejekan mereka… Apa hak mereka dengan semua itu?

Sejak kecil, tak pernah aku merasakan kasih sayang orang tua. Bahkan mungkin aku tak pernah merasakan manisnya ASI, ataupun gendongan seorang ayah. Mereka terlalu sibuk dengan dunia mereka sendiri.

Tapi aku selalu terima. Aku pun tak pernah menuntut apapun. Sejak aku masuk bangku TK, SD, SMP aku selalu berprestasi. Orang-orang selalu bertanya, “Anak siapa ya…pinter banget?”. Pertanyaan itu yang tak pernah aku ingin jawab tapi harus aku jawab dengan perasaan ‘apapun’.

Ya, aku masih anak-anak, tepatnya kekanak-kanakan mungkin. Jelas saja sejak kanak-kanak aku tak pernah merasakan bahagianya seorang anak.

Aku selalu sendiri.

22.43
Gue masih gak bisa tidur. Wajar, buat anak kuliah tidur jam segini ga biasa juga sih. Udah biasa tidur di atas jam 1.00. Tapi sekarang beda. Beberapa waktu yang lalu selalu ada yang ngingetin gue buat tidur, makan, mandi, etc. Gak penting-penting amat benernya tapi gue nyaman sama dia.

+ Lagi ngapain nih? Belom bobo kan?

> Lagi di kosan aja, tiduran, bosen. Belom lah, kamu juga belom bobo? Ngapain?

+ Kenapa bosen? Na ngebosenin ya? Lagi gak bisa bobo, kangen… :(

> Bukan, bukan kamu dong…tugas2 kuliah nih yang bikin bosen, numpuk gak kelar2. Miss you too, Na…Jangan cembeyut gitu dong :)

+ Ya diselesein dong! Makanya jangan maen mulu! Iyaaa... :) Eh udah makan? Jangan telat loh…kebiasaan! 

> Iya2 deh nyonya… Udah kok tadi, kamu bobo gih, udah malem juga…

+ Iya deh, mataku juga tinggal 5 watt nih, hehe… Love you <3

> Siiiip deh, met bobo ya, nice drim… Love you too <3

Gue selalu inget, saat-saat yang selalu bisa bikin gue senyum-senyum sendiri, rela ninggalin semua tugas buat dia, rela buat ngorbanin uang saku sebulan demi beliin kado buat dia, rela ngabisin waktu berjam-jam buat nelpon dia… Tapi, uhh ngapain diungkit-ungkit? Gak  penting juga sekarang. Tapi tapi tapi… penting buat gue.

00.00
Aku masih kecil waktu itu ketika aku pulang sekolah dan melihat kedua orang tuaku. Tunggu! Tidak seperti yang kalian bayangkan yang seharusnya aku merasa bahagia saat kedua orang tuaku bertemu, tapi justru sedih yang muncul. Aku melihat dan mendengarkan dengan baik kedua orang tuaku bertengkar hebat. Tak jelas apa sebabnya, masih terlalu kecil aku waktu itu untuk memahami jalan pikiran orang dewasa yang serba rumit. Tapi sudah cukup mengerti bagiku bahwa kedua orang tuaku tak pernah akur.

Jarang-jarang mereka bertemu berdua sekaligus, kadang sebulan sekali, dua bulan sekali. Akupun seringkali bertemu mereka tak pernah lengkap, kadang hanya ibuku dan di lain waktu hanya ayahku yang di rumah. Mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka dan tak pernah menganggap aku ini ada, anak mereka sendiri.

Lagi-lagi aku sendiri dan menghadapi kenyataan bahwa kedua orang tuaku pernah bilang mau bercerai. Aku belum begitu mengerti waktu itu untuk memahami apa itu kata ‘cerai’, tapi mendengarnya saja aku seolah diberi tahu oleh sesuatu kekuatan yang ada dalam raga kecilku bahwa kata itu sangat buruk seburuk yang diucapkan ayahku pada ibuku…pun sebaliknya.

Aku sendiri….

Mengapa aku jadi terjebak dengan lamunan masa lalu  lagi? Sekarang aku sudah cukup dewasa untuk mengerti arti hidup walaupun kedengarannya aneh. Karena masih banyak yang menganggapku kekanak-kanakan. Yaa…tidak lebih baik sekarang dari dulu.”

Aku ingin terbangun dari mimpi-mimpi panjangku sekarang, aku ingin ada makhluk semacam alien yang akan membawaku ke dunia di mana orang lain tak ada yang mengenalku. Dan aku bisa memulai lagi semua dari awal, memulai semua dari nol…”

Aku ingin bangkit dari segalanya…

--Semakiin lama aku menulis, semakin aku tidak  mengerti apa yang baru aku tulis tapi semakin tertantang aku untuk melanjutkannya--


Jakarta, [lupa tanggal berapa bulan apa, 2010?]

Monday, July 30, 2012

Lelaki yang Ditunggu Dunia

sumber: montgomerytoday.blogspot.com
Saat ini dunia berharap pada para pria yang menghabiskan waktunya untuk membaca buku dan mengikuti banyak pelatihan, mencermati perkembangan terakhir yang ada di dunia ini dan menganalisis berbagai peristiwa daripada mereka yang sibuk berhura-hura, pergi ke salon, menata rambut, mempermak wajah dan memperkaya aksesorisnya.

Dunia, jauh lebih berharap kepada seorang pria yang peduli akan lingkungannya, kepada permasalahan bangsanya, ketimbang pria yang menghabiskan uangnya untuk memepercantik kulitnya.

Haha, bentar-bentar…sebenarnya apa yang sedang kita omongin ya? Oiya, saya coba jelaskan, sebenernya kita sedang membahas tentang pria uberseksual. Apa itu? Emang tu juga istilah baru. Apa sama dengan pria metroseksual? Apa malah homoseksual? Uberseksual, kalau dengan istilah metroseksual ya hampir-hampir mirip lah tapi kalau dengan istilah homoseksual, hmmmm kayaknya jauh deh. Hahaha

Istilah uberseksual itu diciptakan oleh sosiolog Amerika, Marian Salzman. Ehmm, sebenarnya istilah metroseksual juga diciptakan olehnya dan dia pulalah yang membunuh sitilah eh istilah tersebut. Istilah ini berasal dari bahasa Jerman, ‘uber’ yang berarti ‘segalanya, unggul, superior’ dan bahasa latin ‘sexus’ yang artinya ‘gender’. Jadi lelaki uberseksual bisa diartikan sebagai ‘lelaki yang mempunyai sifat dan karakter unggul dan superior’.

Menurut Marian Salzman, lelaki uberseksual adalah lelaki yang menggunakan aspek positif maskulinitas, seperti kepercayaan diri, kepemimpinan dan kepedulian terhadap ohrang lain di kehidupannya. Pria ini lebih sangat peduli pada nilai-nilai dan prinsip hidupnya dan lebih memilih untuk memeperkaya ilmju dan wawasannya di sela-sela waktu kososng yang ia miliki. Nah, pada saat ini dunia membutuhkan sosok lelaki dengan karakter yang telah disebutkan di atas.

Saya akan mencoba mengambil anekdot tentang lelaki uberseksual dan metroseksual karena pengertian keduanya kadang disamakan tapi sebenarnya jauh berbeda.
Jika lelaki metroseksual membelanjakan uangnya untuk ke salon atau bersenang-senang di mall, pria uberseksual menginvestasikan uangnya di bisnis, lembaga social atau keagamaan.
Jika lelaki metroseksual lebih nyaman berada di gym untuk memebentuk ototnya, pria uberseksual lebih senang menjejakkan kakinya ke lumpur, berkutat dengan masalah erosi pantai.
Jika lelaki metroseksual memeperbincangkan masalah mode terbaru, pria uberseksual memeperbincangkan masalah moral yang makin parah di bangsa ini.
Jika lelaki metroseksual lebih memilih berhura-hura di akhir pekannya, pria uberseksual mendatangi perpustakaan untuk mengisi otaknya dengan berbagai wawasan.
Namun, walau mereka sekokoh karang dalam meyakini prinsip-prinsip hidupnya, mereka juga adalah pria-pria yang hangat dan tidak kaku. Mereka memang tidak menangis jika menonton sinetron-sinetron kacangan di TV atau ditolak oleh wanita yang dicintainya, tapi mereka akan menangis jika melihat ketidakadilan terjadi dimana-mana, atau sangat terharu jika ada bencana yang menghancurkan rumah-rumah penduduk yang miskin. Mereka begitu peduli dengan orangtuanya dan kawan-kawannya.

Itulah kualitas seorang lelaki uberseksual. Mereka kaya dan memanfaatkan kekayaannya untuk kebaikan dunia. Mereka tenar dan memanfaatkan ketenarannya untuk mengajak orang lain untuk berbuat baik. Mereka cerdas dan memanfaatkan kecerdasannya untuk menjadi bagian dari solusi permasalahan dunia. Mereka stylish dan rapi, tetapi tidak berlebihan. Mereka berhati hangat tapi tidak cengeng. Mereka tidak hanya memikirkan penampilannya, keluarganya, atau bisnisnya, tetapi juga memikirkan bangsanya. Mereka memiliki mimpi-mimpi untuk dunia ini dan bekerja keras mewujudkannya. Itulah para lelaki uberseksual.

Itulah para LELAKI MASA DEPAN…

Mereka…adalah para lelaki yang ditunggu dunia….

Terimakasih:
Wahyu Awaludin dan Marian Salzman

Berjalanlah untuk Senja

sumber: http://1.bp.blogspot.com
Sekali waktu jalanlah keluar,
Kau akan menemukan jutaan hal berbeda di luar sana,
Di luar istana tempurung kelapamu,
Itu pernah aku dengar dari ayahku

Dan sore ini aku menikmatinya,
Berjalan sepanjang persinggahan,
Lagi-lagi aku menemuimu,
Senja di ujung kota

Sekali waktu jalanlah keluar,
Kau akan melihat ribuan bahkan jutaan pesona senja di hadapanmu,
Di  luar balkon kamar pengapmu,
Itu pernah aku dengar dari mu

Dan sore ini aku menikmatinya.
Sepanjang pertigaan Cikini...
Aku melihatnya...
Matahari senja di sisi gedung baru yang belum rampung

Kau pernah melihat pesona matahari senja?
Tak usah bohong,
Matamu menyiratkan jawaban,
Kau melihatnya di mataku?

Dua sosok termenung di tepi jalan,
Di pertigaan, senja itu...
Mereka berbincang dalam kehampaan, tak tahu
Aku berlalu di sampingnya, bertanya dalam hati
Sampai kapan mereka bisa menikmati pesona ini?
Matahari di sisi gedung,
Memerah keunguan dan sedikit temaram,

Berjalanlah untuk senja,
Senja di ujung kota,
Temaram dan dramatis,
Tiba-tiba melankolis,
Jalan pengap dengan sosok-sosok termenung di tepian,
Aku sangsi, lima tahun lagi tak bisa kunikmati suasana ini


Senja di Menteng, 30 Juli 2012

Friday, July 27, 2012

Tempe untuk Kehidupan


Siapa sih yang gak kenal tempe?
Hari ini, Jumat (27/7) adalah hari terakhir pedagang-pedagang di Jakarta dan sekitarnya mogok jualan tempe. Yah, sejak tiga hari yang lalu pedagang dan produsen tempe di area Jakarta melakukan mogok produksi dan jualan. Hal ini dipicu aksi protes mereka terhadap pemerintah yang dirasa tidak mampu mengendalikan dan mengatasi melambungnya harga kedelai di pasar nasional. Puncaknya, pada Selasa (24/7) kemarin ketika Gakopttindo (Gabungan Koperasi Tahu Tempe Indonesia) melakuka aksi sweeping di pasar-pasar untuk menyita tempe dan tahu dari para pedagang. Aksi ini mendapat tanggapan pro dan kontra dari masyarakat.

Itu sekilas tentang kondisi di Jakarta yang saya alami beberapa hari terakhir menyikapi fenomena kelangkaan dan melambungnya harga kedelai nasional. Tapi di sini saya melihat dari sisi lain dari fenomena ini. Ketika mendengar isu-isu tentang kelangkaan kedelai dan berimbas pada berkurangnya produktivitas tempe di Jakarta, saya langsung menghubungi keluarga saya di kampong (Kebumen, Jawa Tengah). Bukan apa-apa, karena dari dulu tempe adalah makanan favorit saya dan keluarga. Maklum orang desa seperti saya ini tentu punya ketertarikan berbeda dengan orang kota pada umumnya. 

Saya menelpon ibu saya dua hari yang lalu, menanyakan;

Bu, emang di Kebumen tempe langka bu?

Enggak tuh, emang kenapa?”, Ibuku menjawab dengan nada heran.

Nggak ada, Bu. Cuma di Jakarta ini sekarang tempe lagi langka, katanya harga kedelai naik.”

Oh ya? Berarti kesempatan buat Ibu bisa jual kedelai ke Jakarta ya?”, Ibuku komentar dengan semangat, padahal beliau gak pernah jualan kedelai.

Ibu ada-ada aja. Sejak kapan jualan kedelai? Tapi bener nih Bu, di rumah tempe masih banyak di bibi-bibi yang jualan itu?

Namanya juga usaha, De. Hehehe. Iya, beneran di rumah banyak tuh tempe. Harganya juga gak ada bedanya dari kemarin-kemarin. Ibu tahu nih kenapa Jakarta rebut-ribut soal tempe. Pasti karena masalah apa itu namanya improt-improt itu kan? Lha wong Negara yang katanya kaya sumberdaya alam dan tanahnya subur kok masih ngandelin luar negeri buat masalah pangan. Lho kok ya kenapa nggak pemerintah yang telaten ngoordinir masyarakatnya buat membangkitkan kembali kekuatan pangan Negara. Dulu aja bisa swasembada pangan kok ya sekarang gak bisa”, Ibuku berkomentar dan saya membiarkannya meneruskan pendapat beliau itu.

Lha terus, njur piye, Bu?”

Kamu itu katanya mahasiswa kok ya nggak ada kritisnya sama sekali toh? Ibu ini sih curiga jangan-jangan isu-isu kayak gini itu bikinan pemerintah. Mungkin saja toh? Pemerintah sengaja membuat kedelai langka, terus dengan berlagak pahlawan akan menngeluarkan kebijakan khusus tentang ini sehingga setelah semua teratasi, citra pemerintah akan naik. Iya lah, mungkin aja ini politik pencitraan pemerintah loh.

Ibu jangan suuzon sama pemerintah gitu. Bisa aja kan ini karena emang bener-bener nyata dan bukan rekayasa pemerintah.”

Oalah kamu ini kayak nggak ngerti politik aja, De. Kalo ada isu-isu yang berkaitan dengan masyarakat langsung kayak gini kan banyak orang toh yang tiba-tiba nongol sok pahlawan terus berpendapat ini itu. Biar dibilang pro-rakyat. Maklum to, lha wong bentar lagi kan pemilu presiden…” Komentar ibuku makin menjadi-jadi.

Itu cuma beberapa petikan percakapan telepon antara saya dengan ibu. Awalnya saya penasaran apakah kondisi yang terjadi di Jakarta, imbasnya juga dirasa di tempat lain, khususnya kampung saya. Ternyata di kampong saya tidak begitu signifikan dampaknya. Malah ibu saya yang punya argumen lain mengenai fenomena ini. Sungguh terlalu, saya merasa malu sebagai generasi muda yang kurang kritis pada fenomena yang terjadi di masyarakat.

Harapan masyarakat pada pemerintah begitu besar untuk kesejahteraan hidup mereka. Kedelai dan olahannya bagi sebeagian besar masyarakat Indonesia sudah menjadi kehidupan. Sisi kehidupan lain yang memang jarang atau bahkan tidak pernah absen dari kesehariannya. Bagaimana tidak, masyarakat Indonesia sudah begitu akrab dengan olahan bahan pangan satu ini. Tempe, tahu, kecap, oncom, susu kedelai, dan sebagainya merupakan hal yang sangat familiar di lidah orang Indonesia. Nah, kemudian apa yang terjadi jika tiba-tiba bahan pangan itu menghilang di pasaran?

Pemerintah dan masyarakat sudah seharusnya bersinergi untuk membangun kebijakan yang spektakuler dan strategis untuk menjaga stabilitas pangan nasional. Kebijakan yang pemerintah ambil dalam hal ini harus kompatibel dengan kebutuhan petani-petani tanah air. Merekalah pahlawan kita, sudah sepantasnya kita dukung dengan fasilitas dan sarana pendukung yang memadai. Harga-harga alat pertanian dan pupuk juga harus memadai dan seimbang antara potensi pendapatan dan pengeluaran yang harus mereka keluarkan. 

Kemudian yang tidak kalah pentingnya ialah masyarakat sendiri juga harus sadar lingkungan dan melakukan pengembangan pembangunan yang sadar alam. Jangan terlalu banyak menggerus lahan pertanian untuk membangun properti. Memang ini penting, tapi analisislah dampaknya ke depan. Bagaimana jika 20 tahun yang akan datang lahan pertanian di Indonesi sudah habis dan tidak produktif lagi. Kita akan semakin bergantung dengan Negara lain dalam hal pangan. Dengan begitu, bukankah sama saja kita menghancurkan sendiri kedaulatan Negara ini?

Semua pihak, marilah bercermin pada diri kita masing-masing, siapakah yang seharusnya bertanggung jawab akan fenomena yang terjadi selama ini?

Monday, July 23, 2012

Gumaman Senja

sumber: www.cepolina.com
Kini senja datang...
Tak lagi dengan mega mendungnya...
Tapi dengan semu kehitaman bak awan badai di ujung benua...
Apa arti semua ini?

Dua hari yang lalu tiga orang mengetuk pintu pagar depan
Tak tahu apa maksud kedatangannya,
Satu dari mereka tertegun melihat dua engsel pintu depan rumahku terkuak,
Apa yang terjadi kemudian?

Sejujurnya aku tak begitu paham arti rindu,
Aku pun tak begitu pandai untuk menafsirkan jutaan kata cinta,
Mereka selalu bilang,
"Apa yang kau pikirkan selama ini?"

Mereka berkata, aku ini sosok yang dingin...
Mereka bilang, aku ini tak tahu aturan,
Mereka berguman, aku selalu yang jadi topik pembicaraan,
Lalu, apa maumu sebenarnya?

Mungkin senja tak lagi kemerahan,
Saat kami terduduk di depan peron,
Menunggu kereta sore membawa kami pulang,
Pulang menuju kehampaan tak berujung?

Bukankah ini yang kau mau?
Tidakkah ini sebenarnya yang kau tuju?
Benarkah jika hari selalu menjadi saksi setiap tingkah lakuku?
Aku tak percaya pada diriku sendiri, lalu kenapa?

Dua sosok termenung di bawah rembulan...
Rembulan yang selalu jadi perlambang femininitas,
Bagiku terkadang sebaliknya,
Tapi kemudian kami saling bercerita...masa lalu.

Senja...
Izinkan aku melihatnya...


Senja di Menteng, 23 Juli 2012

Friday, July 20, 2012

Ekspedisi Puncak Ciremai: Jalur Unik Via Linggarjati

Trek Tanjakan Seruni, Via Jalur Linggarjati
Liburan memang selalu menyenangkan dan akan lebih bermanfaat jika kita menemukan cara yang tepat untuk menghabisinya. Setuju gak temen-temen? Harusnya sih setuju dong…

Aku  mau share pengalaman mendaki ke Gunung Ciremai kemarin pada 6—8 Juli 2012. Kami berlima dalam pendakian ini, empat orang masih sama dengan pendakian tahun lalu dan ditambah satu orang yang kami sebut guest star. Hehe. Pendakian ini sudah kami rencanakan sejak awal semester dengan destinasi pilihan ke Gunung Salak, Gunung Cikuray, Gunung Ciremai, dan Gunung Papandayan. Akhirnya pilihan jatuh pada Gunung Ciremai, gunung tertinggi di Jawa Barat dengan ketinggian 3078 mdpl (meter di atas permukaan laut).

Perjalanan kami dimulai hari Jumat (6/7), berangkat dari basecamp di Jagakarsa, Jakarta Selatan pukul 10.00 WIB dengan angkot menuju Pasar Rebo. Bus menuju Kuningan Cuma ada sejam sekali jadi kami masih harus menunggu bebeapa saat hingga akhirnya bisa naik bus Luragung trayek Kampung Rambutan-Kuningan. Waktu menunjukkan pukul 11.13 WIB saat kami naik bus.

Kami berencana naik lewat jalur Linggarjati sehingga turun di Pertigaan Linggarjati dan ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 17.03 WIB. Perjalanan yang melelahkan karena bus terjebak macet di Tol Cikampek dan masih harus langsir bus. Ongkos perjalanan bus ini 45.000 rupiah, meleset dari perkiraan kami yang tadinya hanya 35.000 rupiah. Tujuan pertama kami adalah mencari mushola untuk cuci muka dan sholat. Selanjutnya menuju Pos Linggarjati (600mdpl) untuk melakukan registrasi pendakian. Registrasi dikenakan tariff 10.000 rupiah per orang, semoga tarif ini bisa digunakan sebagaimana mestinya untuk kelestarian lingkungan Gunung Ciremai.

Sesuai dengan plan, kami akan ngecamp di Pos Cibunar pada malam pertama. Setelah makan dan sholat maghrib, pukul 19.30 WIB kami berangkat melewati jalanan yang ternyata sudah beraspal sampai Pos Cibunar.  Setengah jam perjalanan, kami sampai di Pos Cibunar (750mdpl) dan di sana sudah ada camp dari pendaki lokal Cirebon. Kami mengambil tempat di shelter milik perhutani untuk bermalam, jadi tidak perlu mendirikan dome. 

Di Pos Cibunar ini, kami bertemu dengan LSM Green Ranger yang sedang turun gunung. Kami mengobrol dengan salah satu anggotanya dan ternyata mereka sedang dalam rangka Ekspedisi 18 Puncak Jawa. Gunung Ciremai ini merupakan puncak ke-16 yang sudah mereka daki yang akan berakhir di Gunung Gede-Pangrango.  Aku pun sempat merasa iri sekaligus salut dengan mereka, yang sudah mendaki begitu banyak puncak di Jawa.

Kami berangkat untuk melanjutkan pendakian pada paginya, pukul 6.00 WIB. Setelah sarapan mie instan dan ngopi, kami langsung naik. Target kami adalah sampai di Pos Pengasinan (pos terakhir sebelum puncak) sebelum pukul 15.00 WIB, antisipasi sebelum kabut turun. Pos berikutnya setelah Cibunar adalah Pos Kondang Amis yang kami tempuh dalam satu jam. Jalur yang kami lalui disini adalah hutan pinus dan kebun kopi dengan kemiringan lahan relatif masih banyak bonus. Sepanjang jalur Cibunar—Kondang Amis, kami menjumpai tiga gubuk kayu bekas warung yang kami duga dibangun sekitar tahun 2004-an. Banyak coret-coretan di dinding gubuk tersebut. Waktu menunjukkan pukul 7.00 WIB dan kami melanjutkan perjalanan.

Pos berikutnya adalah Blok Kuburan Kuda (1580mdpl). Kami tiba di sini dan arloji di tangan menunjukkan pukul 8.00 WIB. Jalur yang kami lalui adalah jalan-jalan sempit berumput, vegetasi tua yang besar-besar. Seperti referensi yang aku dapat sebelum pendakian ini, mulai di pos ini ada tawon yang seolah mengikuti kami, bahkan sampai Pengasinan. Di Blok Kuburan Kuda, kami bertemu dengan regu pramuka dari MAN Cirebon berjumlah 10 orang.

Menjelang Pos Pengalapan (1790mdpl), jalur yang kami lalui mulai ekstrem dengan tanjakan yang panjang dan banyak pohon-pohon tumbang di sini.

Perjalanan kami lanjutkan melewati jalur Tanjakan Seruni yang cukup melelahkan, kemiringan rata-rata jalur ini ini 60-70 derajat bahkan ada beberapa yang vertical sehingga kami harus naik dengan bantuan akar-akar pohon yang nampaknya memang sudah sering digunakan sebagai pegangan bantuan bagi para pendaki. Kami sampai di Pos Tanjakan Seruni (1920mdpl) pukul 9.35 WIB. Di plang tertera bahwa puncak masih 4.2 kilometer lagi.

Jalur setelah ini terus mendaki dan mendaki, tanjakan dan tanjakan lagi bertubi-tubi, kadang tanah lempung, kadang batu-batuan dan kadang berdebu. Ini yang cukup membuat napas kami terengah karena debunya itu loh, apalagi sekarang musim kemarau. Perjuangan tidak ada yang sia-sia, dan akhirnya kami sampai di Pos Bapa Tere (2025mdpl atau 3.4km menuju puncak) pada pukul 11.14 WIB. Kami sempat foto-foto di pos ini karena tempatnya cukup menarik dan namanya unik, Bapa Tere (bapak tiri, ayah tiri)

Lima meter dari plang Pos Bapa Tere, jalurnya benar-benar 90 derajat dan harus naik dengan bertumpu pada akar-akar pohon. Tujuan kami selanjutnya adalah Pos Batu Lingga. Jalur menuju Batu Lingga rata-rata masih sama dengan sebelumnya, tanjakan dan tanjakan lagi. Vegetasi masih umum seperti  pohon-pohon palem dan vegetasi hutan tropis yang cukup besar- besar. Kami tiba di Pos Batu Lingga (2200mdpl) pukul 12.23 WIB. Karena tenaga kami cukup terkuras di perjalanan menuju pos ini, kami mengambil waktu istirahat hampir satu jam, niatnya sih cuma setengah jam tapi karena sudah istirahat biasa keterusan. Di pos ini kami menemui in memoriam untuk pendaki yang meninggal saat mendaki Gunung Ciremai. Di batu tersebut aku melihat ada dua nama yang terukir. Semoga mereka tenang di alam sana dan di terima di sisi-Nya.

Waktu menunjukkan pukul 13.30 WIB dan kami melanjutkan perjalanan menuju pos berikutnya. Matahari di atas kami cukup terik tapi udara di punggung Gunung Ciremai ini cukup segar sehingga keringat kami tidak begitu terasa. Tiba-tiba keluar begitu saja, tanpa tahu prosesnya.
Kami tiba di Pos Sangga Buana (2500mdpl) pukul 13.45 WIB dan langsung melanjutkan perjalanan ke Pos Sangga Buana II (2665mdpl). Kami sampai di pos ini menempuh hampir 50 menit perjalanan dengan jalur yang menanjak dan ada beberapa jalur sempit yang harus kami lewati dengan menunduk. Catatan: tawon yang mengikuti kami dari Blok Kuburan Kuda ternyata masih ada, terbang mengitari kami.

Pukul 14.34 WIB, kami berpikir bisa sesuai rencana untuk sampai di Pos Pengasinan tapi ternyata jalur yang harus kami lalui setelah Pos Sangga Buana II, menjelang Pos Pengasinan ekstrem juga. Kemiringan rata-rata 70 derajat dengan trek berbatu. Kami harus berhati-hati mengambil langkah agar tidak terpeleset di batu yang licin atau ranting-ranting rapuh.

Akhirnya kami tiba di Pos Pengasinan (2860mdpl), walaupun tidak sesuai target tapi ternyata kabut naik pun tidak sesuai target. Pukul 15.30 WIB dan kabut belum naik. Di sni, kami langsung mengambil tempat untuk mendirikan dome. Malam ini akan ngecamp Pengasinan sebelum muncak esok hari. Dome berhasil didirikan dan kabut pun mulai naik. Udara mulai membuat bulu kuduk berdiri, dingin. Mulut pun mulai mengeluarkan uap karena udara yang dibawah rata-rata.

Malamnya, kami masak-masak dan membuat api unggun—yang tidak bisa disebut api unggun karena cuma kecil dari pembakaran sampah-sampah kami—untuk menghangatkan badan. Suasana Kota Cirebon malam hari dengan jutaan lampu yang berpendar di kejauahan di bawah kami terlihat sangat eksotis. Berulang kali aku mengucap memuji kebesaran Sang Pencipta atas kuasanya membuat keindahan di muka bumi ini. Dan tentunya karena Dia telah memberiku kesempatan untuk menikmasi dan menyaksikan secuil dari kuasa-Nya tersebut.

Udara makin dingin, aku tidak mau mengambil resiko kalau terus di luar bisa membeku. Akhirnya, aku masuk ke dome. Kami masih sempat-sempatnya main poker di dalam dome. Lumayan untuk membunuh waktu dan mengusir dingin sambil tertawa-tawa sampai tertidur dengan posisi yang luar biasa aneh. Aku, yang cuma membawa celana pendek, masuk ke satu sleeping bag, sedangkan temanku yang lain berbagi sleeping bag dan dipakainya untuk selimut. Posisi kami pokoknya aneh dan yang penting bisa mengurangi dinginnya udara yang cukup menusuk tulang.

Pukul 4.00 WIB kami bangun, menikmati sunrise di Pengasinan. Berfoto-foto dengan gaya khas pendaki gunung. Fenomena matahari terbit, bagi para pendaki memang sesuatu yang selalu ditunggu-tunggu dan tak boleh terlewatkan momennya, begitu pula kami.

Setelah membongkar dome dan packing perlengkapan, kami melanjutkan misi kami menuju Puncak Ciremai. Perkiraan kami, perjalanan sekitar 30 menit lagi hingga sampai puncak. Ada dua jalur setelah Pengasinan ini untuk sampai di puncak. Jika mengambil arah kiri, jalur yang dilalui relative tidak terlalu terjal tapi berdebu luar biasa. Sedangkan jika mengambil arah kanan, jalur yang dilalui terjal dan berbatu-batu, kemiringan 70 derajat sampai hampir vertikal.

Sesuai ekspektasi, kami sampai puncak dalam waktu 30 menit dari Pengasinan dengan mengambil jalur kiri. Ahhhhhhhhhhh Puncak Sunan Cirebon (3078mdpl) sudah kami taklukkan. Tapi disini aku merasa begitu kecil dihadapkan dengan nikmat-Nya yang begitu besar. Luar biasa.

Setelah mengambil gambar, ber-narsis ria dan masih sempat-sempatnya main poker di puncak, kami turun menuju Pengasinan lagi. Waktu menunjukkan pukul 8.30 WIB. Kami turun lewat jalur kanan yang terjal dan berbatu karena lebih mudah untuk turun. Jalur berbatu serasa nyaman untuk menapak turun asal kita hati-hati daripada jalur berdebu satunya. Lewat jalur ini, kami disuguhi pemandangan yang luar biasa, Padang Edelweiss yang luas terhampar di depan kami. Bunga-bunga abadi ini baru mulai membuka kuncup-kuncupnya.

Sampai di Pengasinan lagi pukul 9.00 WIB dan kami beristirahat sambil menikmati perbekalan. Sebenarnya sambil menunggu teman yang waktu turun tadi terpisah dan mengambil jalur kiri. Kata pendaki lain, teman kami ini masih di jalan turun. Kami menunggu sampai pukul 10.30 WIB tapi tidak ada tanda-tanda teman kami turun. Cukup panik waktu itu, jangan-jangan tersesat. Kemudian salah satu dari kami naik untuk sweeping jalur, siapa tahu ada tanda-tanda dari teman kami itu. Tapi ternyata tidak ada, akhirnya kami memutuskan untuk turun dan positive thinking teman kami itu sudah turun mendahului kami.

Pukul 11.30 WIB kami turun dari Pengasinan. Di tengah perjalanan kami bertemu dengan pendaki lain dari Cirebon dan menanyakan apakah mereka bertemu dengan pendaki dengan ciri-ciri yang kami sebutkan. Ternyata mereka mengiyakan pertanyaan kami dan meyakinkan bahwa teman kami itu sudah turun dan gabung dengan pendaki dari rombongan lain. Kami lega mendengar kabar itu dan bisa turun gunung dengan tenang.
 
Ternyata benar, teman kami itu sudah sampai di Pos Cibunar terlebih dahulu. Kami lanjutkan turun ke Pos Linggarjati dan sampai di sana pukul 4.00 WIB (8/7). Setelah bersih-bersih, sholat dan makan, kami melanjutkan perjalanan untuk pulang ke basecamp. Sebenarnya petualangan kami tidak cuma sampai di sini karena perjalanan pulang kami pun cukup eksentrik untuk diceritakan tapi lain kesempatan deh.

Waktu tempuh kami di pendakian Gunung Ciremai per pos via Jalur Linggarjati;
Pos Linggarjati—Pos Cibunar --> 30 menit
Pos Cibunar—Pos Kondang Amis --> 1 jam
Pos Kondang Amis—Pos Blok Kuburan Kuda --> 1 Jam
Pos Blok Kuburan Kuda—Pos Pengalapan --> 1 Jam
Pos Pengalapan—Pos Tanjakan Seruni --> 30 menit
Pos Tanjakan Seruni—Pos Bapa Tere --> 1.5 jam
Pos Bapa Tere—Pos Batu Lingga --> 1 jam
Pos Batu Lingga—Pos Sangga Buana --> 20 menit
Pos Sangga Buana—Pos Sangga Buana II --> 40 menit
Pos Sangga Buana II—Pos Pengasinan --> 1 jam
Pos Pengasinan—Puncak Ciremai --> 30 menit
Total waktu tempuh pendakian --> 9 jam
Total waktu tempuh turun gunung --> 5 jam

Thursday, July 19, 2012

First Impression PKL di Perpustakaan Freedom

Perpustakaan Freedom, sumber: jfkoernia.wordpress.com
Liburan gue semester ini lumayan berwarna loh temen-temen. Walopun gak ada proyekan perpus dan sejenisnya tapi ada hal lain yang bikin liburan ini terasa lain dari biasanya. Kali ini gue harus menjalani PKL (praktik kerja lapangan) yang itungannya termasuk telat daripada temen satu jurusan seangkatan gue. Yang lain pada udah PKL di liburan semester empat, sedangkan gue baru bisa di semester enam. Udah deh gausah curhat kenapa gue ngambil PKL di semester enam ini ya, yang penting bisa aja. Hehe

Gue dapet tempat PKL di Perpustakaan Freedom, Freedom Intitute, Menteng, Jakarta Pusat, tau kan? Beberapa dari kalian pasti ada yang tau deh kalo udah pernah kesana atau paling gak pernah gak sengaja nemu di site-site internet. Ya, di situ gue PKL selama lima minggu terhitung mulai 9 Juli sampai 10 Agustus 2012. Sekarang udah berjalan sekitar satu setengah minggu dan emang sih belum banyak yang gue dapet dan gue pelajari di sana secara teori. Tapi banyak juga pengalaman lapangan yang gue temukan selama beberapa hari belakangan di sana.

Hari pertama gue masuk (10/07), Mas Wahyu (Kepala Perpustakaan Freedom) langsung menjadi tutor gue dan beliau menunjukkan karakteristik unik sebagai seorang kepala perpustkaan. Beliau ini menurut gue adalah sosok yang professional dalam kerjaan tapi bisa santai sesuai dengan tempatnya. Intinya beliau ini sosok yang pandai menghadapi dan menempatkan diri dalam berbagai situasi. Ada kan orang yang suka gak nyante waktu kita lagi nyante, gak bisa serius pas lagi serius. Nah, kalo Mas Wahyu ini sebaliknya.

Lalu ada Kak Shella, dia ini ternyata senior gue di kampus. Dia angkatan 2005 dan pantes aja gue gak ketemu pas waktu dulu ospek soalnya gue masuk si doi wisuda. Kalo Kak Shella ini, yang pasti cantik iya, baik iya, dan rekan-rekan yang lain sih bilangnya dia gendut tapi menurut gue sih gak gitu-gitu amat kok. Haha. Sebenernya banyak yang mau gue tanyain ke dia tentang manajemen Perpustakaan Freedom, tapi kayaknya dia ini sosok yang ketika gue tanya, gue harus punya cara yang tepat dalam bertanya sehingga jawabannya pun bisa komprehensif. Nah, gue lagi berusaha nyari metode yang tepat. Kebetulan doi di bagian promosi perpustakaan, dan gue masih beberapa waktu lagi masuk di bagian itu untuk mengeksplor lebih jauh .

Di bagian dokumentasi dan audio visual ada Mas Rian dan Mas Aco. Kalo Mas Rian ini sosok yang open banget sih kalo menurut gue. Dia banyak cerita tentang perjalanan hidupnya dari jaman kecil, sekolah sampai dia bisa direkrut oleh direksi Freedom Institute untuk jadi staf dan masuk di Perpustakaan Freedom. Dia termasuk yang bisa menyirami rohani gue dengan kisah hidupnya. Gue cukup nyaman kalo ngobrol dengan dia. Sosok ayah yang baik dan bisa mengayomi anaknya.

Kalo Mas Aco, gue sih belum bisa begitu tau karakternya. Yang jelas dia itu spesialis terjun di lapangan dalam hal kerjaan. Dia banyak pengalaman kerja outdoor dan seorang gadget maniac. Kalo ada barang baru, tanya dia deh pasti bakal update. Secara dia kan di bagian dokumentasi jadi ya banyak berhubungan dengan gadget-gadget gitu.

Yang gak kalah pentingnya di Perpustakaan Freedom ini adalah bagian kearsipan yang dipegang oleh seorang kakak cantik, Kak Ayu. Dia tiga tiga-empat tahunan lebih tua dari gue, tapi karena badannya yang kecil jadi tetep keliatan lucu-lucu gimanaaa gitu deh. Hehe. Gue juga belum banyak ngobrol sama doi, justru gue rasa dia yang mencoba membuka obrolan sama gue tapi bingung juga apa yang mau diobrolin. Oke, menurut gue sebenernya Kak Ayu ini sosok yang mudah diajak ngobrol asal gue punya topik aja. Tentunya nanti pas gue di bagian kearsipan ini bakal banyak ngobrol sama doi. Semoga bisa dapet banyak pengalaman tentang kearsipan dan preservasi bahan pustaka dari Kak Ayu.

Terakhir ada spesialis fotokopi dan dedengkot Perpustakaan Freedom, Mas Ujang. Beliau ini sudah bekerja di Perpustakaan Freedom sejak institusi ini berdiri pada tahun 2002. Pengalamannya di bidang perpustakaan, khususnya bidang pengolahan cukup mumpuni . Beliau lumayan hapal loh koleksi-koleksi yang dimiliki Perpustakaan Freedom. Menurut gue, beliau ini sosok pustakawan yang banyak ditempa oleh pengalaman di lapangan bukan Cuma dicekoki teori-teori di kelas. Gue masih harus banyak belajar dari beliau.

Tiga minggu ke depan, gue harus bisa banyak belajar dan lebih banyak menimba pengalaman dari tutor-tutor gue di atas. Gue gak mau stigma negatif dari temen-temen gue yang bilang kalo PKL itu cuma bakal jadi kuli dan gak bisa banyak belajar dari sana terjadi juga sama gue. Gue harus mematahkan stigma itu dan membuktikan bahwa PKL di dalam negeri pun bisa dapet ilmu gak kalah banyak daripada di luar negeri. Kita juga banyak stok pustakawan dan perpustakaan berkualitas kok, tinggal pinter-pinternya kita aja buat menemukan tempat dan orang yang tepat untuk belajar.

Ketika Ditanya: Kenapa Mendaki Gunung?

Photo by Danang, edited by Ambarr
Aku bukan seorang yang berpengalaman dalam hal mendaki gunung, tapi suka mendaki gunung. Aku juga bukan orang yang sering travelling, tapi aku suka melakukannya, mencari-cari waktu dan destinasi yang tepat untuk selalu melakukannya.

Mendaki gunung adalah aktivitas fisik yang cukup menguras tenaga, memacu adrenalin tapi sekaligus olahraga batin. Aspek jasmani dan rohani dalam kegiatan pendakian buatku selalu seimbang. Dalam pendakian, kita tidak hanya dituntut untuk mempersiapkan fisik secara matang tetapi juga aspek batin kita juga harus kondusif dan terkadang justru aktivitas mendaki gunung ini menjadi obat hati yang cukup manjur. Ketika sampai di puncak, aku merasakan sentuhan batin dan merasa begitu dekat dengan Sang Pencipta.

Perjalanan yang baik adalah persiapan yang baik, berlaku juga dalam mendaki gunung. Aku sih tidak ingin membahas tentang persiapan detail untuk pendakian gunung karena di situs lain sudah banyak yang membahasnya. Aku hanya ingin mengingatkan lagi bahwa untuk pendakian suatu gunung harus dipersiapkan dengan pertimbangan yang matang, mulai dari;
  1. Destinasi gunung yang akan didaki,
  2. Jenis atau karakter medan dari gunung tersebut,
  3. Jumlah atau rekan pendakian,
  4. Lamanya pendakian (lebih tepatnya lama perjalanan mulai dari berangkat sampai target sampai di rumah kembali),
  5. Rencana anggaran,
  6. Jasmani dan rohani tentunya,
  7. Perlengkapan dan peralatan yang dibutuhkan selama perjalanan pendakian,
  8. Transportasi yang akan digunakan,
  9. Perizinan, baik pada orang-orang terdekat maupun pihak register di pos pendakian,
  10. Kontingensi plan untuk poin 3, 4, 5, 7 dan 8 jika mungkin ada perubahan.
Jika persiapan-persiapn tersebut sudah kita lakukan dengan baik, ibaratnya kita sudah melakukan setengah perjalanan dan tinggal setengah lagi sebelum sampai tujuan dan pulang dengan selamat. 

Kemudian, apa sih sebenarnya yang dicari para pendaki gunung? Aku sering ditanya teman, apa sih yang lo cari dan lo dapetin dari hobi lo mendaki gunung? Lo suka nyari-nyari bahaya ya?. Buatku itu pertanyaan yang sulit, tapi aku ingin memberikan kutipan dari beberapa pendaki gunung profesional ketika ditanya hal-hal serupa.
"Begitu aku berada di atas gunung, akau tahu bahwa perasaan seperti ini akan membuatku memusatkan perhatian penuh pada tugas yang sedang kuhadapi. Tetapi kadang aku bertanya-tanya, tidakkah aku melakukan perjalanan panjang ini hanya untuk menyadari bahwa yang kucari sebenarnya adalah sesuatu yang kutinggalkan di belakang." (Thomas F. Hornbein)
"Kenyataannya, aku ingin mendaki gunung itu lebih dari apapun yang pernah kuinginkan dalam hidupku." (John Krakauer)
"Kemudian aku mulai mendaki gunung, dan olahraga ini memberiku banyak hal yang tidak aku temukan dalam kehidupan biasa. Tantangan, persahabatan dan perasaan memiliki misi selalu mengikuti setiap pendakian." (John Taske)
Orang-orang yang tidak pernah mendaki gunung cenderung beranggapan bahwa olahraga ini merupakan olahraga nekat. Sebuah kegiatan yang tidak masuk akal untuk meningkatkan gairah hidup. Akantetapi, anggapan bahwa para pendaki hanyalah orang-orang yang kecanduan adrenalin, yang selalu mengejar kepuasan moral, tidak sepenuhnya benar. Mendaki tidak sama dengan olahraga golf atau tenis. Ketahanan fisik dan emosional, perjuangan yang dituntut oleh kegiatan mendaki gunung menjadikan olahraga ini bukan sekedar permainan.

Ada lagi kutipan dari Om John Krakauer setelah doi mendaki Gunung Everest;
"Aku selalu sadar bahwa mendaki gunung merupakan kegiatan yang sangat beresiko. Aku juga sadar bahwa bahaya merupakan komponen terpenting dalam permainan ini. Tanpa itu, mendaki gunung tidak berbeda dengan rekreasi rutin yang lain. Rasanya menyenangkan bisa bersentuhan dengan sebuah keabadian yang menyimpan sejuta teka-teki, melihat sekilas wilayah-Nya yang terlarang. Mendaki merupakan kegiatan yang mengagumkan. Aku sangat yakin akan hal itu bukan karena berbagai resiko yang terkandung di dalamnya melainkan justru karena semua resiko tersebut."
Dari kutipan-kutipan pendaki profesional di atas, tinggal bagaimana kita melihat kegiatan mendaki gunung itu. Buatku kegiatan mendaki gunung mampu menciptakan perasaan memiliki. Menjadi seorang pendaki berarti bergabung dengan kelompok masyarakat mandiri yang idealis, kelompok yang yang kerap kali diabaikan tapi secara mengejutkan justru tidak terkontaminasi oleh dunia secara keseluruhan.

Mendaki gunung adalah budaya yang ditandai dengan persaingan, sangat maskulin dan yang terpenting adalah bahwa semua pendaki selalu berusaha untuk mengesankan pendaki yang lain (itu selalu aku rasakan ketika mendaki suatu gunung). Mencapai puncak manapun kurang penting dibanding dengan cara kita mencapainya, itu yang selalu dikatakan temanku saat mendaki gunung. Seorang pendaki akan merasa bangga jika dia berhasil mencapai puncak melewati rute yang paling sulit dengan perlengkapan minimal dan keberanian yang sulit dibayangkan. Tapi kemudian jangan menjadikan ini sebagai pembenaran untuk mengabaikan persiapan yang matang setiap menjelang pendakian. Bagaimanapun, keselamatan kita adalah tetap utama hingga kembali ke rumah dan bisa melakukan aktivitas seperti biasa.
"Jika kamu selalu mengeluh, kamu tidak akan mencapai puncak. Mumpung kita ada di tempat ini (Everest), sebaiknya kita jadikan pengalaman ini sesuatu yang menyenangkan." (Scott Fischer)
Jadikan setiap kegiatan pendakian gunung sebagai sesuatu yang menyenangkan. Mindsetting otak kita dengan hal itu dan percaya bahwa kita akan sampai puncak dengan spektakuler dan turun gunung dengan selamat. Keep mountaineering! Take it to the limit! Reach your summit!