Wednesday, December 26, 2012

Ada Camus di “Malaikat Juga Tahu"-nya Rectoverso

Foto Albert Camus dan Novel Rectoverso karya Dee Lestari
Mengubah rutinitas itu sama saja dengan menawar bumi agar berhenti mengedari matahari.

Mereka yang tidak paham dahsyatnya api akan mengobarkannya dengan sembrono. Mereka yang tidak paham energi cinta akan meledakkannya dengan sia-sia.

Dewi Lestari atau Dee adalah seorang penulis cerdas yang dalam setiap karyanya selalu tidak hanya unsur sastra yang diketengahkan. Dia bisa meracik adonan dari berbagai bidang ilmu ke dalam sebuah karya sastra yang luar biasa kontemplatis. Pemikiran fiktif, sains, kimia, sosiologi sampai filsafat adalah tema-tema yang menjadi ranah garapan karya-karyanya. Dia selalu bisa menjadi seorang yang saintis, humanis, sosialis, dan filosofis dalam karya-karya yang sederhana dan rumit dalam satu paket. Salah satu karyanya yang fenomenal adalah sebuah karya hibrida gabungan buku dan musik, Rectoverso.
 
Rectoverso adalah kumpulan cerita pendek yang diracik dari karya musik. Dua karya yang seakan saling bercermin sekaligus bisa dinikmati sebagai dua karya yang terpisah. Sebelas lagu dan sebelas cerpen yang instan dan intuitif adalah gambaran umum karya ini. Dari sebelas cerpen tersebut—masing-masing memiliki daya magis dan filosofis tersendiri—saya memilih salah satu diantaranya yaitu “Malaikat Juga Tahu” untuk menuangkannya dalam pemikiran filsafat dengan analisis dari beberapa tokoh eksistensialis.

Kenapa saya memilih satu cerpen itu? Apa menariknya? Memang isinya relevan dengan bahasan eksistensialisme? Siapa tokoh eksistensialis yang dimaksud? Apakah benar-benar representatif atau malah kontradiktif? Atau malah tidak ada hubungannya sama sekali? Di artikel singkat ini, saya ingin mengemukakannya secara apa yang telah saya pelajari di kelas eksistensialisme.

“Malaikat Juga Tahu” menceritakan tentang seorang autis yang dipanggil Abang. Abang ini adalah anak kedua dari tiga bersaudara pemilik sebuah kontrakan legendaris yang dipanggil Bunda. Dia sudah menginjak usia 38. Kakaknya meninggal ketika belum lulus SD dan adiknya jauh di perantauan untuk studi. Setiap hari dia punya rutinitas yang orang awam mengatakannya adalah sesuatu yang membosankan. Membangunkan seisi kosan sambil membawa cerek air panas, memotong rumput, menjemput baju-baju kotor dengan warna yang dia jadwalkan dan menghitung koleksi sabunnya yang bermerek sama dan berjumlah genap seratus. Di luar rutinitas itu, Abang ada sosok yang paling dihindari oleh seisi kosan Bunda. Seperti sosok Gregor Samsa yang berubah menjadi kecoa dan terasing dalam The Metamorphosis karya Franz Kafka

Fakta ini mirip dengan tokoh Sisyphus dalam The Mythe of Sisyphus hanya saja bedanya Abang bukan karena dikutuk oleh para dewa sehingga harus menjalankan rutinitasnya itu. Namun, dia melakukannya karena dia hidup tanpa pilihan atau mungkin pilihannya itu adalah memilih untuk hidup tanpa pilihan. Abang adalah absurd, dia hidup dalam keterasingan dan menjalani rutinitas yang membuatnya terasing karena kelemahan mentalnya. Tapi apakah dia tidak bahagia? 

Jika menyelami diri si Abang, mungkin saja dia bahagia. Digambarkan dalam cerita, bahkan dia tidak mau rutinitas itu dirubah. Merubah rutinitas itu sama saja dengan menawar bumi agar berhenti mengedari matahari. Terlepas dari keterbelakangan mentalnya, dia menghidupi keadaannya yang demikian. menikmati keabsurdannya dengan apa yang menurut kacamata kita adalah sesuatu yang absurd. Bukankah Camus mengatakan bahwa manusia eksis adalah manusia yang menghidupi keadaannya dan bahagia dengannya? Dengan begitu, Abang adalah sosok yang eksis dalam ketidakeksisan pandangan di sekitarnya.

Albert Camus mengatakan bahwa hubungan antara manusia dan dunia itu tidak jelas. Sedangkan ketidakjelasan itu muncul karena keinginan manusia yang tidak sejalan dengan kehidupan yang dijalaninya. Berkaca pada sosok Abang, dia menghidupi keabsurdannya dan memberikan kepastian pada dunia yang dia hidupi. Dia tidak sadar mengenai kelemahannya tapi itu tidak menjadikannya untuk mengakhiri kehidupan. Bukankah sebenarnya yang tidak eksis dan absurd itu adalah orang-orang di sekitar Abang, yang menganggap bahwa Abang itu sosok menakutkan dan tidak perlu ada karena ‘berbeda’?

Pemberontakan Abang terhadap absurditas yang terlabelkan pada dirinya berlanjut dalam cerita tersebut. Teori Emmanuel Levinas tentang ethics as first philosophy berusaha menjelaskan kenyataan yang dialami oleh Abang. Menurutnya, berpikir tentang being yang menyadari keberadaannya (sebagai manusia), ia menyadari dirinya terkait dengan the other yang mensyaratkan kewajiban dan tanggung jawab pada the other tersebut. Ini dilakukan oleh Abang, dia menyadari kehadiran orang lain bahkan akhirnya mengenal cinta darinya karena intensitas relasi yang terjadi. Seorang perempuan yang menjadi sahabatnya, mencurahkan segala isi hatinya, berbicara tentang apapun padanya. Abang berusaha mencari makna dalam hidupnya dengan bermakna untuk orang lain, perempuan itu. Dia berusaha menghancurkan sebuah feeling of absurdity meskipun akhirnya gagal.

Perempuan yang telah membuatnya jatuh cinta ternyata tidak merespon padanya. Perempuan itu tetap melihat jarak pada Abang, melihatnya sebagai sosok yang ‘berbeda’ dan tak mungkin ia menjadikannya sebuah pilihan. Kenyataan makin menyakitkan bahwa pilihan perempuan itu jatuh pada adik Abang yang baru pulang dari perantauan panjang. Hal ini tidak diketahui oleh Abang tapi setelah akhirnya perempuan dan adiknya memutuskan untuk kabur dari rumah dan menghindarinya, ketiadaan makna itu semakin menjadi.

Abang, yang tadinya menemukan makna hidupnya dalam diri perempuan itu, satu-satunya orang yang dia tuliskan dalam surat cinta tapi tak berbalas. Hingga akhir cerita, dia tetap kembali pada rutinitas yang entah sampai kapan akan tetap dia jalani meskipun sekarang berbeda. Rutinitas intensitas relasi konversasi yang biasanya dia lakukan bersama perempuan itu tak ada lagi. Padahal dia sudah menaruh ekspektasi tinggi, di luar batas ‘kelemahannya’ sebagai sosok autis. Sepertinya cinta memang bukan keahliannya atau lebih kejam lagi; bukan urusannya

Sekarang dia hanya punya sosok Bunda yang tak pernah lelah menemaninya. Bunda yang tak mampu menjadi malaikat untuk anaknya karena dia pun tak tahu siapa yang lebih mencintai siapa dan untuk berapa lama. Ini tentang cinta segitiga, Abang, adiknya dan perempuan itu. 

Sampai di akhir artikel ini saya masih bertanya-tanya, apakah feeling of absurdity itu juga berlaku bagi karakter seperti Abang? Secara logika, dia memiliki keterbelakangan mental dan apakah pernah terbersit pemikiran semacam itu. Pertanyaan saya ini juga berlaku untuk orang-orang lain yang memiliki kelemahan sama dengan Abang, autisme. Ini kelemahan atau justru kelebihan? Karena dengannya, dia justru bisa konsisten dan sepertinya menikmati rutinitasnya itu, bahagia dengannya. Dan kemudian saya jadi bertanya, apakah tokoh Sisyphus dalam The Mythe of Sisyphus adalah sebenarnya juga autis? Atau justru saya yang sedang mengalami keabsurdan level tinggi karena memikirkan ini?

Referensi:
Lestari, D. (2009). Rectoverso. Jakarta: Goodfaith.

No comments:

Post a Comment