Monday, December 3, 2012

Cinta dalam Sepotong Kayu Bakar


gambar: dakwatuna.com
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
.

Sajak karya Sapardi Djoko Damono di atas tidak asing di mata dan telinga kita kan? Dalam bentuk tertulis sering atau minimal pernah kamu lihat di buku mapel bahasa Indonesia SMA. Itu pun jika 123-ers pernah memperhatikannya, karena bagaimanapun mapel bahasa Indonesia di level SMP-SMA pasti cukup membosankan. Bener gak? Tapi tunggu dulu, 123-ers pernah dengar versi musikalisasi puisi Aku Ingin di atas? Ya, mungkin belum pernah baca atau lihat versi tertulisnya tapi pernah dengar versi musikalisasinya, gitu. Dalam versi musikalisasi, pesan dan makna puisi ini terasa lebih jelas, think-able dan feel-able.
Pesan dalam versi musikalisasi ini terasa lebih ngena. Mungkin karena sifat alami manusia yang mudah menangkap pesan dalam harmoni daripada sekedar paparan statis seperti halnya dalam teks. Puisi ini memberikan pesan tentang hakikat cinta dan mencintai. Sederhana, ya cinta dan mencintai itu sederhana. Begitulah pesan sederhana dengan kacamata sederhana yang kita tangkap dari puisi ini. Namun, saya ingin melihat dengan kacamata yang lebih tebal dan rumit. Belajar melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda dan lebih dalam dari biasanya.

Interpretasi saya didasari oleh aktualisasi pemikiran eksistensialisme, khususnya dari Kafka dan Milan Kundera. Jadi subjektivitas yang saya ambil bisa saja mengikuti pola mereka dalam berpikir ataupun konstruksi pemikiran yang dibangun oleh eksistensialisme dalam diri saya atau seseorang lain dalam diri saya. Sudahlah, itu tidak penting.

Cinta, sesuai yang digambarkan dalam puisi Aku Ingin memang sesuatu yang terlihat sederhana. Mencintai seseorang yang kita cintai dengan sederhana. Lalu, sederhana seperti apa yang dimaksud di sana, mengapa disebut sederhana, dan bukankah jika ada yang sederhana tentunya ada yang rumit. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mendasari neuron-neuron dalam otak saya terus bekerja keras. Saya sering mengatakan ini kepada pasangan saya, orang yang menurut kata hati “aku mencintaimu dengan sederhana”. Tapi se-sederhana itu kah?

Bagaimana tidak sederhana, jika mencintai itu digambarkan seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api? Bagaimana tidak sederhana, mencintai dianalogikan dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan? Tapi benarkah itu sederhana?

Menurut Kundera, ada satu konsep yang disebut dengan Love & Lust. Konsep ini dia gunakan—menurut interpretasi saya—untuk mengemukakan pemikirannya tentang relasi dalam masyarakat.  Relasi di sini saya gambarkan dalam relasi dua insan yang dikatakan sedang “fall in love”. Pada level mana sebenarnya cinta yang mereka tunjukkan pada masing-masing pasangannya. Sudah pada tahap love atau masih hanya sekedar lust belaka. Ini yang perlu diuraikan untuk memahaminya lebih lanjut.

Cinta, benar-benar cinta tidak sesederhana yang sering kita katakan. Pun yang terungkap pada puisi Aku Ingin di atas. Cinta, benar-benar cinta baru benar-benar dirasakan kalau itu memang cinta setelah melalui proses penderitaan dan kerumitan yang tak terukur panjang atau pendeknya. Jangan bilang cinta jika selamanya bahagia. Dan benarkah cinta itu bahagia? Cinta itu menerima, memberi, memahami dan menderita bersama. Bapak Sapardi Djoko Damono mengatakan “…mencintaimu dengan sederhana…” tentunya ada maksud tersirat di sana bahwa ada yang rumit dibalik setiap kesederhanaan. Coba pikirkan, bagaimana kita tahu itu sederhana jika tidak ada yang rumit? Sama halnya kita memahami ada terang setelah kita tahu ada kegelapan.

Pun dengan cinta, coba pikirkan ketika kita mencintai seseorang  hal yang ada di benak kita adalah keinginan untuk berada selalu di sampingnya, memegang tangannya, memeluknya, mungkin mencium keningnya sebelum tidur, sampai pada tahap yang ekstrim melakukan ‘sesuatu’ di luar norma asusila yang ada. Benarkah itu cinta? Atau itu hanya sekedar lust?

Bandingkan dengan cinta ini, cinta yang benar-benar cinta itu yang seperti  apa? Kenapa justru saya yang bertanya? Abaikan. Pada intinya, bagi saya cinta itu proses. Proses yang terus berjalan seiring waktu yang sungguh keterlaluan tidak pernah berjalan mundur. Proses ini tentunya melewati banyak tahapan-tahapan hidup entah itu pahit, manis, hambar hingga getir. Cinta itu bahagia, tapi benarkah bahagia itu ada. Karena kita tahu sesuatu hal itu ‘bahagia’ hanya setelah kita melaluinya. Bahagia itu tidak ada (menurut Kafka). Bahagia itu selalu ada dalam memori. Orang yang selalu mencari kebahagian adalah orang yang terjebak dalam memori masa lalu. Dia akan selalu membandingkan momen yang terjadi hari ini dengan apa yang menurutnya ‘bahagia’ di masa lalunya.

Jadi, masih berpikir cinta itu bahagia? Terlalu naif untuk berkata demikian. Jika ingin selalu bahagia, hiduplah di masa lalu, itupun jika mungkin. Biarpun ada suatu mesin atau pintu untuk menuju ke masa lalu di momen yang menurut kita mem’bahagia’kan, apakah kita masih menjadi individu yang sama pada momen itu? Cinta, lebih tepat dikatakan sebagai proses. Cinta itu proses untuk melalui tahapan-tahapan dalam hidup. Momen-momen yang terjadi dalam relasi cinta dua individu akan menjadi memori yang entah itu membahagiakan atau menderitakan.

Jika kamu benar-benar mencintai seseorang, jangan hanya mau senengnya aja. Kamu juga harus terlibat dalam setiap penderitaan pasanganmu. Penderitaan yang dijalani bahu membahu dan saling menopang itulah yang nantinya akan menghadirkan kebahagiaan di satu titik. Pun satu titik itu bukan menjadi target dalam kehidupan cinta kita, tapi justru pada proses menghidupi dan menyelami setiap penderitaan hari ini.

Kembali ke puisi Aku Ingin, di sana juga terlihat proses kerumitan sebelum ungkapan ‘sederhana’ muncul secara eksplisit. Pada bait pertama diungkapkan bahwa “aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu”. Ada kerumitan dan penderitaan yang dialami si kayu dalam konteks ini. Si kayu tak bisa mengungkapkan apa-apa pada api, padahal dia yang menjadikannya abu. Tentunya proses menjadi abu maupun ketidaksempatan kayu mengungkapkan kata-kata inilah yang menyakitkan, rumit dan penuh penderitaan, tapi  berakhir dengan sebuah kesederhanaan. Sebuah cinta yang sejati muncul karena begitulah hakikatnya. Baik kayu dan api menjalankan perannya dengan sempurna, saling menopang demi bukan sebuah target di satu titik kesempurnaan (kebahagiaan) melainkan pada proses yang menjadikan mereka suatu subjek yang memiliki jiwa, hidup dan sempurna.

Kebahagiaan bisa kita rasakan setelah kita tahu arti sebuah penderitaan dan kesederhanaan kita nikmati setelah tahu makna kerumitan. Satu hal selalu memiliki dua sisi yang bukannya saling mereduksi tapi justru saling melengkapi. Dan, jangan terjebak dengan kebahagiaan masa lalu karena kita sebenarnya tahu tidak mungkin, saya ulangi TIDAK MUNGKIN kita bisa kembali ke masa lalu. Hidupi hari ini, cipta-karsa dan rasakan cintamu setiap detik dan hembusan nafasmu. Nyalakan lentera kesederhanaan dengan bahan bakar kerumitan yang dinikmati bersama. Sekian.

Jakarta, 3 Desember 2012 (di ruang tamu kosan)

No comments:

Post a Comment