gambar: dakwatuna.com |
Aku ingin mencintaimu dengan
sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu.
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan
sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Sajak karya Sapardi
Djoko Damono di atas tidak asing di mata dan telinga kita kan? Dalam bentuk
tertulis sering atau minimal pernah kamu lihat di buku mapel bahasa Indonesia
SMA. Itu pun jika 123-ers pernah
memperhatikannya, karena bagaimanapun mapel bahasa Indonesia di level SMP-SMA
pasti cukup membosankan. Bener gak? Tapi tunggu dulu, 123-ers pernah dengar versi musikalisasi puisi Aku Ingin di atas? Ya, mungkin belum pernah baca atau lihat versi
tertulisnya tapi pernah dengar versi musikalisasinya, gitu. Dalam versi musikalisasi, pesan dan makna puisi ini terasa
lebih jelas, think-able dan feel-able.
Pesan dalam versi
musikalisasi ini terasa lebih ngena.
Mungkin karena sifat alami manusia yang mudah menangkap pesan dalam harmoni
daripada sekedar paparan statis seperti halnya dalam teks. Puisi ini memberikan
pesan tentang hakikat cinta dan mencintai. Sederhana, ya cinta dan mencintai
itu sederhana. Begitulah pesan sederhana dengan kacamata sederhana yang kita
tangkap dari puisi ini. Namun, saya ingin melihat dengan kacamata yang lebih
tebal dan rumit. Belajar melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda dan
lebih dalam dari biasanya.
Interpretasi saya didasari
oleh aktualisasi pemikiran eksistensialisme, khususnya dari Kafka dan Milan Kundera. Jadi subjektivitas yang saya ambil bisa saja
mengikuti pola mereka dalam berpikir ataupun konstruksi pemikiran yang dibangun
oleh eksistensialisme dalam diri saya atau seseorang lain dalam diri saya.
Sudahlah, itu tidak penting.
Cinta, sesuai yang
digambarkan dalam puisi Aku Ingin memang
sesuatu yang terlihat sederhana. Mencintai seseorang yang kita cintai dengan
sederhana. Lalu, sederhana seperti apa yang dimaksud di sana, mengapa disebut
sederhana, dan bukankah jika ada yang sederhana tentunya ada yang rumit.
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mendasari neuron-neuron dalam otak saya terus
bekerja keras. Saya sering mengatakan ini kepada pasangan saya, orang yang menurut
kata hati “aku mencintaimu dengan sederhana”. Tapi se-sederhana itu kah?
Bagaimana tidak
sederhana, jika mencintai itu digambarkan seperti kata yang tak sempat
diucapkan kayu kepada api? Bagaimana tidak sederhana, mencintai dianalogikan
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan? Tapi benarkah itu
sederhana?
Menurut Kundera, ada
satu konsep yang disebut dengan Love
& Lust. Konsep ini dia gunakan—menurut interpretasi saya—untuk
mengemukakan pemikirannya tentang relasi dalam masyarakat. Relasi di sini saya gambarkan dalam relasi dua
insan yang dikatakan sedang “fall in love”. Pada level mana sebenarnya cinta
yang mereka tunjukkan pada masing-masing pasangannya. Sudah pada tahap love atau masih hanya sekedar lust belaka. Ini yang perlu diuraikan
untuk memahaminya lebih lanjut.
Cinta, benar-benar
cinta tidak sesederhana yang sering kita katakan. Pun yang terungkap pada puisi
Aku Ingin di atas. Cinta, benar-benar
cinta baru benar-benar dirasakan kalau itu memang cinta setelah melalui proses
penderitaan dan kerumitan yang tak terukur panjang atau pendeknya. Jangan
bilang cinta jika selamanya bahagia. Dan benarkah cinta itu bahagia? Cinta itu
menerima, memberi, memahami dan menderita bersama. Bapak Sapardi Djoko Damono
mengatakan “…mencintaimu dengan sederhana…” tentunya ada maksud tersirat di
sana bahwa ada yang rumit dibalik setiap kesederhanaan. Coba pikirkan, bagaimana kita tahu itu sederhana jika tidak
ada yang rumit? Sama halnya kita memahami ada terang setelah kita tahu ada
kegelapan.
Pun dengan cinta, coba
pikirkan ketika kita mencintai seseorang
hal yang ada di benak kita adalah keinginan untuk berada selalu di
sampingnya, memegang tangannya, memeluknya, mungkin mencium keningnya sebelum
tidur, sampai pada tahap yang ekstrim melakukan ‘sesuatu’ di luar norma asusila
yang ada. Benarkah itu cinta? Atau itu hanya sekedar lust?
Bandingkan dengan
cinta ini, cinta yang benar-benar cinta itu yang seperti apa? Kenapa justru saya yang bertanya?
Abaikan. Pada intinya, bagi saya cinta itu proses. Proses yang terus berjalan
seiring waktu yang sungguh keterlaluan tidak pernah berjalan mundur. Proses ini
tentunya melewati banyak tahapan-tahapan hidup entah itu pahit, manis, hambar
hingga getir. Cinta itu bahagia, tapi benarkah bahagia itu ada. Karena kita
tahu sesuatu hal itu ‘bahagia’ hanya setelah kita melaluinya. Bahagia itu tidak
ada (menurut Kafka). Bahagia itu selalu ada dalam memori. Orang yang selalu
mencari kebahagian adalah orang yang terjebak dalam memori masa lalu. Dia akan
selalu membandingkan momen yang terjadi hari ini dengan apa yang menurutnya
‘bahagia’ di masa lalunya.
Jadi, masih berpikir
cinta itu bahagia? Terlalu naif untuk berkata demikian. Jika ingin selalu
bahagia, hiduplah di masa lalu, itupun jika mungkin. Biarpun ada suatu mesin
atau pintu untuk menuju ke masa lalu di momen yang menurut kita
mem’bahagia’kan, apakah kita masih menjadi individu yang sama pada momen itu?
Cinta, lebih tepat dikatakan sebagai proses. Cinta itu proses untuk melalui
tahapan-tahapan dalam hidup. Momen-momen yang terjadi dalam relasi cinta dua
individu akan menjadi memori yang entah itu membahagiakan atau menderitakan.
Jika kamu benar-benar
mencintai seseorang, jangan hanya mau senengnya aja. Kamu juga harus terlibat
dalam setiap penderitaan pasanganmu. Penderitaan yang dijalani bahu membahu dan
saling menopang itulah yang nantinya akan menghadirkan kebahagiaan di satu
titik. Pun satu titik itu bukan menjadi target dalam kehidupan cinta kita, tapi
justru pada proses menghidupi dan menyelami setiap penderitaan hari ini.
Kembali ke puisi Aku Ingin, di sana juga terlihat proses
kerumitan sebelum ungkapan ‘sederhana’ muncul secara eksplisit. Pada bait
pertama diungkapkan bahwa “aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata
yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu”. Ada
kerumitan dan penderitaan yang dialami si kayu dalam konteks ini. Si kayu tak
bisa mengungkapkan apa-apa pada api, padahal dia yang menjadikannya abu.
Tentunya proses menjadi abu maupun ketidaksempatan kayu mengungkapkan kata-kata
inilah yang menyakitkan, rumit dan penuh penderitaan, tapi berakhir dengan sebuah kesederhanaan. Sebuah
cinta yang sejati muncul karena begitulah hakikatnya. Baik kayu dan api
menjalankan perannya dengan sempurna, saling menopang demi bukan sebuah target
di satu titik kesempurnaan (kebahagiaan) melainkan pada proses yang menjadikan
mereka suatu subjek yang memiliki jiwa, hidup dan sempurna.
Kebahagiaan bisa kita
rasakan setelah kita tahu arti sebuah penderitaan dan kesederhanaan kita
nikmati setelah tahu makna kerumitan. Satu hal selalu memiliki dua sisi yang bukannya
saling mereduksi tapi justru saling melengkapi. Dan, jangan terjebak dengan
kebahagiaan masa lalu karena kita sebenarnya tahu tidak mungkin, saya ulangi
TIDAK MUNGKIN kita bisa kembali ke masa lalu. Hidupi hari ini, cipta-karsa dan
rasakan cintamu setiap detik dan hembusan nafasmu. Nyalakan lentera
kesederhanaan dengan bahan bakar kerumitan yang dinikmati bersama. Sekian.
Jakarta, 3 Desember
2012 (di ruang tamu kosan)
No comments:
Post a Comment