Film hasil karya sutradara terkenal Scott Riddley ini
membawa genre fiksi ilmiah. Prometheus diawali dengan adegan yang menurut saya
membingungkan maksud dan tujuannya sampai akhirnya bisa dimengerti setelah
pertengahan film. Bagian tersebut menceritakan tentang proses penciptaan
manusia, bahwa mereka diciptakan dari medium tanah dan air. Kemudian logika
membawa pemahaman pada adegan awal film ini yaitu bahwa untuk menciptakan
kehidupan baru yang ideal harus dengan menghancurkan kehidupan yang lama.
Foto Albert Camus dan Novel Rectoverso karya Dee Lestari
Mengubah rutinitas itu sama saja dengan menawar bumi agar berhenti mengedari matahari.
Mereka yang tidak paham dahsyatnya api akan mengobarkannya dengan sembrono. Mereka yang tidak paham energi cinta akan meledakkannya dengan sia-sia.
Dewi Lestari atau Dee adalah seorang penulis cerdas yang dalam setiap karyanya selalu tidak hanya unsur sastra yang diketengahkan. Dia bisa meracik adonan dari berbagai bidang ilmu ke dalam sebuah karya sastra yang luar biasa kontemplatis. Pemikiran fiktif, sains, kimia, sosiologi sampai filsafat adalah tema-tema yang menjadi ranah garapan karya-karyanya. Dia selalu bisa menjadi seorang yang saintis, humanis, sosialis, dan filosofis dalam karya-karya yang sederhana dan rumit dalam satu paket. Salah satu karyanya yang fenomenal adalah sebuah karya hibrida gabungan buku dan musik, Rectoverso.
25 Desember 1993, di
saat banyak orang di dunia sibuk merayakan natal, seorang ibu tengah berjuang
antara hidup dan mati. Dengan peluh dan air mata, di sebuah rumah sakit di Kota
Gudeg sana. Seorang bayi dengan muka lugunya terlahir ke dunia, dan pada saat
itu juga jodoh dan rezekinya telah Allah tentukan baginya.
25 Desember 2012,
kembali di saat jutaan orang di dunia bersukacita dengan euforia natal, seorang
manusia yang terlahir 19 tahun silam tengah merenung dengan bertambahnya usia
yang harus dijalaninya. Momen pertambahan usia adalah selalu merupakan awal
perjuangan menuju hidup yang baru, menuju pencapaian-pencapaian yang baru,
mimpi-mimpi yang terus berkembang dan berbuah manis, pahit bahkan getir.
Semuanya telah-sedang-dan-akan dijalani.
19, sebuah angka
sederhana yang merupakan lingkaran jalur
angka 1 dari dua digit (1+9=10, 1+0=1, 1=jalur angka). Dia merupakan sebuah
keunikan jalur angka 1 karena terdiri dari digit terkecil (1) dan terbesar (9)
dan yang termuda.Lihat saja yang lainnya semisal; 10, 28, 37, 46, 55 sampai 91
yang merupakaan dua digit terbesar. Ini ngomong apa sih? Ngaco…hahaha, abaikan!
19, akan menjadi
gerbang sekaligus pintu keluar dari usia belasan ke usia puluhan. Perjalanan
masih saaaaaangat panjang.Semoga kamu bisa menemukan berkah di setiap langkah
perjalanan hidupmu.Semakin dewasa dalam menyikapi setiap masalah dan anugerah.
Sekali lagi, HAPPY BIRTHDAY my
super-neptune-agent-partner of the world, Desi Wulansari.
Our birthday greeting video project on youtube. Check this out!!!
Thanks for: ratih, kheke, tiya, pipit, ela, tiwi. Makasih buat bantuannya bikin video project ini.
Pandangan filsafat
Martin Buber tertuang dalam sebuah buku, yang tidak terlalu tebal untuk sebuah
buku filsafat, berjudul I and Thou.
Pandangan utamanya dalam buku ini menyatakan bahwa awal dari segala sesuatu
adalah relasi. Manusia hidup dalam relasi. Baginya, all real living
is meeting, manusia akan hidup terisolir jika tanpa
melakukan relasi apa-apa. Relasi yang pertama adalah I-It, dan yang kedua adalah I-Thou.
Di dalam “Mythe of Sisyphus” karya Albert Camus, ada
bagian yang membahas mengenai manusia absurd. Pada bagian ini, Camus
menginterpretasikan atau lebih tepatnya merefleksikan pemikirannya tentang
absurditas dalam tiga kisah menarik. Kisah-kisah ini memberi pemahaman rumit
tentang manusia absurd itu. Saya merasa ikut menjadi absurd atau mungkin
sayalah absurd hero itu ketika membaca ke-absurd-an pemikiran Camus dalam tiga
kisah manusia absurd tersebut.
Beberapa hari yang lalu saya diajak berdiskusi dengan seorang dosen filsafat. Topik yang kami bicarakan seputar 'cinta'. Wah ini menarik, pikir saya. Makanya saya mulai terlarut dalam obrolan demi obrolan sambil minum segelas blue squash. Kami membicarakan seputar Kafka. Kenapa Kafka? Saya juga kurang begitu ingat bagaiman awal mula membicarakan Kafka. Jelasnya, tadinya ngomongin seputar kafe dan tiba-tiba muncul nama "Milena Cafe".
Milena ini nama yang tak asing bagi para pecinta karya Kafka tentunya. Obrolan berlanjut dan yang saya dapat justru identitas dan sejarah Kafka.
"Bagaimanapun ini adalah soal produktivitas," demikian kata-kata muncul di benak gue.
Apa itu produktivitas? Apa yang gue pikirin sebenernya? Kenapa kata-kata itu sering banget berseliweran di otak gue?
Sepertinya gue sedang mengalami sebuah complicated-relationship dengan sebuah kata "productivity". Entahlah, semakin bertambah umur dan perkembangan pola pikir yang orientasinya juga semakin rumit, kayaknya makin banyak tuntutan pada diri sendiri. Belum lagi tuntutan dari orang lain, bahkan makhluk lain. Pernah gak sih lo, ngerasain gimana rasanya memikirkan masa depan? Gak tau deh, apa ini?
Kadang berpikir skeptis jadi titik temu yang cenderung ke arah pelarian diri dari kenyataan.
Di satu titik, memikirkan masa depan seringnya selalu yang indah-indah, bahagia, bisa punya ini-itu, dapet itu-ini, pergi ke sana-situ-sini dan sebagainya. Tapi di sisi lain, orang kedua dalam diri gue mengkontra,"Apa lo yakin dengan masa depan lo itu? Apa yang udah lo lakuin untuk bisa mencapai semua itu, sekarang?"
Jleb! Produktivitas, akhirnya bertolak ke kata satu itu. Bagaimana produktivitas gue saat ini? Kayaknya lo lebih banyak ngabisin duit daripada 'muterin' duit deh? Seberapa banyak yang udah lo lakuin buat sekitar lo? Yaampun, kayaknya semakin rumit.
Memikirkan pemikiran yang sudah seharusnya dipikirkan sehingga bisa membuat pikiran selalu kepikiran itu memang bukan sesuatu yang menyenangkan. Banyak orang bilang kontraproduktif.
When first I knew her, I thought her an amusing scrap of girl, silly and a bit grubby from her morning spent in the gardens. When not pottering about out of doors, she seemed always to be reading some poetic nonsense or other and loved nothing more than pose the most disturbing questions. Still, I liked her even then and, I think, she admired me. But her father took notice and pronounced me unsuitable, effectively pruning our young-friend-ship before it could grow into anything. I soon forgot about you. Or so I convinced myself.
Years passed, and when I saw her again she was altogether changed. Not only her situation, which had changed from privileged to piteous, but also her very substance. At least it seemed so to me.
Others would look at her with much different eyes. They would see, perhaps, a fallen woman at the deepest point of humiliation. A woman to be flicked off one’s sleeve like a disguisting worm. Or an insect to be tormented. Cruel, overgrown schoolchildren that many are, they seem to delight in ripping off one wing, then another, watching in morbid glee as she falls helpless to the ground.
Gue pengen curhat. Ini serius. Gak nyangka ya ternyata sekarang udah jadi mahasiswa tingkat akhir di kampus (sebenernya sih nyangka, cuma buat mendramatisir aja). Seberapa jauh gue udah berguna bagi orang banyak, minimal diri gue sendiri ya? Rasa-rasanya ada yang kuraaaaang mulu. Mungkin ini wajar, namanya manusia bukan hal yang mudah untuk mencari titik kepuasaan. Tapi sejauh pengamatan dan perenungan serta semedi yang mendalam, kok ya gue berasa masih gini-gini aja gitu loh.
Gue sering lihat temen-temen yang aktif di organisasi atau aktif ber-enterpreneur, mereka sepertinya punya pencapaian tersendiri dalam kehidupan mereka, especially di dunia kampus. Mereka ada semacam yang dibanggain walaupun gue tau gak semuanya suka nunjukin apa pencapaian mereka itu. Kenapa gue berpikir gini, naif memang. Apa gue bisa yang seperti mereka? Apa yang bisa gue lakuin dan bisa banggain diri gue sendiri. Lebih tepatnya "apa sebenarnya yang bisa dibanggain dari diri gue?"
Gue tahu ini berat. Sejauh ini kayaknya gue lebih banyak berfoya-foya tanpa ada planning ke depan. Rencana jangka panjang ada tapi kok ya kayak gak ada effort dari diri gue sendiri untuk tau step-by-step yang harus gue jalani. Apa gue terlalu santai menikmati hidup? Apa emang gue udah terlalu nyaman dengan hidup yang kayak gini? Pikiran-pikiran ini selalu muncul saat sendiri, susah ngungkapin apapun di depan banyak orang.
Semester tujuh bakal lewat sebentar lagi. Bahkan rencana jangka pendek pun belum gue create. Hidup macam apa ini? Semester 8 bakal freak sama skripsi. Dan how aboout it? Jawabannya: Nothing I've prepared. Skripsi di depan mata, tapi kenapa gairah buat ngerjainnya belum ada ya. Passion itu sama sekali belum kelihatan. Apa harus mengebom pola pikir dulu? Tapi pake apa? Siapa yang mau ngelakuinnya?
Skripsi sudah di depan mata. Kata dosen pembimbing,"Kamu gak usah terlalu mikirin skripsi. Skripsi itu jangan dibikin pusing. Jangan terlalu sulit nentuin topik dan metode. Yang penting analisis dan pembahasannya sesuai dengan metode yang dipake." Oke, terima kasih, Pak.
Itu aja sih, gue aja gak ngerti apa yang sebenernya gue curhatin. Pokoknya itu deh...
Gerimis turun menjelang Stasiun Malang. Kaca jendela kereta mulai
mengembun. Di luar cuaca masih temaram, mungkin karena mendung. Kereta mulai
melambat dan suara klaksonnya yang menggema terdengar sebagai tanda. Beberapa
menit lagi akan tiba di pemberhentian selanjutnya, Stasiun Malang, yang juga
tujuan kami. Bunyi peron beradu dengan roda besi terdengar menyayat naluri
untuk segera turun. Aku mengajakmu, yang tengah memperhatikan alur air di kaca
jendela, turun.
“Ayooo…kita sudah sampai nih”, ajakmu sambil menepuk pundakmu.
Sore itu seperti biasa
aku menghabiskan waktu di perpustakaan mencari literatur untuk skripsiku. Sebagai
mahasiswa tingkat akhir, inilah kesibukanku akhir-akhir ini. Memang deadline
skripsi masih cukup panjang tapi tak ada salahnya memulai lebih awal, itu
prinsipku. Masa senggang di tahun terakhir ini kugunakan untuk magang di
beberapa lembaga swasta maupun pemerintah. Lumayan untuk menambah pengalaman
dan pastinya, menebalkan kantong sedikit.
Aku ingin mencintaimu dengan
sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan
sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Sajak karya Sapardi
Djoko Damono di atas tidak asing di mata dan telinga kita kan? Dalam bentuk
tertulis sering atau minimal pernah kamu lihat di buku mapel bahasa Indonesia
SMA. Itu pun jika 123-ers pernah
memperhatikannya, karena bagaimanapun mapel bahasa Indonesia di level SMP-SMA
pasti cukup membosankan. Bener gak? Tapi tunggu dulu, 123-ers pernah dengar versi musikalisasi puisi Aku Ingin di atas? Ya, mungkin belum pernah baca atau lihat versi
tertulisnya tapi pernah dengar versi musikalisasinya, gitu. Dalam versi musikalisasi, pesan dan makna puisi ini terasa
lebih jelas, think-able dan feel-able.