Friday, September 21, 2012

Kembali Berparadoks


Sebuah kontemplasi berjalan,
Pertanyaan tentang aku, siapa aku?
Mungkin beberapa menganggap,
Tak penting untuk mengulangi,
Tak perlu lagi memulai,
Aku bertanya antara ujung dunia satu dengan yang lainnya.
Pernahkah mereka bertemu?
Mungkinkah dua kutub yang sama bisa menempel sempurna.
Itulah fungsi perbedaan,
Dua kutub berbeda untuk menyatu.

Satu hal yang sulit untuk ku mengerti,
Mengapa manusia harus bertanya?
Bertanya padahal dia sudah tahu jawabnya?
Sebuah retorika?
Jangankan jawaban, satu kata pun tak mampu terucap dengan sempurna.
Aku terlalu paradoks dalam menjalani hidup
Menjalani hidup di luar kebiasaan
Melakukan hal biasa dengan kutub berlawanan.

Masalah terbesarnya,
Aku menikmati semua itu
Ketika banyak orang justru mempermasalahkannya.
Kenapa?

Ditemani derai tawa tiada akhir,
Aku mulai menemukan hidupku,
Mengerti setiap jengkal perjalanan cita,
Menertawakan hidup masing-masing.
Itu bukan hal mudah
Sampai di manakah kau memahami dirimu?
Menyimpulkan setiap alunan hidup yang kami jalani sekarang.

Di sinilah aku,
Menjalani fase baru dalam hidup
Memahami senti demi senti langkah yang telah ditempuh.
Kami, di arah yang tepat.

Depok, 21 September 2012

Paradoks*


Paradoks terjadi di mana saja. | sumber: the-markteers.com
Banyak hal yang kadang tidak sesuai dengan apa yang di awal sudah kita rencanakan. Di saat seperti itu, kita hanya harus tetap tawakkal, semoga setiap hal yang terjadi di hidup kita memang itu yang terbaik. Tuhan memberikan setiap hembusan nafas yang kita keluarkan bukan tanpa tujuan. Dia punya maksud tersendiri bahwa kita harus bisa mengoptimalkan setiap hembusan nafas kita dengan selalu mengingat-Nya.

Sering kita merasa kecewa karena apa yang kita peroleh tidak seperti yang kita harapkan. Ketahuilah karena memang manusia tak ada kata puas. Selalu menuntut lebih, selalu mengharapkan yang terbaik tapi kurang merespon pada diri sendiri. Sudah seharusnya kita melihat ke dalam, jangan hanya menuntut setiap output-input saja. Bahwa di antara dua elemen itu ada yang namanya proses. Sudahkah kita berlaku optimal dalam memproses setiap output yang kita terima?

Sungguh naif ketika orang menganggap bahwa orang lain tidak lebih baik dari kita. Merasa paling benar, paling sempurna dan merasa paling berkontribusi. Setiap komponen dalam hidup memiliki keterkaitan yang paralel. Tidak semudah itu mengatakan bahwa kita yang paling berperan dalam suatu hal. Pasti ada komponen lain yang menjadi faktor x dan faktor y bahkan faktor-faktor lain niscaya muncul dengan sendirinya.

Benar bahwa manusia memang makhluk paling sempurna di antara semua makhluk di muka bumi ini. Sekaligus makhluk yang paling tidak sempurna dalam mengelola dan memanfaatkan kesempurnaannya. Banyak dari kita yang merasa selalu kurang padahal dirinya berkecukupan  bahkan lebih. Ada pula sebaliknya. Dunia dipenuhi oleh segala hal yang paradoksial.

Hal kecil dibesar-besarkan. Hal besar dianggap tak ada dan lebih parah lagi menganggap bahwa sudah tidak ada lagi korelasi antara otak dan rohani. Ketidaksinkronan itulah yang pada akhirnya menghasilkan pola pikir pendek dan absurd yang berbuntut pada keputus-asaan, kegalauan dan merasa disia-siakan.

*Curahan hati seorang sahabat, aktivis, penulis kolom sekaligus kakak gue.

Jakarta, 21 September 2012
Bunker Perpustakaan UI

Thursday, September 13, 2012

Analogi Perahu Kertas dan Agen Neptunus


Radar neptunus-perahu kertas-neptunus-agen neptunus.
Sebuah kisah yang saat ini begitu mainstream di kalangan anak muda, khususnya remaja. Jelas. Novel yang best seller beberapa tahun yang lalu dan kemudian filmnya yang juga menyedot banyak perhatian khalayak pada tahun ini, cukup menjadi bukti bahwa kisah ini memang familiar dan dianggap representatif bagi mereka para remaja (termasuk gue…hehe). Tapi yang jelas, Mbak Dee ini salah satu seorang yang sangat eksistensialis menurut saya. Dia benar-benar memiliki otentikasi dalam menentukan pilihan kemana cerita ini ingin dibawa dan bagaimana cara penyampaiannya. Packaging yang sederhana tapi sangat memiliki arti menjadi ciri khasnya.

Tapi bukan itu yang ingin aku ceritakan di sini. Aku hanya ingin menjadikannya sebagai salah satu cermin dalam perjalanan menakhodai hidup. Ini tentang kisahku sebagai agen neptunus. Jangan ketawain plis tentang ini. Bagi kalian yang tidak begitu mengenal tentang mitologi Romawi-Yunani mungkin dengan mudahnya bisa menertawakan itu. Makanya ini rahasia ya, plis jangan kasih tahu siapapun. Ini rahasia dan memang harus jadi rahasia. Aku ini the true aquarian dan udah didapuk sebagai agen neptunus.

Tuesday, September 11, 2012

Eksistensi Individu, Manusia


Ikan eksistensialis.
What you are is the result of your choices rather than the reversed. 
You are what yourself to be!

Siapa yang tidak sependapat dengan kata-kata di atas? Coba tunjuk jari? Ada juga tuh yang bilang kalo you are what you are. Keduanya itu sangat jauh berbeda secara pengertian dan hakikat ekstensialis seorang insan. Sebenernya lo mau ngomongin apa sih, mbar?

Manusia hidup, tumbuh dan berkembang hakikatnya didasarkan pada pilihan. Pilihan-pilihan itulah yang menjadikan manusia menjadi manusia dan ada secara eksistensinya. Manusia yang eksistensialis adalah mereka yang berani membuat pilihan dalam hidupnya. Hidup manusia tidak mungkin hanya berjalan sebagaimana mestinya. Apa gunanya manusia diberi akal pikiran jika tidak digunakan dalam hal rasio dan penalaran secara harfiah maupun substansial.

You are what yourself to be. Setiap orang memiliki kemampuan dalam hal memilih. Bagaimana ia harus melangkah, menjalani hidup, memaknai setiap jengkal perjalanan, menghembuskan napas untuk kehidupan, memandang setiap fatamorgana, dan menjangkau segala hal di depan. Manusia bisa memilih. Memilih untuk bahagia, memilih untuk sukses, memilih untuk hal-hal lainnya.

Dunia tidak diatur kecuali oleh diri kita sendiri. Kita yang menentukan kemana kita akan menjadi dan melangkah untuk mencapai setiap pencapaian dalam hidup. Kecemasan muncul karena hidup yang hanya sementara. Setiap makhluk yang bernyawa pasti akan mati. Tapi kadang ada orang-orang yang berkata bahwa dia ingin hidup lebih lama. Padahal sesungguhnya bukan tentang berapa lama kita hidup tapi bagaimana kita hidup. Hidup menjadi berharga karena kita tahu itu akan berakhir. Harus ada pencapaian dalam hidup sebelum kita meninggalkannya.

Kita sering terjebak dalam pemikiran bahwa semakin lama kita hidup maka semakin lama kesempatan untuk bisa menjangkau setiap pencapaian. Menurutku, itu tidak masuk akal karena sungguh bahwa setiap orang punya kesempatan yang sama biarpun masa hidupnya jauh berbeda. Hanya saja, beberapa orang tidak memilih untuk memanfaatkan setiap kesempatan yang ada di hadapannya dengan sebaik mungkin. Sedangkan beberapa orang yang lain sebaliknya.

Sekarang tinggal bagaimana kita menentukan diri kita masing-masing di masa depan. Akan menjadi seperti apa dan bagaimana. Setiap hal butuh proses, tidak ada yang instan. Bahkan untuk mie instan yang katanya instan, cara makannya pun harus dengan air panas yang notabene harus dimasak dulu. Jadi, jalani setiap proses hidupmu dengan usaha yang maksimal. Tentukan dari sekarang kalo kita harus bahagia di masa depan. Untuk bahagia, kita harus tahu caranya. Pelajari itu dan pilih dengan yakin! Jadi orang harus punya keyakinan!

Saturday, September 8, 2012

Selamat Berlayar Agen Neptunus!


Hufflepuff dan Slytherin | edited by: ambarr
I just want you to know, I’m ready to make a change! In the end, it’s all nice.

Langkah baru, semangat baru, lembaran baru dan motivasi baru untuk masa depan yang lebih baik. Hari ini, sangat amazing untukku dan semoga untuknya. Sebuah refleksi perjalanan dan likuan hidup baru saja dimulai. Malam ini aku lahir baru. Apa? Berapa umur kamu? Bukan…bukan tentang itu.

Beberapa kali matamu menyipit. Menunggu penjelasan. Kata-kata yang luar biasa tidak terstruktur dari mulutku meluncur begitu saja. Tawamu menggelak lepas tapi kemudian kembali mengatur napas. Pupil matamu membesar. Menunggu aliran darah mengisi rongga-rongga otak yang seperti kekurangan oksigen. Kata-kataku terbata tapi pasti dan aku pun semakin memelankan intonasi suaraku. Aku seonggok daging yang menunggu eksekusi.

Gitar butut yang putus satu senarnya kumainkan tak tentu nadanya. Dadaku berkecamuk, ingin menyeruak dan mengungkapkan semua isinya tapi kata-kata seperti keluar nyaris tanpa terkontrol. Alam bawah sadar sepertinya sudah mendominasi alam sadarku. Tapi aku sadar dan tahu betul setiap kata yang muncul dari bibir keringku.

Kamu ingin tahu ada rahasia di balik kata-kataku. Tersirat begitu saja tapi aku yakin kamu mengerti. Kembali aku merapikan dudukku. Menyingkap bulir keringat di kening. Bulu kudukku meremang terserang hawa dingin atap kosanku. Ya, aku duduk di sana, sendiri.

Dua kata, tiga, empat, lima dan seterusnya mengalir tak teratur. Aku terlihat begitu bodoh malam ini. Aku selalu begitu, untuk hal demikian. Dan inilah saatnya aku mengemas ucapanku satu per satu. Kamu tergelak saat kata-kata itu keluar dari mulut gemetarku.

Sekarang aku butuh cermin yang memantulkan apapun yang aku sampaikan. Kamulah itu. Aku hanya perlu memberi penjelasan, mengurutkannya menjadi rangkaian 5 W 1 H yang justru kacau. Napasmu kembali teratur, mungkin kau mengatur kembali dudukmu pula. Kamu hanya butuh kalimat tanya, setelah ungkapan kata-kataku.

Sejenak kamu terdiam. Begitu pula denganku. Sama-sama menerawang ke alam pikiran masing-masing. Kemudian kembali sama-sama tergelak, menertawakan hidup. Kemarin kita sama-sama menertawakan takdir. Kehidupan yang terlihat begitu absurd dengan tingkat monotonitas tinggi. Namun kamu menegurku dengan gelakmu. Kita dewasa tapi masih kekanak-kanakan.

Malam terus mengalun, mengiringi setiap getir aliran darah yang mungkin terlihat membeku di ujung bibir. Bulan separo di tepi timur horison terlihat seperti makhluk yang menertawakanku. Kamu hanya butuh kalimat tanya setelah ungkapan kata-kataku.

Dan kalimat tanya itu pun keluar.

Iya.

Kini aku tak lagi menyayangimu dalam diam. Mencintai dalam bisu dan kehampaan. Tak perlu lagi menunggu kepastian karena aku pasti ada. Ya, aku ada dan bukan mengadakan. Setiap jengkal perasaan yang terlontar dengan tak teratur sebelumnya lambat laun tertata rapi.

Pupil matamu mengecil. Kudengar suaramu terisak dan berkata terbata. Kudengar itu luapan rasa bahagia kita. Bibirku masih kering. Tak seharusnya aku banyak bicara. Yang kamu butuhkan saat ini hanya diam. Diam dan mengawangkan alam pikiran masing-masing untuk merasukkan hawa cinta.

Tuhan berkehendak. Kita yang menentukan dan merencanakan. Ini awal perencanaan kita.

The journey of the thousands miles begins with the single step. (Confucius)

Ucapkan salam pada dunia. Hati kita berdua melangkah menuju setiap awal perubahan yang lebih baik dan mengakhirinya dengan senyuman yang terkembang di balik hangatnya matahari senja. Mari berlayar mengarungi samudera kehidupan yang Tuhan ciptakan. Kita yang menentukan arah kemana perahu kita akan berlabuh. Kita kendalinya, nyalakan radar neptunus dan kita akan menemukan setiap jengkal kebahagiaan di ujung dunia.

It’s a journey, you say, an illusion of a journey
Now we can’t see where it ends and where it starts
It’s our life and our love that you wish to have, where you wish to be. 
With love, DW.

Selamat berlayar dua agen neptunus! Nakhodai perahu kertas kalian dengan cita, cinta, mimpi dan harapan!

Jog—Ja'karta, 8 September 2012, 00.29 WIB

Thursday, September 6, 2012

Pelajaran dari Bule Prancis di Malioboro


Jalanan dan kios-kios sepanjang Jalan Malioboro | foto: amberrtrixx
Hari kedua di Jogja, rencana gue pengen hunting tempat-tempat menarik di Jogja buat objek foto. Bareng sama temen-temen SMA yang sekarang udah pada kuliah di Jogja, gue jalan ke arah selatan Jogja yaitu ke Tamansari, Alun-Alun Selatan, kemudian bergerak sedikit ke barat menuju Langensari, Museum Sonobudoyo dan Stasiun Tugu. Nah, perjalanan setelah ini yang mau gue ceritain. 

Dari Stasiun Tugu, temen-temen gue pada kabur masing-masing karena ada kuliah. Alhasil sendirian gue mbolang di Jogja pake motor butut yang jauh dari kata memesona. Karena males jauh-jauh, pilihan jatuh pada Malioboro. Ya, tempat yang orang bilang surganya pernak-pernik di Jogja ini. Setelah motor gue parkir, langsung deh jalan dari arah selatan ke utara. 

Pertama, sengaja gue lewat sisi sebelah timur jalan. Sepanjang sisi jalan ini memang parkiran banyak banget. Toko-toko dan lapak-lapak pedagang berjajar di tepi-tepi emperan toko dan mini-mall. Mulai dari gerai batik, lapak pernak-pernik yang lucu-lucu, kios-kios makanan tradisional dan beberapa mini-mall. Jujur, gue bingung di Malioboro mau ngapain. Mau belanja, belanja apaan. Mau jalan-jalan aja, capek walopun akhirnya ya dilakuin juga sih. 

Jalanan yang bener-bener gue bilang surganya cinderamata tradisional Jogja ini menurut sumber yang gue baca dulunya hanya jalanan sepi biasa yang kanan-kirinya cuman ditumbuhi pohon asam jawa. Baru setelah keberadaan Pasar Beringharjo di sisi selatan dan pemukiman tionghoa di daerah Ketandan, geliat area Jalan Malioboro mulai terasa. Toko-toko mulai dibangun, mulai banyak pedagang-pedagang yang berjualan di sepanjang jalan ini.

Hingga sekarang, Jalan Malioboro seperti menjadi destinasi wajib bagi siapa saja yang berkunjung ke Jogja. Belum ke Jogja kalo belum mampir di Malioboro. 

Balik lagi ke cerita gue, lanjut jalan ke sisi-sisi Malioboro, akhirnya gue beli beberapa pernak-pernik yang cukup unik di sana. Lumayan buat oleh-oleh adek gue di rumah. Hahaha. Di sini emang banyak banget kios-kios yang menjual aneka kerajinan mulai dari batik, perak, bambu, rotan, blangkon, asesoris, gantungan kunci dan baaaaanyak lagi deh. Gue aja sampe bingun saking pengennya beli semuanya.
Capek berkeliling, boleh lah melepas lelah sambil mengisi perut. Gue nyobain dua makanan sekaligus pada waktu itu, pecel dan gudeg. Minumnya pun jamu kunir asam, hahaha. Tapi akhirnya tetep nyari-nyari minuman lain yang lebih bisa dinikmati, es teh. Oiya, lokasi ibu-ibu yang jualan pecel-gudeg ini tepat di depan Mirota Batik itu loh. 

Di tempat itu pula gue sempet ngobrol sama pasangan bule dari Prancis yang alhamdulillah bisa bahasa Inggris (mampus gue kalo doi ngomongnya  pake French gitu). Yang cowok Alard namanya dan istrinya Neva (semoga gue bener nulis nama mereka). Mereka pasangan muda yang katanya sedang honeymoon. Gue tanya kenapa memilih Jogja sebagai destinasi honeymoon mereka dan jawaban mereka luar biasa: (seinget gue gini…)

Jogja is the place we dreamed of when going out first as a honeymoon destination time. We got married at a young age and we are very fond of traveling. Jogja is the perfect place for us to know each other as here shown by the people of the sublime culture and remarkable wisdom

Entah kenapa saat itu, gue merinding dan merasa bangga sebagai warga Indonesia. Gue merasa masih begitu kecil rasa bangga pada bangsa sendiri, begitu minim rasa memiliki budaya dan kebudayaan sendiri. Mereka yang jauh-jauh dari Prancis datang ke Jogja dan sudah jadi mimpi mereka untuk datang ke kota ini.

Dari situ gue berpikir bahwa memang orang luar negeri itu begitu aware pada sesuatu yang bernilai kultural. Mereka sudah hidup dalam dunia modern begitu lama dan merasa bosan dengan monotonitas, kemudian mencari penyegaran dengan hal-hal yang natural, tradisional dan bisa dibilang endemik. Sedangkan kita, karena memang cukup terlambat dalam menerima perubahan zaman, memang masih selangkah di belakang mereka.

Tapi itu bukan masalah, kita punya  kekuatan, hegemoni budaya dan local wisdom yang kita miliki, semua itu yang harus dilestarikan. Jangan sampai kita nantinya kehilangan identitas bangsa kita karena tergerus arus modernisasi dan westernisasi. 

Malioboro, cukup memberi gue pencerahan tentang hakikat menghargai potensi budaya dan kebudayaan bangsa sendiri. Tentang menghargai jati diri dan identitas bangsa selama ini jarang dilakukan oleh generasi muda.


Malioboro, 28 Agustus 2012