Monday, November 19, 2012

Papandayan Punya Cerita: Jalur Alam Menuju Surganya Garut


Kawah Baru, G. Papandayan | by: amberrtrixx
Papandayan memberi cerita tersendiri bagi sembilan petualang yang ingin menunjukkan eksistensinya pada alam. Papandayan telah memberikan pelajaran tersendiri tentang teman, persahabatan dan keluarga. Papandayan, sebuah rangkaian bukit pegunungan dengan puncak tertinggi 2662 mdpl yang penuh pesona di daerah Garut, Jawa Barat, telah merekam jejak perjalanan kami dalam sebuah episode film kehidupan. Papandayan punya cerita.

Semua itu berawal dari Jumat pagi, pukul 8.00 WIB tepat, beberapa dari kami telah berkumpul di basecamp yang notabene kosan gue di Srengseng Sawah. Sambil menunggu teman yang lain, kami bersiap-siap sambil ceklis perlengkapan. Jangan sampai ada yang ketinggalan. Beberapa, ini pengalaman pertama naik gunung. Persiapan harus mantap, semoga perjalanan lancar dan tidak ada halangan berarti. Untuk itu segala sesuatunya harus dipersiapkan sebaik mungkin.
Pukul 8.30 WIB, tujuh orang telah berkumpul di basecamp, segera berangkat menuju Terminal Kampung Rambutan. Dua lagi rekan kami sudah menunggu di sana. Setelah berdoa, lanjut menuju terminal dengan angkot. Dengan ongkos 4 ribu, sampailah kami di Terminal Kampung Rambutan. Kami sempat kesulitan mencari dua rekan kami yang telah tiba di sana. Namun akhirnya ketemu juga di pintu keluar, dan kamipun langsung naik bus PO Karunia Bakti jurusan Jakarta-Garut tepat pukul 10.00 WIB. Baru tiga puluh menit jalan, bus mengalami insiden mati AC pula. Alhasil seluruh penumpang kepanasan dan beberapa keluar bus. Kami pun masih sempat-sempatnya foto narsis.

Setelah mekanik bus berhasil mengatasi kerusakan di bagian mesin AC, perjalanan menuju Garut pun dilanjutkan. Kami sempat khawatir menjelang kilometer 76 tol Cipularang hujan deras turun. Jangan-jangan di Papandayan juga demikian. Tapi semangat kami untuk menjajaki Papandayan mengalahkan rasa khawatir yang tiba-tiba muncul itu. Empat setengah jam perjalanan dengan ongkos 35 ribu per orang, sampailah kami di Terminal Guntur, Garut. Arloji di pergelangan tangan teman manunjukkan pu kul 14.30 WIB. Kami turun, langsung disambut kuli panggul dan kernet angkot jurusan Cijulang. Setelah negosiasi sebentar, kami pun naik dan dapat harga 10 ribu per orangnya. Sebenarnya bisa dinego lagi sampai 6 ribu rupiah per orang, tergantung kepintaran kita menego harga.

Pukul 15.10 WIB, turun di pertigaan Cijulang, istirahat sebentar di depan warung nasi padang, kami pun melanjutkan perjalanan menuju parkiran Papandayan naik pick up dengan ongkos 15 ribu per orang. Karena hujan turun, kami harus berjibaku antara jalanan yang cukup memacu adrenalin sepanjang 9 kilometer, menjaga terpal agar tidak terbang tertiup angin dan menahan pantat yang kesakitan karena lantai pick up yang tidak rata. Tapi akhirnya sampai juga di parkiran Papandayan setelah perjalanan menegangkan selama 45 menit.

Kami melakukan registrasi di pos dan kebetulan simaksi sedang kehabisan. Kami dikenakan biaya 2 ribu per orang dan uang sumbangan sukarela. Kami membayar 30 ribu untuk sembilan orang, jadi anggap saja per orang membayar 3 ribu. Suasana di parkiran Papandayan sore itu cukup ramai para pendaki dan cuaca gerimis. Pendakian ke Papandayan ditutup setelah jam 17.00, sehingga kami bergegas untuk naik karena telah berencana untuk nge-camp di Pondok Salada.

Pukul 16.45 WIB kami langsung bergegas, target sampai di Pondok Salada sebelum waktu maghrib. Karena cuaca gerimis mungkin, di awal perjalanan kami tidak menjumpai pendaki lain. Di sinilah awal petualangan kami. Di persimpangan jalur, kami mengambil jalur kiri yang melewati longsoran bebatuan. Kami sempat bertemu pendaki lain yang sedanag mencari air di punggungan gunung, mereka juga menuju Pondok Salada katanya. Kami mengikuti mereka, tapi ternyata tertinggal karena kalah cepat. Jalur yang kami lewati ternyata tidak biasa, naik-turun longsoran, menyebrangi sungai berbatu yang cukup licin dan terjal. Hari sudah mulai gelap.

Hujan mulai turun, kami belum menemukan tanda-tanda sampai di Pondok Salada. Waktu menunjukkan pukul 17.45 WIB, hujan mulai deras dan kabut mulai menutupi jarak pandang. Kami memutuskan untuk mencari tempat lapang untuk mendirikan tenda. Dengan cuaca seperti ini, tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan di tengah medan yang cukup ekstrim. Apalagi kami semua masih pemula. Kami tersadar kalau ini memang bukan jalur yang biasa dilalui pendaki lain. Apa kami tersesat? Sudahlah, yang terpenting saat ini adalah mencari tempat untuk mendirikan tenda.

Kavling ditetapkan, melihat orientasi medan, dan letaknya cukup aman dari longsoran dan banjir, akhirnya kami mendirikan tenda. Hujan semakin deras saat kami membangun tenda. Satu tenda berhasil didirikan, dua dan tiiga tenda akhirnya rampung. Kami pun berteduh untuk menengkan diri dan berusaha berpikir normal, mencari jalan keluar. Kami cukup panik karena hujan terus turun dan tenda-tenda bocor semua. Beberapa dari kami harus berjibaku dengan dinginnya air di dalam tenda. Semuanya saling memberi semangat dan yang terpenting adalah biarkan otak tetap berpikir normal, jangan stress.

Dua jam lebih kami diguyur hujan, membuat saluran air agar tidak banjir dan akhirnya tanda-tanda hujan berhenti mulai terlihat. Perlahan titik-titik air berhenti. Tuhan mendengar setiap doa hamba-Nya. Setelah hujan benar-benar reda, kami membetulkan letak tenda agar saling berdekatan. Kemudian mengeringkan area tengah yang sengaja kami sisihkan untuk berkumpul dan membuat perapian.

Bintang-bintang mulai muncul menghiasi langit malam dengan pesonanya yang luar biasa. Kesempatan langka yang susah di dapat di pekatnya langit Jakarta. Kami menikmati mengobrol, bersendau gurau, memasak, ngopi, makan, ngemil dan main uno di bawah bintang-bintang. Demi apapun, ciptaan-Mu sungguh luar biasa. Suasana seperti ini, bisa dibilang sangat romantis. Sayang sekali, rata-rata kami jomblo. Aku punya pacar sih tapi jauh di sana, jadi yaa…sama saja (eiiittttss malah curhat, hehe).

Kami mengevaluasi perjalanan dan mempersiapkan perjalanan esok hari. Setelah itu, istirahat untuk memulihkan tenaga. Tapi, tetap saja yang namanya di alam, bukannya tidur malah bercanda terus sampai akhirnya ketiduran tak disengaja.

Kami terbangun pukul 4.00 WIB (17/11), sensasi dingin ala pegunungan terus menyerang. Kami memasak air untuk ngopi dan mi goreng untuk sarapan. Pagi itu, kopi dan mi goreng beraneka merek menjadi menu kami untuk pengisi perut. Menu sederhana tapi terasa luar biasa karena menikmatinya langsung di alam terbuka, ditemani birunya langit dan titik-titik embun di pucuk-pucuk daun Cantigi.

Setelah berfoto-foto sejenak, kami bersiap untuk packing dan melanjutkan perjalanan menuju puncak. Kami bergegas dari tempat camp pukul 8.00 WIB dan bertemu pendaki, yang sore sebelumnya bertemu, di balik bukit tempat kami nge-camp. Mereke minta bantuan air bersih untuk minum karena ternyata kemarin mereka tidak menemukan sumber air tawar. Kebanyakan sumber air di Papandayan mengandung belerang. Kami memberikan mereka dua botol air bersih dan langsung lanjut jalan.

Jalur yang kami lalui tidak begitu jelas. Sepanjang mata memandang, hanya hamparan bebatuan, kawah di kanan kiri dan di kejauhan terlihat jalur yang sebenarnya. Di sana terlihat banyak pendaki tengah berjalan menuju punggungan Papandayan. Untuk menuju ke jalur yang benar akan memakan cukup banyak waktu, dan kami melihat puncak Papandayan sudah terlihat jelas dari jalur yang kami lalui. Akhirnya kami putuskan untuk membuka jalur yang tidak biasa ini menuju puncak.

Kami yakin tidak tersesat, karena jalurnya cukup terjangkau dan landai. Kami beruntung melewati jalur ini karena bisa menjumpai Kawah Baru hasil letusan tahun 2002. Di kawah tersebut telah terisi air dan membentuk sebuah telaga dengan airnya yang berwarna kehijauan karena kandungan belerangnya, sangat eksotis. Kami tentu tidak melewatkan momen dan spot itu untuk mengambil beberapa gambar dari kamera-kamera butut.

Waktu menunjukkan pukul 9.30 WIB, kami melanjutkan perjalanan menuju puncak. Jalurnya aneh, di mana-mana seperti bisa dilalui tapi setelah dicek ternyata tidak memungkinkan karena berpotensi longsor. Akhirnya kami berputar ke kanan dari posisi Kawah Baru dan menemukan jalur aliran lava yang bisa digunakan untuk mendaki dan cukup aman. Usaha kami tidak sia-sia. Di ujung bekas aliran lava tersebut, kami disuguhi pemandangan yang membuat mata tercengang dan mulut melompong, Hutan Mati. Hutan Mati bekas letusan tahun 2002 ada di hadapan kami. Jajaran batang pohon yang menghitam tanpa dedaunan terlihat begitu dramatis. Ditambah tanah-tanah yang memutih karena kandungan belerangnya dan material lain bekas letusan, membuatnya begitu melankolis dan harmonis.

Kabut di Papandayan di musim penghujan seperti ini tidak bisa diprediksi. Hampir tiap jam kabut naik-turun. Dari area hutan mati ini, aku pun mencoba untuk orientasi medan menuju puncak. Jalurnya cukup ekstrim dan banyak longsoran tanah. Setelah berdiskusi sejenak, kami putuskan untuk berhenti di ketinggian itu, 2560 mdpl (menurut layar monokrom di altimeter), 62 meter lagi menuju puncak. Jalur sudah tidak memungkinkan dan kondisi cuaca yang tidak bisa diprediksi sangat berpotensi untuk merepotkan kami. Bisa saja sebentar hujan, sebentar turun kabut, itu akan mengganggu pijakan dan tentunya jarak pandang.

Kabut di hutan mati, G. Papandayan | by: amberrtrixx
Kami puaskan hasrat kami pada sang alam di Hutan Mati. Di sana ada aliran sungai yang jernih dan bertingkat-tingkat membentuk air terjun-air terjun kecil. Mengesankan. Kami memanfaatkannya untuk bersih-bersih badan dan aku tidak melewatkan kesempatan itu untuk mandi menyeburkan diri di telaga di bawah air terjun kecil itu. Airnya jernih walaupun berasa, tapi baik untuk kulit. Puas membersihkan diri dan waktu menunjukkan pukul 11.15 WIB, kami bergegas untuk packing dan turun gunung. Sebelumnya, kami makan persediaan logistik yang tersisa. Perkiraan waktu turun sekitar 2 jam.

Pukul 12.00 WIB kami turun dari area Hutan Mati. Puncak Papandayan seakan masih menanti dan melambai melihat kami turun. Perpisahan, dalam bentuk apapun, memang selalu menyisakan kesan entah itu menarik atau mengecewakan. Kami merasakannya, perpisahan dengan alam Papandayan yang telah memberikan jutaan kesan tentang pendewasaan, persahabatan dan keluarga ini terasa begitu berat. Kami turun gunung, berjalan dengan jutaan pikiran dan perasaan di hati dan otak. Semua itu terangkum dalam episode nonlebay dan dramatis sepetak film kehidupan kami. Pukul 14.15 WIB kami sampai di parkir Papandayan. Istirahat sejenak dan bersiap untuk pulang.

Biarlah cerita kami melebur bersama abu-abu Papandayan dan menguap dengan embun-embun di pucuk-pucuk Cantigi. Kami sadar, betapa kecil diri kami berada di tengah kuasa-Mu yang Maha Besar dan Maha Luas. Bukan tentang puncak-puncak tertinggi, tapi kesan dan pengalaman luar biasa tentang hakikat diri yang bisa kami rasakan saat berada di punggung gunung. Tentang bagaimana menghargai alam, peka dan tanggap pada keluh sahabat, kekuatan maha dahsyat di sekitar, dan indahnya kebersamaan.

Pengen liat foto-foto pendakian kami? Klik di sini

Papandayan, Garut 16—17 November 2012

1 comment:

  1. bisa menjadi refrensi nih..kalau dari Bandung kira-kira berapa jam ya gan?

    ReplyDelete