Kawah Baru, G. Papandayan | by: amberrtrixx |
Papandayan
memberi cerita tersendiri bagi sembilan petualang yang ingin menunjukkan
eksistensinya pada alam. Papandayan telah memberikan pelajaran tersendiri
tentang teman, persahabatan dan keluarga. Papandayan, sebuah rangkaian bukit
pegunungan dengan puncak tertinggi 2662 mdpl yang penuh pesona di daerah Garut,
Jawa Barat, telah merekam jejak perjalanan kami dalam sebuah episode film
kehidupan. Papandayan punya cerita.
Semua itu berawal dari
Jumat pagi, pukul 8.00 WIB tepat, beberapa dari kami telah berkumpul di basecamp yang notabene kosan gue di
Srengseng Sawah. Sambil menunggu teman yang lain, kami bersiap-siap sambil ceklis perlengkapan. Jangan sampai ada
yang ketinggalan. Beberapa, ini pengalaman pertama naik gunung. Persiapan harus
mantap, semoga perjalanan lancar dan tidak ada halangan berarti. Untuk itu
segala sesuatunya harus dipersiapkan sebaik mungkin.
Pukul 8.30 WIB, tujuh
orang telah berkumpul di basecamp, segera
berangkat menuju Terminal Kampung Rambutan. Dua lagi rekan kami sudah menunggu
di sana. Setelah berdoa, lanjut menuju terminal dengan angkot. Dengan ongkos 4
ribu, sampailah kami di Terminal Kampung Rambutan. Kami sempat kesulitan
mencari dua rekan kami yang telah tiba di sana. Namun akhirnya ketemu juga di
pintu keluar, dan kamipun langsung naik bus PO Karunia Bakti jurusan
Jakarta-Garut tepat pukul 10.00 WIB. Baru tiga puluh menit jalan, bus mengalami
insiden mati AC pula. Alhasil seluruh penumpang kepanasan dan beberapa keluar
bus. Kami pun masih sempat-sempatnya foto narsis.
Setelah mekanik bus
berhasil mengatasi kerusakan di bagian mesin AC, perjalanan menuju Garut pun
dilanjutkan. Kami sempat khawatir menjelang kilometer 76 tol Cipularang hujan
deras turun. Jangan-jangan di Papandayan juga demikian. Tapi semangat kami
untuk menjajaki Papandayan
mengalahkan rasa khawatir yang tiba-tiba muncul itu. Empat setengah jam
perjalanan dengan ongkos 35 ribu per orang, sampailah kami di Terminal Guntur,
Garut. Arloji di pergelangan tangan teman manunjukkan pu kul 14.30 WIB. Kami turun,
langsung disambut kuli panggul dan kernet angkot jurusan Cijulang. Setelah
negosiasi sebentar, kami pun naik dan dapat harga 10 ribu per orangnya.
Sebenarnya bisa dinego lagi sampai 6 ribu rupiah per orang, tergantung
kepintaran kita menego harga.
Pukul 15.10 WIB, turun
di pertigaan Cijulang, istirahat sebentar di depan warung nasi padang, kami pun
melanjutkan perjalanan menuju parkiran Papandayan naik pick up dengan ongkos 15 ribu per orang. Karena hujan turun, kami
harus berjibaku antara jalanan yang cukup memacu adrenalin sepanjang 9
kilometer, menjaga terpal agar tidak terbang tertiup angin dan menahan pantat
yang kesakitan karena lantai pick up
yang tidak rata. Tapi akhirnya sampai juga di parkiran Papandayan setelah
perjalanan menegangkan selama 45 menit.
Kami melakukan
registrasi di pos dan kebetulan simaksi sedang kehabisan. Kami dikenakan biaya
2 ribu per orang dan uang sumbangan sukarela. Kami membayar 30 ribu untuk
sembilan orang, jadi anggap saja per orang membayar 3 ribu. Suasana di parkiran
Papandayan sore itu cukup ramai para pendaki dan cuaca gerimis. Pendakian ke
Papandayan ditutup setelah jam 17.00, sehingga kami bergegas untuk naik karena
telah berencana untuk nge-camp di
Pondok Salada.
Pukul 16.45 WIB kami
langsung bergegas, target sampai di Pondok Salada sebelum waktu maghrib. Karena
cuaca gerimis mungkin, di awal perjalanan kami tidak menjumpai pendaki lain. Di
sinilah awal petualangan kami. Di persimpangan jalur, kami mengambil jalur kiri
yang melewati longsoran bebatuan. Kami sempat bertemu pendaki lain yang sedanag
mencari air di punggungan gunung, mereka juga menuju Pondok Salada katanya.
Kami mengikuti mereka, tapi ternyata tertinggal karena kalah cepat. Jalur yang
kami lewati ternyata tidak biasa, naik-turun longsoran, menyebrangi sungai
berbatu yang cukup licin dan terjal. Hari sudah mulai gelap.
Hujan mulai turun,
kami belum menemukan tanda-tanda sampai di Pondok Salada. Waktu menunjukkan
pukul 17.45 WIB, hujan mulai deras dan kabut mulai menutupi jarak pandang. Kami
memutuskan untuk mencari tempat lapang untuk mendirikan tenda. Dengan cuaca
seperti ini, tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan di tengah medan
yang cukup ekstrim. Apalagi kami semua masih pemula. Kami tersadar kalau ini
memang bukan jalur yang biasa dilalui pendaki lain. Apa kami tersesat?
Sudahlah, yang terpenting saat ini adalah mencari tempat untuk mendirikan
tenda.
Kavling ditetapkan,
melihat orientasi medan, dan letaknya cukup aman dari longsoran dan banjir,
akhirnya kami mendirikan tenda. Hujan semakin deras saat kami membangun tenda.
Satu tenda berhasil didirikan, dua dan tiiga tenda akhirnya rampung. Kami pun
berteduh untuk menengkan diri dan berusaha berpikir normal, mencari jalan
keluar. Kami cukup panik karena hujan terus turun dan tenda-tenda bocor semua.
Beberapa dari kami harus berjibaku dengan dinginnya air di dalam tenda.
Semuanya saling memberi semangat dan yang terpenting adalah biarkan otak tetap
berpikir normal, jangan stress.
Dua jam lebih kami
diguyur hujan, membuat saluran air agar tidak banjir dan akhirnya tanda-tanda
hujan berhenti mulai terlihat. Perlahan titik-titik air berhenti. Tuhan
mendengar setiap doa hamba-Nya. Setelah hujan benar-benar reda, kami
membetulkan letak tenda agar saling berdekatan. Kemudian mengeringkan area
tengah yang sengaja kami sisihkan untuk berkumpul dan membuat perapian.
Bintang-bintang mulai
muncul menghiasi langit malam dengan pesonanya yang luar biasa. Kesempatan
langka yang susah di dapat di pekatnya langit Jakarta. Kami menikmati mengobrol,
bersendau gurau, memasak, ngopi, makan, ngemil dan main uno di bawah
bintang-bintang. Demi apapun, ciptaan-Mu sungguh luar biasa. Suasana seperti
ini, bisa dibilang sangat romantis. Sayang sekali, rata-rata kami jomblo. Aku
punya pacar sih tapi jauh di sana, jadi yaa…sama saja (eiiittttss malah curhat,
hehe).
Kami mengevaluasi
perjalanan dan mempersiapkan perjalanan esok hari. Setelah itu, istirahat untuk
memulihkan tenaga. Tapi, tetap saja yang namanya di alam, bukannya tidur malah
bercanda terus sampai akhirnya ketiduran tak disengaja.
Kami terbangun pukul
4.00 WIB (17/11), sensasi dingin ala pegunungan terus menyerang. Kami memasak
air untuk ngopi dan mi goreng untuk sarapan. Pagi itu, kopi dan mi goreng
beraneka merek menjadi menu kami untuk pengisi perut. Menu sederhana tapi
terasa luar biasa karena menikmatinya langsung di alam terbuka, ditemani
birunya langit dan titik-titik embun di pucuk-pucuk daun Cantigi.
Setelah berfoto-foto
sejenak, kami bersiap untuk packing dan melanjutkan perjalanan menuju puncak.
Kami bergegas dari tempat camp pukul 8.00 WIB dan bertemu pendaki, yang sore
sebelumnya bertemu, di balik bukit tempat kami nge-camp. Mereke minta bantuan air bersih untuk minum karena ternyata
kemarin mereka tidak menemukan sumber air tawar. Kebanyakan sumber air di
Papandayan mengandung belerang. Kami memberikan mereka dua botol air bersih dan
langsung lanjut jalan.
Jalur yang kami lalui
tidak begitu jelas. Sepanjang mata memandang, hanya hamparan bebatuan, kawah di
kanan kiri dan di kejauhan terlihat jalur yang sebenarnya. Di sana terlihat
banyak pendaki tengah berjalan menuju punggungan Papandayan. Untuk menuju ke
jalur yang benar akan memakan cukup banyak waktu, dan kami melihat puncak
Papandayan sudah terlihat jelas dari jalur yang kami lalui. Akhirnya kami
putuskan untuk membuka jalur yang tidak biasa ini menuju puncak.
Kami yakin tidak
tersesat, karena jalurnya cukup terjangkau dan landai. Kami beruntung melewati
jalur ini karena bisa menjumpai Kawah Baru hasil letusan tahun 2002. Di kawah
tersebut telah terisi air dan membentuk sebuah telaga dengan airnya yang
berwarna kehijauan karena kandungan belerangnya, sangat eksotis. Kami tentu
tidak melewatkan momen dan spot itu untuk mengambil beberapa gambar dari
kamera-kamera butut.
Waktu menunjukkan
pukul 9.30 WIB, kami melanjutkan perjalanan menuju puncak. Jalurnya aneh, di
mana-mana seperti bisa dilalui tapi setelah dicek ternyata tidak memungkinkan
karena berpotensi longsor. Akhirnya kami berputar ke kanan dari posisi Kawah
Baru dan menemukan jalur aliran lava yang bisa digunakan untuk mendaki dan
cukup aman. Usaha kami tidak sia-sia. Di ujung bekas aliran lava tersebut, kami
disuguhi pemandangan yang membuat mata tercengang dan mulut melompong, Hutan
Mati. Hutan Mati bekas letusan tahun 2002 ada di hadapan kami. Jajaran batang
pohon yang menghitam tanpa dedaunan terlihat begitu dramatis. Ditambah
tanah-tanah yang memutih karena kandungan belerangnya dan material lain bekas
letusan, membuatnya begitu melankolis dan harmonis.
Kabut di Papandayan di
musim penghujan seperti ini tidak bisa diprediksi. Hampir tiap jam kabut
naik-turun. Dari area hutan mati ini, aku pun mencoba untuk orientasi medan
menuju puncak. Jalurnya cukup ekstrim dan banyak longsoran tanah. Setelah
berdiskusi sejenak, kami putuskan untuk berhenti di ketinggian itu, 2560 mdpl (menurut layar monokrom di altimeter),
62 meter lagi menuju puncak. Jalur sudah tidak memungkinkan dan kondisi cuaca
yang tidak bisa diprediksi sangat berpotensi untuk merepotkan kami. Bisa saja
sebentar hujan, sebentar turun kabut, itu akan mengganggu pijakan dan tentunya
jarak pandang.
Kabut di hutan mati, G. Papandayan | by: amberrtrixx |
Kami puaskan hasrat
kami pada sang alam di Hutan Mati. Di sana ada aliran sungai yang jernih dan
bertingkat-tingkat membentuk air terjun-air terjun kecil. Mengesankan. Kami
memanfaatkannya untuk bersih-bersih badan dan aku tidak melewatkan kesempatan
itu untuk mandi menyeburkan diri di telaga di bawah air terjun kecil itu.
Airnya jernih walaupun berasa, tapi baik untuk kulit. Puas membersihkan diri
dan waktu menunjukkan pukul 11.15 WIB, kami bergegas untuk packing dan turun
gunung. Sebelumnya, kami makan persediaan logistik yang tersisa. Perkiraan
waktu turun sekitar 2 jam.
Pukul 12.00 WIB kami
turun dari area Hutan Mati. Puncak Papandayan seakan masih menanti dan melambai
melihat kami turun. Perpisahan, dalam bentuk apapun, memang selalu menyisakan
kesan entah itu menarik atau mengecewakan. Kami merasakannya, perpisahan dengan
alam Papandayan yang telah memberikan jutaan kesan tentang pendewasaan,
persahabatan dan keluarga ini terasa begitu berat. Kami turun gunung, berjalan
dengan jutaan pikiran dan perasaan di hati dan otak. Semua itu terangkum dalam
episode nonlebay dan dramatis sepetak film kehidupan kami. Pukul 14.15 WIB kami
sampai di parkir Papandayan. Istirahat sejenak dan bersiap untuk pulang.
Biarlah cerita kami
melebur bersama abu-abu Papandayan dan menguap dengan embun-embun di
pucuk-pucuk Cantigi. Kami sadar, betapa kecil diri kami berada di tengah
kuasa-Mu yang Maha Besar dan Maha Luas. Bukan tentang puncak-puncak tertinggi,
tapi kesan dan pengalaman luar biasa tentang hakikat diri yang bisa kami
rasakan saat berada di punggung gunung. Tentang bagaimana menghargai alam, peka
dan tanggap pada keluh sahabat, kekuatan maha dahsyat di sekitar, dan indahnya
kebersamaan.
Pengen liat foto-foto pendakian kami? Klik di sini
Papandayan, Garut 16—17
November 2012
bisa menjadi refrensi nih..kalau dari Bandung kira-kira berapa jam ya gan?
ReplyDelete