Monday, February 18, 2013

Saat Jogja Bener-Bener Njogjani


Beautiful Jogja trip destination.
Enam hari di Jogja menyadarkan gue banyak hal. Enam hari di Jogja membuat gue lebih merasa punya hati. Enam hari di Jogja menjadikan otak gue bisa bekerja lebih dari biasanya. Enam hari di Jogja belum pernah gue lakuin sebelumnya. Enam hari di Jogja tidak hanya sekedar perjalanan fisik, nurani lebih banyak bicara. Enam hari di Jogja, kota ini sungguh luar biasa. Enam hari di Jogja, enam tahun pun rasanya masih kurang cukup untuk menguak rahasia di balik pesona dan misteri kota kecil ini.

Jogja kini dan dulu jaman esempe sepertinya masih tak jauh berubah. Malioboro masih di sana, Tamansari masih di situ, Prambanan juga tetep berdiri tegak, Gudeg juga masih manis, bakpia juga masih tetep “pathok”, dan katanya Sarkem juga masih ada meskipun gue juga sama sekali nggak pernah kesana. Pesona kekunoan Jogja masih banyak terasa di banyak arsitektur art deco di sepanjang kota tua ini. Khasanah kota budaya yang semenjak masa Kerajaan Mataram ini sudah mewarisi banyak tradisi masih tetap terawat baik.

Hanya mungkin gerusan arus modernisasi yang tak terbendung cukup riskan melapukkan jiwa kaum mudanya sedikit demi sedikit. Kini para kaum muda lebih suka nongkrong di café-café, coffee shop, gerai-gerai fast food, toko ice cream, karaoke, restoran-restoran modern daripada mengunjungi warung-warung gudeg, angkringan, makan pecel di emperan, bercanda di Tamansari dan menikmati sendratari di Prambanan. Walaupun ini tak tergeneralisir, setidaknya minat kaum muda pada hal-hal semacam itu semakin menipis, dan gak munafik termasuk gue. Ini bahaya jika tidak dipreservasi rasa memiliki budaya sendiri dari para kaum mudanya.

Gue inget jaman kecil dulu, umur berapa lupa, pertama kali menginjakkan kaki di kota ini adalah demi menyaksikan sebuah acara tradisi tahunan, Sekaten. Naik mobil butut, sekeluarga meluncur menuju Jogja pagi-pagi. Gue rasa itu awal mula kenapa gue cukup familiar dengan kota kecil ini. Gara-gara Sekaten itu, Jogja menjadi salah satu kota yang paling sering gue kunjungi. Gue mau ngasih tau satu rahasia: Sekaten yang gue lihat waktu kecil dan pertama kali ke Jogja itu adalah yang pertama kalinya sekaligus belum pernah lagi gue saksikan sampai sekarang umur dua puluh dua. Jadi, seumur hidup gue baru sekali menikmati hiruk pikuk Sekatenan. (Ciyan ya…)

Sekarang, tak terhitung berapa kali gue udah berkunjung ke Jogja dan yang jelas dengan berbagai tujuan. Apa saja tujuannya, kayaknya penting banget gitu ya gue paparin satu-satu?

Ini di Jogja meeeen...
Jogja kini, meski tak banyak berubah, tapi cukup berbeda. Gue bertemu soulmate gue di kota ini. Meski awal pertemuan gue bukan di kota ini, tapi di sini banyak kenangan yang gue dan dia ciptakan. Kota yang menyimpan banyak rahasia dan misteri ini ternyata mampu membuat gue teredan-edan. Seorang teman pernah bilang,”Siapapun yang sudah pernah menginjakkan kaki di Jogja, suatu saat pasti akan kecanduan menginjakkan kakinya lagi di kota itu.” Dan sepertinya kata-kata itu ada benarnya juga meskipun kedengerannya tak masuk akal. Mmm…tak semuanya harus dan bisa dinalar pake otak kan? Kata-kata itu tentunya berasal dari pengalaman empiris seseorang yang pernah mengalaminya dan teruji kebenarannya turun temurun, meskipun akurasinya tak selalu seratus persen. Maka dari itu gue lebih suka menyebutnya “kata-kata itu ada benernya juga ya”.

Enam hari di Jogja, mengingatkan gue akan satu hal, seseorang harus bisa benar-benar bersungguh-sungguh pada apa yang diucapkannya. That I was called,”I mean what I say…” Kadang gue suka berkata-kata, meskipun tak begitu pandai mengutarakannya. Entah itu tiba-tiba terucap atau sekedar terpikirkan dan kemudian menuangkannya dalam sebuah tulisan, tapi kata-kata itu begitu banyak. Gue hanya belum bisa bersungguh-sungguh menyikapinya.

Kini, kenapa gue makin merasa tua ya? Semakin merasa tua, semakin banyak berpikir. Dan semakin berpikir justru membuat gue semakin gak ngerti apa yang gue pikirkan. Jika sudah mencapai tahap seperti itu, gue saranin pergilah ke Jogja. Kota ini punya semacam sihir dengan kearifan budaya dan keramah-tamahan masyarakatnya yang bisa membuat batin dan otak kita refresh, recount dan reconstruct. Apa karena gue punya soulmate di sini terus gue bisa bilang begitu? Entahlah, menurut gue sih nggak juga dan terlepas dari itu, gue punya keyakinan bahwa memang kota ini magic. Sesuatu yang nggak bakal lo dapetin hanya dengan mengunjungi Venice, Paris, Hawaii, atau bahkan ke kutub selatan untuk menemui suku air, bisa didapat di Jogja. (Ya masuk akal aja kan, emang lo bisa beli guded di Venice? Emang lo boleh buka angkringan di bawah Menara Eiffel?)

**********
This is us...
Satu hal dari Jogja yang nggak akan pernah orang lain dan siapapun rasakan kemistisannya, pesonanya, rasa sayangnya, keunikannya, melebihi apa yang gue rasakan adalah, kamu. Walaupun tak bisa setiap hari di Jogja, tapi enam hari di Jogja kemarin begitu luar biasa buat kita. Begitu banyak cerita yang justru akhirnya sulit untuk diceritakan hanya dengan jajaran alphabet atau hieroglyph sekalipun. Aku biarkan cerita-cerita itu berkembang di setiap memori-memori tersembunyi di tubuh kami. Biarlah cukup kami yang menikmati dan membacanya setiap saat aku dan kamu ingin membacanya.

Aku pasti rindu saat kamu tiba-tiba nyanyi…”Hei…I just mad you…” dan kemudian tertawa bareng sambil menjambak rambutku.

Semoga cerita-cerita itu selalu berakhir dengan “to be continued…” sampai kapanpun. Kesederhanaan kisah itu tak pernah bisa terlepas dari setiap momen yang telah terekam dan pada akhirnya menghasilkan suatu memori tak berbatas. Suatu kisah yang tak berbatas, memori kami. Aku begitu suka ketika Pak Habibie berkata pada Ibu Ainun,”Masa lalu saya dalah milik saya dan masa lalu kamu adalah milik kamu, tetapi masa depan…adalah milik kita”. Itu bukti bahwa tak selalu kata-kata itu adalah seperti kaleng bekas susu, kosong. Dari kata-katalah kita bisa memvisualisasikan setiap mimpi dan masa depan kita untuk kemudian menjadikannya motivasi bersama… aku, kamu, kita.

Jogja kini, lebih banyak cerita daripada Jogja dulu. Hanya itu bedanya. Jogja dulu dan kini masih tetap “Njogjani” dan kini justru semakin “Njogjani”. Biarlah kata itu tak sesuai dengan kaidah bahasa ataupun EYD, tapi ekspresi semacam itu wajar disematkan pada kota ini.

No comments:

Post a Comment