Beautiful Jogja trip destination. |
Enam hari di
Jogja menyadarkan gue banyak hal. Enam hari di Jogja membuat gue lebih merasa
punya hati. Enam hari di Jogja menjadikan otak gue bisa bekerja lebih dari
biasanya. Enam hari di Jogja belum pernah gue lakuin sebelumnya. Enam hari di
Jogja tidak hanya sekedar perjalanan fisik, nurani lebih banyak bicara. Enam
hari di Jogja, kota ini sungguh luar biasa. Enam hari di Jogja, enam tahun pun
rasanya masih kurang cukup untuk menguak rahasia di balik pesona dan misteri kota
kecil ini.
Jogja kini
dan dulu jaman esempe sepertinya
masih tak jauh berubah. Malioboro masih di sana, Tamansari masih di situ,
Prambanan juga tetep berdiri tegak, Gudeg juga masih manis, bakpia juga masih
tetep “pathok”, dan katanya Sarkem juga masih ada meskipun gue juga sama sekali
nggak pernah kesana. Pesona kekunoan Jogja masih banyak terasa di banyak
arsitektur art deco di sepanjang kota
tua ini. Khasanah kota budaya yang semenjak masa Kerajaan Mataram ini sudah
mewarisi banyak tradisi masih tetap terawat baik.
Hanya
mungkin gerusan arus modernisasi yang tak terbendung cukup riskan melapukkan
jiwa kaum mudanya sedikit demi sedikit. Kini para kaum muda lebih suka
nongkrong di café-café, coffee shop,
gerai-gerai fast food, toko ice cream, karaoke, restoran-restoran
modern daripada mengunjungi warung-warung gudeg, angkringan, makan pecel di
emperan, bercanda di Tamansari dan menikmati sendratari di Prambanan. Walaupun
ini tak tergeneralisir, setidaknya minat kaum muda pada hal-hal semacam itu semakin
menipis, dan gak munafik termasuk gue. Ini bahaya jika tidak dipreservasi rasa
memiliki budaya sendiri dari para kaum mudanya.
Gue inget
jaman kecil dulu, umur berapa lupa, pertama kali menginjakkan kaki di kota ini
adalah demi menyaksikan sebuah acara tradisi tahunan, Sekaten. Naik mobil
butut, sekeluarga meluncur menuju Jogja pagi-pagi. Gue rasa itu awal mula
kenapa gue cukup familiar dengan kota kecil ini. Gara-gara Sekaten itu, Jogja
menjadi salah satu kota yang paling sering gue kunjungi. Gue mau ngasih tau
satu rahasia: Sekaten yang gue lihat waktu kecil dan pertama kali ke Jogja itu
adalah yang pertama kalinya sekaligus belum pernah lagi gue saksikan sampai
sekarang umur dua puluh dua. Jadi, seumur hidup gue baru sekali menikmati hiruk
pikuk Sekatenan. (Ciyan ya…)
Sekarang,
tak terhitung berapa kali gue udah berkunjung ke Jogja dan yang jelas dengan
berbagai tujuan. Apa saja tujuannya, kayaknya penting banget gitu ya gue
paparin satu-satu?
Ini di Jogja meeeen... |
Jogja kini,
meski tak banyak berubah, tapi cukup berbeda. Gue bertemu soulmate gue di kota ini. Meski awal pertemuan gue bukan di kota
ini, tapi di sini banyak kenangan yang gue dan dia ciptakan. Kota yang
menyimpan banyak rahasia dan misteri ini ternyata mampu membuat gue
teredan-edan. Seorang teman pernah bilang,”Siapapun
yang sudah pernah menginjakkan kaki di Jogja, suatu saat pasti akan kecanduan
menginjakkan kakinya lagi di kota itu.” Dan sepertinya kata-kata itu ada
benarnya juga meskipun kedengerannya tak masuk akal. Mmm…tak semuanya harus dan
bisa dinalar pake otak kan? Kata-kata itu tentunya berasal dari pengalaman
empiris seseorang yang pernah mengalaminya dan teruji kebenarannya turun
temurun, meskipun akurasinya tak selalu seratus persen. Maka dari itu gue lebih
suka menyebutnya “kata-kata itu ada benernya juga ya”.
Enam hari di
Jogja, mengingatkan gue akan satu hal, seseorang harus bisa benar-benar
bersungguh-sungguh pada apa yang diucapkannya. That I was called,”I mean what I say…” Kadang gue suka
berkata-kata, meskipun tak begitu pandai mengutarakannya. Entah itu tiba-tiba
terucap atau sekedar terpikirkan dan kemudian menuangkannya dalam sebuah
tulisan, tapi kata-kata itu begitu banyak. Gue hanya belum bisa
bersungguh-sungguh menyikapinya.
Kini, kenapa
gue makin merasa tua ya? Semakin merasa tua, semakin banyak berpikir. Dan
semakin berpikir justru membuat gue semakin gak ngerti apa yang gue pikirkan.
Jika sudah mencapai tahap seperti itu, gue saranin pergilah ke Jogja. Kota ini
punya semacam sihir dengan kearifan budaya dan keramah-tamahan masyarakatnya
yang bisa membuat batin dan otak kita refresh,
recount dan reconstruct. Apa karena gue punya soulmate di sini terus gue bisa bilang begitu? Entahlah, menurut
gue sih nggak juga dan terlepas dari itu, gue punya keyakinan bahwa memang kota
ini magic. Sesuatu yang nggak bakal
lo dapetin hanya dengan mengunjungi Venice, Paris, Hawaii, atau bahkan ke kutub
selatan untuk menemui suku air, bisa didapat di Jogja. (Ya masuk akal aja kan,
emang lo bisa beli guded di Venice? Emang lo boleh buka angkringan di bawah
Menara Eiffel?)
**********
This is us... |
Satu hal
dari Jogja yang nggak akan pernah orang lain dan siapapun rasakan
kemistisannya, pesonanya, rasa sayangnya, keunikannya, melebihi apa yang gue
rasakan adalah, kamu. Walaupun tak bisa setiap hari di Jogja, tapi enam hari di
Jogja kemarin begitu luar biasa buat kita. Begitu banyak cerita yang justru
akhirnya sulit untuk diceritakan hanya dengan jajaran alphabet atau hieroglyph
sekalipun. Aku biarkan cerita-cerita itu berkembang di setiap memori-memori
tersembunyi di tubuh kami. Biarlah cukup kami yang menikmati dan membacanya
setiap saat aku dan kamu ingin membacanya.
Aku pasti
rindu saat kamu tiba-tiba nyanyi…”Hei…I
just mad you…” dan kemudian tertawa bareng sambil menjambak rambutku.
Semoga
cerita-cerita itu selalu berakhir dengan “to
be continued…” sampai kapanpun. Kesederhanaan kisah itu tak pernah bisa
terlepas dari setiap momen yang telah terekam dan pada akhirnya menghasilkan
suatu memori tak berbatas. Suatu kisah yang tak berbatas, memori kami. Aku
begitu suka ketika Pak Habibie berkata pada Ibu Ainun,”Masa lalu saya dalah milik saya dan masa lalu kamu adalah milik kamu,
tetapi masa depan…adalah milik kita”. Itu bukti bahwa tak selalu kata-kata
itu adalah seperti kaleng bekas susu, kosong. Dari kata-katalah kita bisa
memvisualisasikan setiap mimpi dan masa depan kita untuk kemudian menjadikannya
motivasi bersama… aku, kamu, kita.
Jogja kini,
lebih banyak cerita daripada Jogja dulu. Hanya itu bedanya. Jogja dulu dan kini
masih tetap “Njogjani” dan kini justru semakin “Njogjani”. Biarlah kata itu tak
sesuai dengan kaidah bahasa ataupun EYD, tapi ekspresi semacam itu wajar
disematkan pada kota ini.
No comments:
Post a Comment