Thursday, September 6, 2012

Pelajaran dari Bule Prancis di Malioboro


Jalanan dan kios-kios sepanjang Jalan Malioboro | foto: amberrtrixx
Hari kedua di Jogja, rencana gue pengen hunting tempat-tempat menarik di Jogja buat objek foto. Bareng sama temen-temen SMA yang sekarang udah pada kuliah di Jogja, gue jalan ke arah selatan Jogja yaitu ke Tamansari, Alun-Alun Selatan, kemudian bergerak sedikit ke barat menuju Langensari, Museum Sonobudoyo dan Stasiun Tugu. Nah, perjalanan setelah ini yang mau gue ceritain. 

Dari Stasiun Tugu, temen-temen gue pada kabur masing-masing karena ada kuliah. Alhasil sendirian gue mbolang di Jogja pake motor butut yang jauh dari kata memesona. Karena males jauh-jauh, pilihan jatuh pada Malioboro. Ya, tempat yang orang bilang surganya pernak-pernik di Jogja ini. Setelah motor gue parkir, langsung deh jalan dari arah selatan ke utara. 

Pertama, sengaja gue lewat sisi sebelah timur jalan. Sepanjang sisi jalan ini memang parkiran banyak banget. Toko-toko dan lapak-lapak pedagang berjajar di tepi-tepi emperan toko dan mini-mall. Mulai dari gerai batik, lapak pernak-pernik yang lucu-lucu, kios-kios makanan tradisional dan beberapa mini-mall. Jujur, gue bingung di Malioboro mau ngapain. Mau belanja, belanja apaan. Mau jalan-jalan aja, capek walopun akhirnya ya dilakuin juga sih. 

Jalanan yang bener-bener gue bilang surganya cinderamata tradisional Jogja ini menurut sumber yang gue baca dulunya hanya jalanan sepi biasa yang kanan-kirinya cuman ditumbuhi pohon asam jawa. Baru setelah keberadaan Pasar Beringharjo di sisi selatan dan pemukiman tionghoa di daerah Ketandan, geliat area Jalan Malioboro mulai terasa. Toko-toko mulai dibangun, mulai banyak pedagang-pedagang yang berjualan di sepanjang jalan ini.

Hingga sekarang, Jalan Malioboro seperti menjadi destinasi wajib bagi siapa saja yang berkunjung ke Jogja. Belum ke Jogja kalo belum mampir di Malioboro. 

Balik lagi ke cerita gue, lanjut jalan ke sisi-sisi Malioboro, akhirnya gue beli beberapa pernak-pernik yang cukup unik di sana. Lumayan buat oleh-oleh adek gue di rumah. Hahaha. Di sini emang banyak banget kios-kios yang menjual aneka kerajinan mulai dari batik, perak, bambu, rotan, blangkon, asesoris, gantungan kunci dan baaaaanyak lagi deh. Gue aja sampe bingun saking pengennya beli semuanya.
Capek berkeliling, boleh lah melepas lelah sambil mengisi perut. Gue nyobain dua makanan sekaligus pada waktu itu, pecel dan gudeg. Minumnya pun jamu kunir asam, hahaha. Tapi akhirnya tetep nyari-nyari minuman lain yang lebih bisa dinikmati, es teh. Oiya, lokasi ibu-ibu yang jualan pecel-gudeg ini tepat di depan Mirota Batik itu loh. 

Di tempat itu pula gue sempet ngobrol sama pasangan bule dari Prancis yang alhamdulillah bisa bahasa Inggris (mampus gue kalo doi ngomongnya  pake French gitu). Yang cowok Alard namanya dan istrinya Neva (semoga gue bener nulis nama mereka). Mereka pasangan muda yang katanya sedang honeymoon. Gue tanya kenapa memilih Jogja sebagai destinasi honeymoon mereka dan jawaban mereka luar biasa: (seinget gue gini…)

Jogja is the place we dreamed of when going out first as a honeymoon destination time. We got married at a young age and we are very fond of traveling. Jogja is the perfect place for us to know each other as here shown by the people of the sublime culture and remarkable wisdom

Entah kenapa saat itu, gue merinding dan merasa bangga sebagai warga Indonesia. Gue merasa masih begitu kecil rasa bangga pada bangsa sendiri, begitu minim rasa memiliki budaya dan kebudayaan sendiri. Mereka yang jauh-jauh dari Prancis datang ke Jogja dan sudah jadi mimpi mereka untuk datang ke kota ini.

Dari situ gue berpikir bahwa memang orang luar negeri itu begitu aware pada sesuatu yang bernilai kultural. Mereka sudah hidup dalam dunia modern begitu lama dan merasa bosan dengan monotonitas, kemudian mencari penyegaran dengan hal-hal yang natural, tradisional dan bisa dibilang endemik. Sedangkan kita, karena memang cukup terlambat dalam menerima perubahan zaman, memang masih selangkah di belakang mereka.

Tapi itu bukan masalah, kita punya  kekuatan, hegemoni budaya dan local wisdom yang kita miliki, semua itu yang harus dilestarikan. Jangan sampai kita nantinya kehilangan identitas bangsa kita karena tergerus arus modernisasi dan westernisasi. 

Malioboro, cukup memberi gue pencerahan tentang hakikat menghargai potensi budaya dan kebudayaan bangsa sendiri. Tentang menghargai jati diri dan identitas bangsa selama ini jarang dilakukan oleh generasi muda.


Malioboro, 28 Agustus 2012

No comments:

Post a Comment