Jalanan dan kios-kios sepanjang Jalan Malioboro | foto: amberrtrixx |
Hari kedua di Jogja,
rencana gue pengen hunting tempat-tempat
menarik di Jogja buat objek foto. Bareng sama temen-temen SMA yang sekarang
udah pada kuliah di Jogja, gue jalan ke arah selatan Jogja yaitu ke Tamansari,
Alun-Alun Selatan, kemudian bergerak sedikit ke barat menuju Langensari, Museum
Sonobudoyo dan Stasiun Tugu. Nah, perjalanan setelah ini yang mau gue ceritain.
Dari Stasiun Tugu,
temen-temen gue pada kabur masing-masing karena ada kuliah. Alhasil sendirian
gue mbolang di Jogja pake motor butut
yang jauh dari kata memesona. Karena males jauh-jauh, pilihan jatuh pada
Malioboro. Ya, tempat yang orang bilang surganya pernak-pernik di Jogja ini. Setelah
motor gue parkir, langsung deh jalan dari arah selatan ke utara.
Pertama, sengaja gue
lewat sisi sebelah timur jalan. Sepanjang sisi jalan ini memang parkiran banyak
banget. Toko-toko dan lapak-lapak pedagang berjajar di tepi-tepi emperan toko
dan mini-mall. Mulai dari gerai batik, lapak pernak-pernik yang lucu-lucu,
kios-kios makanan tradisional dan beberapa mini-mall. Jujur, gue bingung di
Malioboro mau ngapain. Mau belanja, belanja apaan. Mau jalan-jalan aja, capek
walopun akhirnya ya dilakuin juga sih.
Jalanan yang bener-bener
gue bilang surganya cinderamata tradisional Jogja ini menurut sumber yang gue
baca dulunya hanya jalanan sepi biasa yang kanan-kirinya cuman ditumbuhi pohon
asam jawa. Baru setelah keberadaan Pasar Beringharjo di sisi selatan dan
pemukiman tionghoa di daerah Ketandan, geliat area Jalan Malioboro mulai
terasa. Toko-toko mulai dibangun, mulai banyak pedagang-pedagang yang berjualan
di sepanjang jalan ini.
Hingga sekarang, Jalan
Malioboro seperti menjadi destinasi wajib bagi siapa saja yang berkunjung ke
Jogja. Belum ke Jogja kalo belum mampir di Malioboro.
Balik lagi ke cerita
gue, lanjut jalan ke sisi-sisi Malioboro, akhirnya gue beli beberapa
pernak-pernik yang cukup unik di sana. Lumayan buat oleh-oleh adek gue di
rumah. Hahaha. Di sini emang banyak banget kios-kios yang menjual aneka
kerajinan mulai dari batik, perak, bambu, rotan, blangkon, asesoris, gantungan
kunci dan baaaaanyak lagi deh. Gue aja sampe bingun saking pengennya beli
semuanya.
Capek berkeliling,
boleh lah melepas lelah sambil mengisi perut. Gue nyobain dua makanan sekaligus
pada waktu itu, pecel dan gudeg. Minumnya pun jamu kunir asam, hahaha. Tapi
akhirnya tetep nyari-nyari minuman lain yang lebih bisa dinikmati, es teh.
Oiya, lokasi ibu-ibu yang jualan pecel-gudeg ini tepat di depan Mirota Batik
itu loh.
Di tempat itu pula gue
sempet ngobrol sama pasangan bule dari Prancis yang alhamdulillah bisa bahasa
Inggris (mampus gue kalo doi ngomongnya
pake French gitu). Yang cowok Alard namanya dan istrinya Neva (semoga
gue bener nulis nama mereka). Mereka pasangan muda yang katanya sedang honeymoon. Gue tanya kenapa memilih
Jogja sebagai destinasi honeymoon
mereka dan jawaban mereka luar biasa: (seinget
gue gini…)
Jogja is the place we dreamed of when going out first as a honeymoon destination time. We got married at a young age and we are very fond of traveling. Jogja is the perfect place for us to know each other as here shown by the people of the sublime culture and remarkable wisdom…
Entah
kenapa saat itu, gue merinding dan merasa bangga sebagai warga Indonesia. Gue
merasa masih begitu kecil rasa bangga pada bangsa sendiri, begitu minim rasa
memiliki budaya dan kebudayaan sendiri. Mereka yang jauh-jauh dari Prancis
datang ke Jogja dan sudah jadi mimpi mereka untuk datang ke kota ini.
Dari situ gue berpikir bahwa memang orang luar negeri itu begitu aware pada sesuatu yang bernilai kultural. Mereka sudah hidup dalam dunia modern begitu lama dan merasa bosan dengan monotonitas, kemudian mencari penyegaran dengan hal-hal yang natural, tradisional dan bisa dibilang endemik. Sedangkan kita, karena memang cukup terlambat dalam menerima perubahan zaman, memang masih selangkah di belakang mereka.
Tapi
itu bukan masalah, kita punya kekuatan,
hegemoni budaya dan local wisdom yang
kita miliki, semua itu yang harus dilestarikan. Jangan sampai kita nantinya
kehilangan identitas bangsa kita karena tergerus arus modernisasi dan
westernisasi.
Malioboro,
cukup memberi gue pencerahan tentang hakikat menghargai potensi budaya dan
kebudayaan bangsa sendiri. Tentang menghargai jati diri dan identitas bangsa selama
ini jarang dilakukan oleh generasi muda.
Malioboro, 28 Agustus 2012
Malioboro, 28 Agustus 2012
No comments:
Post a Comment