Siapa sih yang gak kenal tempe? |
Hari ini,
Jumat (27/7) adalah hari terakhir pedagang-pedagang di Jakarta dan sekitarnya
mogok jualan tempe. Yah, sejak tiga hari yang lalu pedagang dan produsen tempe
di area Jakarta melakukan mogok produksi dan jualan. Hal ini dipicu aksi protes
mereka terhadap pemerintah yang dirasa tidak mampu mengendalikan dan mengatasi
melambungnya harga kedelai di pasar nasional. Puncaknya, pada Selasa (24/7)
kemarin ketika Gakopttindo (Gabungan Koperasi Tahu Tempe Indonesia) melakuka
aksi sweeping di pasar-pasar untuk
menyita tempe dan tahu dari para pedagang. Aksi ini mendapat tanggapan pro dan
kontra dari masyarakat.
Itu sekilas
tentang kondisi di Jakarta yang saya alami beberapa hari terakhir menyikapi
fenomena kelangkaan dan melambungnya harga kedelai nasional. Tapi di sini saya
melihat dari sisi lain dari fenomena ini. Ketika mendengar isu-isu tentang
kelangkaan kedelai dan berimbas pada berkurangnya produktivitas tempe di
Jakarta, saya langsung menghubungi keluarga saya di kampong (Kebumen, Jawa
Tengah). Bukan apa-apa, karena dari dulu tempe adalah makanan favorit saya dan
keluarga. Maklum orang desa seperti saya ini tentu punya ketertarikan berbeda
dengan orang kota pada umumnya.
Saya menelpon
ibu saya dua hari yang lalu, menanyakan;
“Bu, emang di Kebumen tempe langka bu?”
“Enggak tuh, emang kenapa?”, Ibuku
menjawab dengan nada heran.
“Nggak ada, Bu. Cuma di Jakarta ini sekarang
tempe lagi langka, katanya harga kedelai naik.”
“Oh ya? Berarti kesempatan buat Ibu bisa jual
kedelai ke Jakarta ya?”, Ibuku komentar dengan semangat, padahal beliau gak
pernah jualan kedelai.
“Ibu ada-ada aja. Sejak kapan jualan kedelai?
Tapi bener nih Bu, di rumah tempe masih banyak di bibi-bibi yang jualan itu?”
“Namanya juga usaha, De. Hehehe. Iya, beneran
di rumah banyak tuh tempe. Harganya juga gak ada bedanya dari kemarin-kemarin.
Ibu tahu nih kenapa Jakarta rebut-ribut soal tempe. Pasti karena masalah apa
itu namanya improt-improt itu kan? Lha wong Negara yang katanya kaya sumberdaya
alam dan tanahnya subur kok masih ngandelin luar negeri buat masalah pangan.
Lho kok ya kenapa nggak pemerintah yang telaten ngoordinir masyarakatnya buat
membangkitkan kembali kekuatan pangan Negara. Dulu aja bisa swasembada pangan
kok ya sekarang gak bisa”, Ibuku berkomentar dan saya membiarkannya
meneruskan pendapat beliau itu.
“Lha terus, njur piye, Bu?”
“Kamu itu katanya mahasiswa kok ya nggak ada
kritisnya sama sekali toh? Ibu ini sih curiga jangan-jangan isu-isu kayak gini
itu bikinan pemerintah. Mungkin saja toh? Pemerintah sengaja membuat kedelai
langka, terus dengan berlagak pahlawan akan menngeluarkan kebijakan khusus
tentang ini sehingga setelah semua teratasi, citra pemerintah akan naik. Iya
lah, mungkin aja ini politik pencitraan pemerintah loh.”
“Ibu jangan suuzon sama pemerintah gitu. Bisa
aja kan ini karena emang bener-bener nyata dan bukan rekayasa pemerintah.”
“Oalah kamu ini kayak nggak ngerti politik
aja, De. Kalo ada isu-isu yang berkaitan dengan masyarakat langsung kayak gini
kan banyak orang toh yang tiba-tiba nongol sok pahlawan terus berpendapat ini
itu. Biar dibilang pro-rakyat. Maklum to, lha wong bentar lagi kan pemilu
presiden…” Komentar ibuku makin menjadi-jadi.
Itu cuma
beberapa petikan percakapan telepon antara saya dengan ibu. Awalnya saya penasaran
apakah kondisi yang terjadi di Jakarta, imbasnya juga dirasa di tempat lain,
khususnya kampung saya. Ternyata di kampong saya tidak begitu signifikan
dampaknya. Malah ibu saya yang punya argumen lain mengenai fenomena ini. Sungguh
terlalu, saya merasa malu sebagai generasi muda yang kurang kritis pada
fenomena yang terjadi di masyarakat.
Harapan masyarakat
pada pemerintah begitu besar untuk kesejahteraan hidup mereka. Kedelai dan
olahannya bagi sebeagian besar masyarakat Indonesia sudah menjadi kehidupan. Sisi
kehidupan lain yang memang jarang atau bahkan tidak pernah absen dari
kesehariannya. Bagaimana tidak, masyarakat Indonesia sudah begitu akrab dengan
olahan bahan pangan satu ini. Tempe, tahu, kecap, oncom, susu kedelai, dan
sebagainya merupakan hal yang sangat familiar di lidah orang Indonesia. Nah,
kemudian apa yang terjadi jika tiba-tiba bahan pangan itu menghilang di
pasaran?
Pemerintah dan
masyarakat sudah seharusnya bersinergi untuk membangun kebijakan yang
spektakuler dan strategis untuk menjaga stabilitas pangan nasional. Kebijakan
yang pemerintah ambil dalam hal ini harus kompatibel dengan kebutuhan
petani-petani tanah air. Merekalah pahlawan kita, sudah sepantasnya kita dukung
dengan fasilitas dan sarana pendukung yang memadai. Harga-harga alat pertanian
dan pupuk juga harus memadai dan seimbang antara potensi pendapatan dan
pengeluaran yang harus mereka keluarkan.
Kemudian yang
tidak kalah pentingnya ialah masyarakat sendiri juga harus sadar lingkungan dan
melakukan pengembangan pembangunan yang sadar alam. Jangan terlalu banyak
menggerus lahan pertanian untuk membangun properti. Memang ini penting, tapi
analisislah dampaknya ke depan. Bagaimana jika 20 tahun yang akan datang lahan
pertanian di Indonesi sudah habis dan tidak produktif lagi. Kita akan semakin
bergantung dengan Negara lain dalam hal pangan. Dengan begitu, bukankah sama
saja kita menghancurkan sendiri kedaulatan Negara ini?
Semua pihak,
marilah bercermin pada diri kita masing-masing, siapakah yang seharusnya
bertanggung jawab akan fenomena yang terjadi selama ini?
No comments:
Post a Comment