Friday, July 27, 2012

Tempe untuk Kehidupan


Siapa sih yang gak kenal tempe?
Hari ini, Jumat (27/7) adalah hari terakhir pedagang-pedagang di Jakarta dan sekitarnya mogok jualan tempe. Yah, sejak tiga hari yang lalu pedagang dan produsen tempe di area Jakarta melakukan mogok produksi dan jualan. Hal ini dipicu aksi protes mereka terhadap pemerintah yang dirasa tidak mampu mengendalikan dan mengatasi melambungnya harga kedelai di pasar nasional. Puncaknya, pada Selasa (24/7) kemarin ketika Gakopttindo (Gabungan Koperasi Tahu Tempe Indonesia) melakuka aksi sweeping di pasar-pasar untuk menyita tempe dan tahu dari para pedagang. Aksi ini mendapat tanggapan pro dan kontra dari masyarakat.

Itu sekilas tentang kondisi di Jakarta yang saya alami beberapa hari terakhir menyikapi fenomena kelangkaan dan melambungnya harga kedelai nasional. Tapi di sini saya melihat dari sisi lain dari fenomena ini. Ketika mendengar isu-isu tentang kelangkaan kedelai dan berimbas pada berkurangnya produktivitas tempe di Jakarta, saya langsung menghubungi keluarga saya di kampong (Kebumen, Jawa Tengah). Bukan apa-apa, karena dari dulu tempe adalah makanan favorit saya dan keluarga. Maklum orang desa seperti saya ini tentu punya ketertarikan berbeda dengan orang kota pada umumnya. 

Saya menelpon ibu saya dua hari yang lalu, menanyakan;

Bu, emang di Kebumen tempe langka bu?

Enggak tuh, emang kenapa?”, Ibuku menjawab dengan nada heran.

Nggak ada, Bu. Cuma di Jakarta ini sekarang tempe lagi langka, katanya harga kedelai naik.”

Oh ya? Berarti kesempatan buat Ibu bisa jual kedelai ke Jakarta ya?”, Ibuku komentar dengan semangat, padahal beliau gak pernah jualan kedelai.

Ibu ada-ada aja. Sejak kapan jualan kedelai? Tapi bener nih Bu, di rumah tempe masih banyak di bibi-bibi yang jualan itu?

Namanya juga usaha, De. Hehehe. Iya, beneran di rumah banyak tuh tempe. Harganya juga gak ada bedanya dari kemarin-kemarin. Ibu tahu nih kenapa Jakarta rebut-ribut soal tempe. Pasti karena masalah apa itu namanya improt-improt itu kan? Lha wong Negara yang katanya kaya sumberdaya alam dan tanahnya subur kok masih ngandelin luar negeri buat masalah pangan. Lho kok ya kenapa nggak pemerintah yang telaten ngoordinir masyarakatnya buat membangkitkan kembali kekuatan pangan Negara. Dulu aja bisa swasembada pangan kok ya sekarang gak bisa”, Ibuku berkomentar dan saya membiarkannya meneruskan pendapat beliau itu.

Lha terus, njur piye, Bu?”

Kamu itu katanya mahasiswa kok ya nggak ada kritisnya sama sekali toh? Ibu ini sih curiga jangan-jangan isu-isu kayak gini itu bikinan pemerintah. Mungkin saja toh? Pemerintah sengaja membuat kedelai langka, terus dengan berlagak pahlawan akan menngeluarkan kebijakan khusus tentang ini sehingga setelah semua teratasi, citra pemerintah akan naik. Iya lah, mungkin aja ini politik pencitraan pemerintah loh.

Ibu jangan suuzon sama pemerintah gitu. Bisa aja kan ini karena emang bener-bener nyata dan bukan rekayasa pemerintah.”

Oalah kamu ini kayak nggak ngerti politik aja, De. Kalo ada isu-isu yang berkaitan dengan masyarakat langsung kayak gini kan banyak orang toh yang tiba-tiba nongol sok pahlawan terus berpendapat ini itu. Biar dibilang pro-rakyat. Maklum to, lha wong bentar lagi kan pemilu presiden…” Komentar ibuku makin menjadi-jadi.

Itu cuma beberapa petikan percakapan telepon antara saya dengan ibu. Awalnya saya penasaran apakah kondisi yang terjadi di Jakarta, imbasnya juga dirasa di tempat lain, khususnya kampung saya. Ternyata di kampong saya tidak begitu signifikan dampaknya. Malah ibu saya yang punya argumen lain mengenai fenomena ini. Sungguh terlalu, saya merasa malu sebagai generasi muda yang kurang kritis pada fenomena yang terjadi di masyarakat.

Harapan masyarakat pada pemerintah begitu besar untuk kesejahteraan hidup mereka. Kedelai dan olahannya bagi sebeagian besar masyarakat Indonesia sudah menjadi kehidupan. Sisi kehidupan lain yang memang jarang atau bahkan tidak pernah absen dari kesehariannya. Bagaimana tidak, masyarakat Indonesia sudah begitu akrab dengan olahan bahan pangan satu ini. Tempe, tahu, kecap, oncom, susu kedelai, dan sebagainya merupakan hal yang sangat familiar di lidah orang Indonesia. Nah, kemudian apa yang terjadi jika tiba-tiba bahan pangan itu menghilang di pasaran?

Pemerintah dan masyarakat sudah seharusnya bersinergi untuk membangun kebijakan yang spektakuler dan strategis untuk menjaga stabilitas pangan nasional. Kebijakan yang pemerintah ambil dalam hal ini harus kompatibel dengan kebutuhan petani-petani tanah air. Merekalah pahlawan kita, sudah sepantasnya kita dukung dengan fasilitas dan sarana pendukung yang memadai. Harga-harga alat pertanian dan pupuk juga harus memadai dan seimbang antara potensi pendapatan dan pengeluaran yang harus mereka keluarkan. 

Kemudian yang tidak kalah pentingnya ialah masyarakat sendiri juga harus sadar lingkungan dan melakukan pengembangan pembangunan yang sadar alam. Jangan terlalu banyak menggerus lahan pertanian untuk membangun properti. Memang ini penting, tapi analisislah dampaknya ke depan. Bagaimana jika 20 tahun yang akan datang lahan pertanian di Indonesi sudah habis dan tidak produktif lagi. Kita akan semakin bergantung dengan Negara lain dalam hal pangan. Dengan begitu, bukankah sama saja kita menghancurkan sendiri kedaulatan Negara ini?

Semua pihak, marilah bercermin pada diri kita masing-masing, siapakah yang seharusnya bertanggung jawab akan fenomena yang terjadi selama ini?

No comments:

Post a Comment