Tuesday, October 18, 2011

Fenomena Freeport dan Jatidiri Bangsa: Sebuah Obrolan Kopi di Tengah Malam

Tiba-tiba teringat obrolan dengan teman satu kosan beberapa hari yang lalu. Obrolan yang cukup absurd, di tengah malam yang pada akhirnya tanpa kesimpulan apapun. Berawal dari obrolan seputar carut-marut kasus Freeport akhir-akhir ini. Seorang teman bertanya sebenarnya apa yang membuat Freeport itu datang ke Indonesia dan bisa dengan begitu welcome pemerintah pada saat itu menerima mereka tanpa pertimbangan-pertimbangan dari berbagai aspek?

Kemudian disitu mulai terjadi adu argumentasi. Waktu itu saya awalnya hanya berlaku sebagai pendengar kritis ceritanya. Kami berargumen dari berbagai sudut pandang dan latar belakang, di satu sisi dari aspek sains, di sisi lain dari aspek sosial masyarakat, dan saya mencoba mengaitkan di antara keduanya.

Seorang teman berpendapat bahwa Freeport datang ke Indonesia waktu itu karena kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru, menyatakan bahwa digalakkanlah penanaman modal asing (PMA) yang ingin berinvestasi di Indonesia. Dia melanjutkan bahwa pada masa itu keadaan ekonomi Indonesia sangat terpuruk dan carut-marut sehingga diperlukan pemulihan dari segi ekonomi-finansial nasional. Salah satu cara yang ditempuh ialah dengan membuka peluang investasi terhadap aset-aset vital bangsa bagi para investor. Pada waktu itu perkembangan teknologi di Indonesia tidak memungkinkan dalam hal pengelolaan sumber daya alam (SDA), khususnya dalam bidang pertambangan. Oleh karena itu, keluarlah kebijakan bagi Penanaman Modal Asing  yang ingin mengelola sumber daya alam.Indonesia.

Kemudian muncul lagi pertanyaan, mengapa pada waktu penandatanganan kontrak dengan investor dulu hanya mencantumkan 'tembaga' dalam suratnya? Sedangkan pada kenyataannya, aset yang digali melebihi daripada itu, 'logam mulia emas' juga ikut di-eksploitasi habis-habisan. Seorang teman berargumen bahwa hal itu terjadi karena pemerintah tidak tahu dan tidak melibatkan para ilmuwan atau scientists dalam hal penentuan kebijakan atau penandatanganan kontrak kerja dengan Freeport tersebut. Lebih jelas lagi ditambahkan bahwa pemerintah membuat kebijakan secara tidak matang dari berbagai aspek. 

Argumentasi lain menegaskan bahwa disitu mulai tercium kecurangan politis dan ke-korup-an pemerintahan bangsa ini dari zaman dulu. Kemungkinan adanya politik amplop-isasi dalam pembuatan kebijakan kontrak kerja tersebut disinyalir begitu kuat. Pemerintah pada masa itu mudah diiming-imingi dengan amplop dan sejenisnya. Hal itu bisa jadi dampak juga dari keadaan ekonomi masyarakat pada masa itu. Selain itu juga karena dampak sistem pemerintahan terpusat yang begitu egaliter bagi masyarakat sekarang.

Akantetapi muncul sanggahan mengenai pendapat pertama dari seorang teman. Dia mengungkapkan bahwa tidak mungkin pemerintah tidak mencampur-tangankan para ilmuwan dalam menentukan kebijakan yang cukup vital. Dia berargumen bahwa, seperti halnya dalam sistem parlementer, dalam membuat satu kebijakan pasti akan melibatkan parlemen yang ada di dalamnya. Itu berarti jajaran menteri-menteri yang bersangkutan pasti dikaitkan. Dalam hal kontrak tambang Freeport ini, teman saya berasumsi bahwa pasti ada campur tangan dari Menteri Sumber Daya Alam dan Energi, Menteri Riset dan Teknologi, Menteri Ekonomi dan sebagainya minimal atau yang berkaitan. Hal itu cukup beralasan tetapi menimbulkan pertanyaan kembali. Mengapa kebijakan yang muncul justru demikian? Hanya 'tembaga' yang tertulis bukan beserta mining product yang lain misal emas? Padahal jika itu dicantumkan pastinya akan membawa peningkatan ekonomi yang cukup signifikan masa itu ataupun sekarang yang kian memanas. Apa gunanya campur tangan para ilmuwan, ekonom dan lain-lain itu jika pada akhirnya tidak mampu menghasilkan suatu kebijakan dengan orientasi national prosperity.

Muncul lagi celetukan dari seorang teman, kemungkinan para menteri yang terlibat dalam penentuan kebijakan itu pada masa pendidikannya tidak 'benar'. Pernyataan ini cukup menggelitik sekaligus menarik juga untuk dibahas dari aspek historis personalitis para menteri itu. Kemungkinan para menteri itu dulunya juga mahasiswa seperti kita-kita ini yang katanya idealis, banyak menghujat kebobrokan bangsa di zamannya, aktivis, tapi satu catatan, normatif yang tidak bersubstantif.  Saya semakin bingung pada taraf ini, apa yang dimaksud teman saya dengan pernyataannya yang demikian. Kemudian kembali dia menjelaskan, kemungkinan mereka itu pada mulanya adalah orang-orang yang idealis dengan pemahaman mereka sendiri yang sangat goodies, tetapi pada akhirnya ketika sudah terjun di dunia nyata, mereka akan tumbuh menjadi sosok yang ikut jalur, hilang ke-idealis-annya dan pada akhirnya terlepas dari kebebasan eksistensial yang dimilikinya dengan menjadi makhluk yang yes man.

Saya sendiri memahaminya di luar konteks di atas. Entah itu masalah Freeport, perseteruan blok Ambalat dengan Malaysia beberapa tahun silam, kasus Gayus Tambunan, Nazaruddin Zulkarnain, sampai pada isu yang sedang santer terdengar saat ini tentang reshuffle kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Semua itu tidak terlepas dari pribadi manusia itu sendiri. Pada hakikatnya kita, sebagai bangsa Indonesia, dewasa ini lebih senang menghakimi daripada introspeksi. Kita lebih suka menjadi komentator yang beradu argumen di depan layar kaca tentang suatu kasus. Kita lebih suka terkenal dengan ketenaran kita dan sebagainya. Akantetapi dibalik semua itu, kita lupa akan jati diri kita sebagai manusia. Kita sebagai makhluk berakal sekaligus berhati nurani dan juga memiliki kesadaran, seharusnya paham dan mengerti tentang hakikat hidup kita, apa yang kita lakukan dan kerjakan, dan mulailah menggunakan hati nurani sebagai hakim bagi diri kita sendiri tanpa mengesampingkan aspek rasio. Ketika semua itu berjalan dengan selaras seimbang, semoga nantinya kita sebagai generasi baru bangsa Indonesia, mampu dan siap untuk me-rekonstruksi bangsa ini menuju kesejahteraan bagi para penghuninya.

Giving thanks for my friends: Danang, Reda, Anis
Wish we are the best future generation for our nation, guys!

No comments:

Post a Comment