Monday, May 20, 2013

Antara Pilihan, Takdir dan Usaha

Seringkali dalam hidup, kita dihadapkan pada suatu kondisi di mana itu adalah yang paling tidak diinginkan. Stress dengan kesibukan sehari-hari, bosan, penat, kecewa, sedih, marah, terkucilkan, diabaikan, rendah diri, hingga frustasi dengan hidup. Beberapa pernah gue alami, dan itu emang nggak enak. Kondisi di mana kita merasa begitu lemah, tak berdaya dan serba salah. Merasa semua yang kita lakukan itu salah di mata orang lain tapi dari kacamata kita sendiri. Lalu apa yang harus kita lakukan? Kalo orang jawa bilang,”hanjuk aku kudu piye?

Paling pertama sekali menurut gue adalah kita harus memahami hakikat hidup itu. Coba kita bertanya pada hati nurani sebenarnya apa yang menjadi alasan kita untuk hidup. Apa sebenarnya yang kita cari? Pentingkah hidup ini? Untuk apa kita belajar, bekerja, mengejar deadline untuk mencapai target dan sebagainya? Seberapa jauh kita mengenal diri kita sendiri? Benarkah kita punya tujuan? Bagaimana untuk mencapainya? Apakah tujuan itu memang benar-benar orientasi hidup kita? Atau ada orientasi lain yang tak terlihat tapi sebenarnya itu yang jadi tujuan kita hidup?

Sepertinya kita tak seberapa jauh dan begitu dangkal dalam menyelami diri sendiri. Bahkan kita pun tak tahu untuk apa kita setiap hari bangun pagi, mandi, kemudian ke sekolah, kampus, kantor atau sekedar hang out dengan rekan-rekan. Di malam hari kita tidur begitu larut untuk mempersiapkan segala keperluan esok hari, bahkan terkadang sampai tidak tidur karena deadline sudah begitu dekat. Setiap hari kita disibukkan dengan rutinitas yang tiada henti dan begitu teratur tanpa perlu kita sadar telah mengaturnya.

Hidup itu penuh dengan pilihan-pilihan, meskipun toh tidak semua aspek dalam kehidupan ini dipenuhi dengan opsi satu dua tiga atau a-be-ce-de dan kita harus memberikan bulatan atau memberi tanda silang pada pilihan yang sesuai dengan orientasi hidup kita. Pilihan yang dimaksud itu adalah tentang sebuah sikap. Sikap kita dalam menentukan ke arah mana tujuan sebenarnya hidup kita. Sikap yang akan menuntun kita pada sebuah realita. Realita itu kita bangun dengan sikap yang menjadi pilihan dalam mengarungi bahtera hidup yang begitu luas tapi sempit ini. Apakah kita akan menjadi orang yang optimis, realistis, disiplin, skeptis, atau berjiwa humanis, itu adalah sebuah pilihan. Pilihan itu datang dari pengalaman-pengalaman empiris yang saling bertumpuk dan bersinggungan, kemudian mendapatkan sebuah irisan dimana tendensi alam sadar dan bawah sadar kita menuju ke sana.

Kaum theistik maupun atheistik sering membicarakan tentang takdir. Sesekali mereka mengacuhkannya atau bahkan menganggapnya adalah campur tangan Tuhan dan dewa-dewi yang tak perlu. Apapun itu, takdir itu adalah sebuah kondisi. Kondisi di mana itu memang sudah seharusnya seperti itu dan ini memang seharusnya seperti ini. Jika memang demikian, takdir adalah suatu bentuk pasif dalam hidup manusia. Jika gue tadi bilang soal pilihan itu adalah sikap, maka takdir ini adalah sebuah kondisi pasif. Dilahirkan, dibuang, diabaikan, dikucilkan, dikhianati, dianugerahi, disayang, dicintai, mati dan sebagainya, bukankah itu sebuah takdir? Bentuk pasif dalam hidup yang…memang demikian adanya dan biasanya kita rasakan dan sadari setelah itu terjadi. Dunia, hidup, dan makhluk dihimpun oleh oleh trilyunan takdir-takdir yang menghampar dari ujung timur hingga barat, selatan sampai utara dan semuanya pasif.  Kita tidak bisa mmenganggap itu ada, atau paling tidak merasakannya sebelum benar-benar terjadi. Lalu bagaimana dengan takdir kita di masa depan? Takdir di masa depan bukanlah takdir yang bisa kita ejawantahkan secara riil. Takdir di masa depan itu laiknya sebuah mimpi, cita-cita dan harapan. Semuanya masih ada dalam benak dan angan. Masih berproses menunggu eksekusi dari sang pemimpi, pencita atau pengharap itu.

Setelah hidup itu diwarnai oleh pilihan-pilihan dan takdir, hal yang paling penting dalam hidup ialah “bagaimana selanjutnya?” Apakah semua itu hanya sekedar menjadi pilihan-pilihan sikap tanpa ada tindak lanjut, atau kita menerima begitu saja takdir yang kita peroleh tanpa ada keinginan lain yang lebih baik dan mengeksekusinya? Oleh karena itu, kita butuh sesuatu yang aktif dalam diri kita. Sesuatu yang bisa merealisasikan setiap mimpi, angan, cita, harapan dan apapun itu dengan sikap yang terpilih. Dialah yang disebut dengan “usaha”. Apalah gunanya kita punya karakter sikap yang begitu unggul, punya mimpi dan cita-cita begitu tinggi, tanpa adanya usaha aktif nan giat untuk mewujudkannya? Itu juga yang sering menjadi momok dalam diri manusia.

Sering gue temui teman, sahabat, keluarga, kenalan dan sejenisnya yang mengelukan ini-itu, merasa rendah diri, dikucilkan dalam komunitas, tidak bisa mengembangkan diri dan sebagainya. sebagain besar dari mereka pun adalah orang-orang yang punya pilihan sikap, punya mimpi besar, harapan tinggi. Tapi mereka kurang usaha, kurang sadar dengan apa yang selama ini telah mereka lakukan untuk diri mereka sendiri dan orang lain. Belum mencoba sudah bilang tidak bisa. Belum mencoba sudah takut salah. Belum mencoba sudah khawatir tidak mampu. Ketakutan-ketakutan dan kekhawatiran-kekhawatiran semacam inilah yang justru seringnya membuat kita stress bahkan depresi dan frustasi. Semua itu akan terlihat berbeda jika sebelumnya telah kita coba. Meskipun gagal, tapi kita sudah mampu mengukur kemampuan kita sendiri. Karena ketika kita gagal, bukanlah kita tidak bisa berhasil tapi karena masih ada kelemahan yang harus kita perkokoh untuk membangun fondasi yang lebih kuat. Dengan apa itu semua kita lakukan? Usaha…usaha…dan usaha. Tidak ada orang berhasil dan sukses tanpa usaha dan kesuksesan itu butuh proses.

Di akhir menulis postingan ini, gue merenung: 

Seberapa besar usaha yang udah gue lakuin selama ini ya? Kayaknya mimpi gue banyak, harapan gue juga tinggi, ekspektasi hidup gue juga wow. Tapi kenapa gue begitu santai? Mana yang harus gue pilih? Jalan mana yang paling tepat buat masa depan gue? Apakah gue sanggup melaluinya? Ya, gue pasti bisa… Gue hidup juga bukan sekedar buat diri sendiri. Begitu banyak orang-orang di sekitar. Orang-orang yang gue sayang dan sayang sama gue, bapak, ibu, adek-adek, kakak. Mereka begitu berharga buat gue dan satu hal yang pengen gue kasih sebelum mati nanti adalah bahagiain mereka semua. Gue nggak boleh terus berleha-leha, cuma sekedar merenung dan nulis di blog tapi harus bisa mengambil sikap dan bertindak dengan tepat. Demi mereka, demi diri gue sendiri.

Pondok Mutiara, 19 Mei 2013, 15.19 WIB

No comments:

Post a Comment