Friday, May 17, 2013

Dinner di atas Bintang, Bisa Nggak Yaa?

Night view dari Bukit Bintang, Yogyakarta
gambar: wisata-yogyakarta.com
Dari judulnya, kayaknya fiktif banget ya. Berasa lagi didongengin kisah seribu satu malam atau sejenisnya. Gimana ceritanya dinner di atas bintang? Kalopun bisa , itu pasti mahal banget dan super tak terjangkau. Kalo dinikmati bareng pasangan pastinya bakal jadi momen yang super romantis. Kalo dinikmati sendiri, ya…itu sih derita lo asal jangan niat bunuh diri aja terjun dari atas bintang-bintang meskipun itu ide paling keren juga. Terus makanan seperti apa yang bisa dinikmati di atas bintang-bintang?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu wajar buat yang bukan orang Jogja atau belum pernah ke Jogja atau sudah pernah ke Jogja tapi cuma mainnya di kota-kota aja. Percaya deh sama gue kalo makan malam alias dinner di atas bintang-bintang itu bukan mimpi atau dongeng belaka. Lo dateng ke Jogja dan buktiin omongan gue. Di sana ada sebuah tempat yang diberi nama Bukit Bintang. Wuiih…namanya aja udah keren gitu, gimana aselinya yak? Yuk cuss… Sebelumnya nama Bukit Bintang ini juga pastinya nggak asing buat lo yang pernah main ke Malaysia. Ini adalah nama sebuah distrik di Malaysia yang menyediakan pusat belanja dan hiburan. Nah kalo Bukit Bintang yang mau gue ceritain ini adalah…

Bukit Bintang terletak di Jalan Wonosari kilometer berapa lupa, cari aja di internet, pasti ada. Pokoknya arahnya ya tinggal ngikutin aja Jalan Wonosari itu deh.  Kalo nggak salah tepatnya di daerah Bukit Pathuk, Gunung Kidul. Gue nulis ini tanpa referensi, jadi sebatas pengalaman pribadi gitu jadi subyektivitas tinggi juga wajar ya.

Di siang hari, Bukit Bintang itu hanya berupa jajaran warung, restoran, ada semacam café kalo nggak salah lihat yang berada di tempat tinggi, sekitar 700-900 mdpl. Dari Bukit Bintang ini di siang hari bisa dilihat hiruk pikuk kota Jogja dari ketinggian meskipun cuma seperti bentuk maket kota gitu, miniatur ciptaan Tuhan. Di pagi hari, unsur mistis miniatur kota ini terasa dengan selimut kabut di atasnya. Bikin menggigil sampai merinding pastinya.

Berbeda jika lo dateng menjelang senja sampai malam hari. Lo bakal tau alasan kenapa tempat ini dinamai Bukit Bintang. Rumah-rumah dan gedung perkantoran mulai menyalakan lampunya, lampu-lampu jalan, lampu di menara-menara pemancar, sampai lampu dari etalase toko terlihat berpendar dari atas bukit ini. Lampu-lampu yang begitu banyak itu terlihat seperti gugusan bintang di langit yang gelap. Dan kita berada di atasnya…ya di-a-tas-nya, sekali lagi…di atas bintang. Tidak berlebihan jika kemudian tempat ini diberi nama Bukit Bintang.

Warung-warung, resto dan café di sini menyediakan berbagai menu pilihan untuk dinikmati sendiri, bareng pasangan, gebetan, pacar, mantan gebetan, keluarga, teman-teman dan apapun itu. Harganya juga relatif murah dari makanan dengan harga Rp5000,-Rp15000 hingga beribu-ribu dan minuman dengan harga Rp1500, sampai beribu-ribumaratus rupiah juga ada. Menu-menu penyetan, goreng-gorengan, bakar-bakaran, rebus-rebusan dan banyak deh, ada situ, tinggal pilih aja dan sesuaikan kantong aja. Kalo gue sih, berhubung kantong gue kantong backpacker ya yang murah-murah aja ya, yang penting bisa menikmatinya bareng pasangan, dinner di atas bintang.

Parkir motor bayarnya dua rebu perak, dan buat mobil berapa ya, nggak nanya soalnya, mungkin sekitar lima rebu palingan. Di Bukit Bintang ini kalo malem selalu rame muda-mudi atau rombongan-rombongan yang ingin  menikmati suasana lain dari kota Jogja. Bosen juga kan makan di angkringan, warkop, resto, café yang standar mulu di kota. Makanya makan di atas Bukit Bintang ini jadi pilihannya. Menikmati makan sambil merasakan hawa dingin khas ketinggian dan melihat suasana kerlap-kerlip lampu kota Jogja dari ketinggian laiknya bintang-bintang, priceless rasanya.

Beberapa pengunjung mengeluhkan mengenai tempat parkir yang tersedia di Bukit Bintang. Keadannya memang ya seadanya, lahan yang cukup lapang sampai pelataran warung dan bahu jalan dimanfaatkan sebagai tempat parkir. Di akhir pekan biasanya pengunjung di Bukit Bintang membludak dan lahan parkir tentunya kurang dari segi kuantitas. Namun menurut gue pribadi, pembangunan yang berlebihan termasuk lahan parkir justru akan merusak keasrian dan keaselian Bukit Bintang itu. Pembangunan yang ada sekarang pun termasuk sudah merusak alam. Semakin banyak area Bukit Bintang yang dibeton atau dipaving blok tentu akan mengurangi area resapan air dan mengganggu keseimbangan ekosistem. Baiknya sih seperti itu aja ya, justru gue bisa menikmati pesona Bukit Bintang yang natural dan apa adanya ya dengan serba kekurangan itu. Biasanya yang nggak sabaran dan serakah itu pengembangnya. Pembangunan yang tidak memperhatikan keseimbangan alam akan merusak alam itu sendiri. Biarkan Bukit Bintang tetap menjadi Bukit Bintang yang sekarang ya…

Suatu saat nanti, gue pengen bareng keluarga kecil gue, istri dan anak-anak gue berkunjung ke tempat ini. Apakah masih sama dengan yang saat ini gue nikmati? Biarpun itu mustahil tapi gue masih berharap…dinner di atas bintang di keasrian Bukit Bintang.

No comments:

Post a Comment