Wednesday, November 23, 2011

Fenomena di Sekitar Kita: Ibukota, Begitu Dekat (Perjalanan Kampung Rambutan-Karawang Part II)

Ngepost lagi! Menuangkan ide yang kemarin sempet terputus di Part I karena peralihan topik pembicaraan. Topik pembicaraan yang tentang perjalanan gue dari Kampung Rambutan-Karawang dengan armada bus Agra Mas yang...ehm...cukup mengesankan dan menggelinjangkan (oke ini lebay lagi).

Di Part I yang sebelumnya kemarin kan gue udah nyeritain atau lebih tepatnya memamparkan tentang fenomena angkutan kota di ibukota tercinta ini. Nah sebenernya bukan itu yang mau gue omongin. Tapi ini tentang seseorang, sesosok manusia yang cukup menggetarkan penumpang yang satu bus dengan gue waktu itu. Bukan dilihat penampilannya atau gayanya, yah karena emang penampilannya biasa saja laiknya pengamen jalanan.

Bukan, bukan pengamen. Orang itu mengaku sebagai seniman jalanan, yang tergabung dalam komunitas seniman jalanan asuhan IKJ dan ustad jefri (katanya..) Oke itu gak penting. Yang penting itu tentang materi yang dia omongin, apa yang dia paparkan tentang hakikat orang baik. Bener-bener gak nyangka orang seperti itu bisa mengungkapkan sebuah kasus pada taraf hakikatnya, bukan sekedar mengambang di permukaan tapi langsung mengena. Itu sih untuk orang yang memikirkannya, bukan sekedar masuk kuping kiri keluar kuping kanan.

Apa yang gue tangkep dari ceramahnya selama perjalanan yang memakan hampir satu jam itu terkait tentang ORANG BAIK di negeri ini. Bagaimana dia menjelaskan bahwa hakikat orang baik itu ialah orang yang bisa menyeimbangkan pola sikap BENAR dan SANTUN. Dua hal yang tidak bisa dipisahkan jika seseorang ingin dinilai baik oleh orang lain. Tidak bisa tidak. Jika dua komponen itu berjalan sendiri-sendiri, tidaklah mungkin orang bisa disebut baik seutuhnya.

Contohnya saja, orang benar. Orang yang hanya bertindak dengan mengacu pada benar dan salah saja tetapi pada pelaksanaannya tidak dibarengi dengan sikap santun, itu hanya akan mengurangi bahkan menghilangkan pemahaman masyarakat tentang hakikat kebenaran itu sendiri. Konkretnya, demo akhir-akhir ini yang dibarengi dengan tindakan anarkis. Apa yang para demonstran perjuangkan pada hakikatnya adalah sesuatu yang benar pastinya. Menunut perbaikan, perombakan, peninjauan ulang, pemahaman mendasar, perjuangan hak asasi, dan sebagainya. Tapi ketika dilakukan dengan cara yang tidak santun (baca: kekerasan, tindak anarkis, perusakan dsb), itu justru menurunkan empati dan pemahaman masyarakat tentang kebenaran yang mereka perjuangkan. Masyarakat justru akhirnya mengutuk tindakan anarkis semacam itu karena memang tidak dibenarkan segala sesuatu yang berbau anarkis. Apa yang didapat dari tindakan semacam itu? Sia-sia belaka, apa yang mereka perjuangkan belum tentu terwujud. Justru tindakan mereka menjadi list buruk bagi masyarakat secara umum yang tidak memahami sesuatu secara lebih dewasa dan intelektualis.

Kemudian, orang santun tapi tidak benar. Contoh nayatanya gampang di negeri ini. Para penipu, rentenir, koruptor, mafia-mafia pajak (senayan), dan para gembong-gembong bertangan besi yang merampas hak-hak rakyat kecil di negeri ini. Mereka terlihat santun dan berwibawa di depan dan luarnya. Akantetapi, di belakang dan hatinya, tersimpan niat licik, picik dan menjijikan yang tertanam karena apa yang dia jalankan samasekali tidak ada unsur kebenaran. Memang untuk kasus yang kedua ini, pelaku lebih mudah berlenggang di lingkungan masyarakat karena jabatan dan kekuasaan yang biasanya mereka punyai. Malunya jadi bangsa Indonesia ketika kita mencermati kasus-kasus semacam itu. Bagaimana mereka seolah-olah tega dan memang sudah terjadi, memakan daging darah saudara sendiri.

Ironi yang terjadi di negeri ini. Untuk kita generasi muda sudah selayaknya untuk memulai sesuatu yang baru. Menanamkan pemahaman kebaikan dengan dua komponen utama yang harus dijalani. Jangan sampai ada ketimpangan atas salah satunya.

Catatan penting! Jangan pernah melihat orang dari luarnya saja. Ketika kita melihat pengemis, pengamen jalanan yang menurut kita mungkin kurang beradab dan sejenisnya, kadang dari mereka justru kita mendapat pelajaran moral yang selama ini jarang atau tidak pernah kita dapat dalam lembaga pendidikan formal. Belajarlah dari pengalaman untuk generasi Indonesia yang lebih baik!

*Agra Mas, Kampung Rambutan-Karawang 12 November 2011


No comments:

Post a Comment