Monday, June 18, 2012

M[alay]sia, Negeri Absurd yang Patut Dikasihani



Trending topic twitter sejak semalam (17/6)
News hari ini (18/6) seputar politik-budaya sedikit memanas. Bukan soal korupsi seperti makanan sehari-hari masyarakat Indonesia lewat media massa tapi justru hal yang mengusik jati diri bangsa ini. Ya, untuk ke sekian kalinya Malaysia mengklaim kebudayaan asli Indonesia. Kali ini tari Tor-Tor dan alat musik Gondang Sambilan yang merupakan khasanah bangsa Indonesia dari tanah Batak, Sumatera Utara.


Media massa berkoar, makanan empuk rating berita hari ini seputar klaim Malaysia. Masyarakat pun mengutarakan pendapatnya lewat berbagai media dan jejaring sosial. Sejak semalam trending topic twitter diisi oleh sejumlah statement orang Indonesia. Dear Malaysia, Tor Tor, #TorTorPunyaIndonesia mengisi trending topic twitter bahkan sampai tadi pagi ternyata masih juga bertengger di sana.

Wajar memang ketika apa yang kita miliki diklaim (diakui milik) oleh pihak lain. Pasti kita akan berjuang dengan menggebu-gebu bahwa itu memang milik kita. Bukan demikian, saudaraku? Kita, orang Indonesia memang cenderung suka heboh, sensitif dan kagetan. Ketika ada hal yang mengusik pribadi atau jatidiri, pasti akan langsung menjadi hal ‘panas’. 


Klaim Malaysia ini sudah yang ke-23 kalinya terhadap budaya kita. Setelah Reog, Angklung, Kain Ulos, Motif Batik Parang, lagu Jali-Jali, Tari Pendet, lagu Rasa Sayange, dan sebagainya, kini giliran budaya Batak, Tari Tor-Tor dan alat musik Gondang Sambilan. Kita patut bertanya, apa sebenarnya yang terjadi? Sebelum mengoreksi orang lain kan alangkah baiknya kita introspeksi ke dalam diri kita sendiri. 


Jika kita bercermin pada kasus-kasus klaim negeri tetangga ini sebelumnya, sepertinya memang ada yang salah dengan kita, orang Indonesia. Indonesia, negeri dengan berjuta pesona khasanah budaya dan surganya kesenian-kesenian yang sangat eksotis di mata dunia. Tapi dengan kekayaan budaya itu, rasa memiliki dan mencintai kita masih kurang. Apalagi di tengah arus globalisasi dan cenderung mulai kebarat-baratan, dewasa ini tidak sedikit generasi muda Indonesia yang enggan mencintai, menghargai apalagi sampai mempelajari budaya daerah. Jika sikap itu tidak muncul, bagaimana budaya daerah bisa tetap lestari di tengah gerusan jaman? 


Sebelum ada klaim Malaysia terhadap budaya kita, semisal tari Tor-Tor atau alat musik Gondang Sambilan, memang kita pernah tahu atau ingin tahu tentang produk budaya itu? Pernahkah kita sadar jika alat musik yang bernama Gondang Sambilan itu ada? Kebanyakan dari kita, khususnya generasi muda, akan menjawab “sejujurnya saya juga baru tahu sekarang”. 


Begitulah keadaannya, kita berkoar-koar ketika budaya kita diklaim negara lain tapi tak pernah peduli keberadaannya apalagi sampai pada tahap melestarikannya. Mungkin ini lebih baik daripada tidak pernah tahu sama sekali akan adanya budaya yang diklaim itu. Sedikit banyak, orang Indonesia juga harus berterimakasih pada m[alay]sia, karena adanya klaim ini masyarakat Indonesia sadar bahwa ternyata masih memiliki tarian yang bernama Tor-Tor dan alat musik yang bernama Gendang Sembilan. Cukup ironis memang tapi memang sepantasnya kita mulai peduli dengan apa yang memang menjadi milik dan hak kita, orang Indonesia.


Terkait dengan klaim ini, kita juga patut kasihan dengan Malaysia. Negeri yang miskin jatidiri dan sedang berusaha mencarinya. Mereka mengaku etnis melayu tapi tak ada unsur budaya milik mereka yang menjadi identitas. Mereka juga negeri yang too ambitious tapi terlalu naif juga dengan jargonnya, Malaysia Truly Asia, ingin menjadi negara yang merupakan miniatur asia dalam artian semua unsur asia ada di Malaysia. Bagaimana mungkin suatu negara yang tak beridentitas jelas seperti ini bisa menginjak-injak harga diri bangsa Indonesia. Kita cukup tertawa saja melihat klaim yang Malaysia lakukan pada budaya-budaya kita.


Mereka hanya bisa memproduksi dan mempelajari tapi jiwa dari kesenian dan budaya tersebut hanya kita (orang Indonesia) yang memilikinya. Hakikat sebuah budaya adalah bisa hidup ketika ada jiwa (soul) di dalamnya. Kitalah yang memberi jiwa pada setiap produk budaya yang dihasilkan, Malaysia tak akan pernah bisa.


Akantetapi ini bukan pembenaran juga bahwa kita abai terhadap apa yang kita miliki. Kita tidak boleh lengah. Momentum ini, kita khususnya generasi muda yang visioner harus bisa merekonstruksi pemikiran kita. Harus mau belajar, memahami, peduli dan tanggap pada budaya daerah kita, minimal budaya daerah masing-masing. 


Khasanah bangsa ini, harga mati, harus kita lestarikan sekuat tenaga. Ada banyak cara untuk mengembalikan eksistensi budaya daerah yang maujud menjadi khasanah kebudayaan nasional ini. Bisa dengan mulai belajar seni-seni tradisional, menggelar event-event budaya daerah, menghidupkan kembali pusat-pusat kajian budaya daerah, dan bukan tidak mungkin kita mengajukan hak paten tentang khasanah budaya kita. Pada intinya, kembali pada sikap, menjaga dan melestarikan apa yang memang menjadi hak milik kita. Sederhananya demikian.

Jika bukan kita, siapa lagi? Sekarang atau menyesal selamanya!
Tari Tor-Tor, sumber: tobaphotographer.com

Alat musik Gordang Sambilan, sumber: 4.bp.blogspot.com

No comments:

Post a Comment