Kartini-Kartini tanah air | Sumber gambar: swargaloka.com |
Ibu kita Kartini, putri sejati
putri Indonesia, harum namanya
Petikan lagu Ibu Kita Kartini karya Ismail Marzuki tersebut masih sering kita dengar dijadikan sebagai bahan lawakan atau guyonan yang gape (gapenting boo). Ada dialog lawakan yang (mungkin) gak lucu dimata sebagian orang;
A: ”Lo tau siapa nama putri Indonesia?”,
B: “Nadine Chandrawinata, Agni Pratistha Arkadevi, Qori Sandioriva, dkk”,
A: “Salah, absolutely wrong!”
B: “Terus siapa coba?”
A: “Jawabannya; Harum!!”
B: “???Loh kok!”
A: “Lo inget gak lagu Ibu Kita Kartini?”
B: “Kagak....”
A: (gubrakk...) “Tolol lu ah! Yang gini nih... (nyanyi)
Ibu kita Kartini, putri sejati
putri Indonesia, Harum namanya
A: “Nah, ketauan kan siapa nama putri Indonesia?”
B: “???????????”
Abaikan dialog gape itu, yang ingin saya sampaikan disini adalah bahwa tidak semua orang memiliki selera humor yang sama. Begitu pula dengan saya, apalagi untuk urusan nama orang, selera humor saya begitu minim. Terlebih lagi guyonan tentang Ibu Kita Kartini ini. Oke, intermezo aja ini, kembali ke topik. Apakah esensi Hari Kartini itu penting bagi seorang Kartono?
Kita jangan dulu memandang terlalu luas atau terlalu jauh dulu untuk memahami esensi Hari Kartini ini. Mulailah dari lingkup bangsa sendiri, lingkungan masyarakat, komunitas sosial, keluarga dan teman sepermainan pun bisa jadi. Saya ingin memberi PR untuk diri saya sendiri khususnya dan untuk temen-temen yang (mau) mampir di blog saya ini. PR-nya gak susah dong. Jaman ngasih PR susyah? Haha, so santai aja jangan buru-buru mengkeret dengen istilah PR/take home dan sejenisnya. Jadi gini, untuk perenungan kita tentang apakah sebagai Kartono (re: laki-laki) kita juga perlu memaknai esensi Hari Kartini, saya mengemukakan beberapa pertanyaan;
putri Indonesia, harum namanya
Petikan lagu Ibu Kita Kartini karya Ismail Marzuki tersebut masih sering kita dengar dijadikan sebagai bahan lawakan atau guyonan yang gape (gapenting boo). Ada dialog lawakan yang (mungkin) gak lucu dimata sebagian orang;
A: ”Lo tau siapa nama putri Indonesia?”,
B: “Nadine Chandrawinata, Agni Pratistha Arkadevi, Qori Sandioriva, dkk”,
A: “Salah, absolutely wrong!”
B: “Terus siapa coba?”
A: “Jawabannya; Harum!!”
B: “???Loh kok!”
A: “Lo inget gak lagu Ibu Kita Kartini?”
B: “Kagak....”
A: (gubrakk...) “Tolol lu ah! Yang gini nih... (nyanyi)
Ibu kita Kartini, putri sejati
putri Indonesia, Harum namanya
A: “Nah, ketauan kan siapa nama putri Indonesia?”
B: “???????????”
Abaikan dialog gape itu, yang ingin saya sampaikan disini adalah bahwa tidak semua orang memiliki selera humor yang sama. Begitu pula dengan saya, apalagi untuk urusan nama orang, selera humor saya begitu minim. Terlebih lagi guyonan tentang Ibu Kita Kartini ini. Oke, intermezo aja ini, kembali ke topik. Apakah esensi Hari Kartini itu penting bagi seorang Kartono?
Kita jangan dulu memandang terlalu luas atau terlalu jauh dulu untuk memahami esensi Hari Kartini ini. Mulailah dari lingkup bangsa sendiri, lingkungan masyarakat, komunitas sosial, keluarga dan teman sepermainan pun bisa jadi. Saya ingin memberi PR untuk diri saya sendiri khususnya dan untuk temen-temen yang (mau) mampir di blog saya ini. PR-nya gak susah dong. Jaman ngasih PR susyah? Haha, so santai aja jangan buru-buru mengkeret dengen istilah PR/take home dan sejenisnya. Jadi gini, untuk perenungan kita tentang apakah sebagai Kartono (re: laki-laki) kita juga perlu memaknai esensi Hari Kartini, saya mengemukakan beberapa pertanyaan;
- Apakah saya sudah bisa memandang perempuan setara dengan laki-laki?
- Ketika dalam dunia kerja, apakah saya memandang rekan kerja perempuan sebagai partner yang bisa diandalkan ataukah sebagai pelengkap saja?
- Di lingkungan sekitar rumah, masih ada gak perempuan-perempuan yang merasa diperlakukan tidak adil? Apa peran kita?
- Apakah media kita (cetak/elektronik) saat ini masih menjadikan perempuan sebagai objek dalam iklan sebagai penarik minat pelanggan?
- Bagaimana dengan kursi parlemen kita, apakah suara perempuan didengar sebagai pendapat yang potensial ataukah hanya parlemen menaruh wanita hanya sebagai wujud penghargaan?
- Apakah perempuan sudah benar-benar bisa mandiri dalam hidupnya, dari kacamata laki-laki?
- Apakah sebagai laki-laki, saya sudah bisa menerima sepenuhnya bahwa perempuan memang bisa mandiri?
- Apakah profesi yang dijalani oleh seorang laki-laki bisa sepenuhnya ditangani oleh perempuan?
- Kemudian apakah kalian pernah mengatakan kepada pasangan, pacar, gebetan (dalam hal ini perempuan) bahwa Anda akan bisa melindunginya? Bagaimana tanggapan Anda? Bukankah dengan itu Anda menganggap perempuan itu makhluk yang lemah sehingga harus Anda lindungi atau, what?
- Apakah saya sudah bisa menghargai perempuan sepenuhnya? Apa tanggapan Anda dengan pertanyaan ini?
Intinya, baik laki-laki dan perempuan memang harus salin berkordinasi dalam menjalankan misi hidup sebagai manusia. Kita tidak mungkin hidup sendiri tanpa peran kedua, ketiga dan selanjutnya. Bukan hanya di Hari Kartini saja, kita menggembar-gemborkan emansipasi dan kesetaraan gender serta penghargaan pada perempuan. Setiap detik, menit, hari, dan setiap saat kita hidup harus saling menghargai dan menghormati hak-hak sesama. Jangan pernah lagi ada yang namanya diskriminasi, apalagi atas nama gender. Itu adalah hal yang cukup dan sangat-sangat kamseupay, kata anak gaul sekarang.
Mari para Kartono tanah air, pandanglah Sang Kartini tidak hanya dengan kedua matamu, tapi juga dengan mata hatimu! Apapun makna kata-kata ini, semoga itu baik.
Salam untuk Srikandi-Srikandi Indonesia, Kartini Masa Kini dan Masa Depan bangsa!
Depok, 21 April 2012 (katanya temen, hari ini Hari Kartini)
^_^
ReplyDelete