Pernah liat ginian di atas laut? |
Petualangan kami kali ini sangat mendebarkan. Bukan lebay
tapi emang begitu kok. Aku bareng
partner agenku, seperti biasa kalau bertemu pasti selalu merencanakan pergi
bertualang kemanapun angin meniupkan isyaratnya. Tujuannya (lagi-lagi) pantai
di selatan Jogja.
“Pokoknya kita samperin pantai yang kamu belum pernah aja, gimana?” kata si Ciwul di awal perjalanan.
Setelah dua jam perjalanan menyusuri kelak-kelok naik-turunnya jalanan sepanjang Wonosari-Gunung Kidul, tiba-tiba si Ciwul nyeletuk,”Pantai Timang! Dari gambarnya keren…” Awalnya aku sudah terlanjur penasaran dengan kata “timang” itu tapi karena sudah terlanjur menuju ke arah Pantai Siung, ya sudahlah samperin dulu lah pantai satu itu meskipun udah pernah sih sebelumnya. Sebelumnya kami sudah mampir dulu juga ke Pantai Pok Tunggal yang menurut agen satu, suasananya udah jauh beda sama terakhir kali dia dateng ke pantai ini. “Sudah terlalu rame…”, katanya. Alhasil, kita cuma sebentar mampir di pantai satu ini.
Balik lagi ke topik sebelumnya, di pos pintu masuk Pantai Siung, aku sempat bertanya ke petugas yang jaga,”Pak, kalau Pantai Timang itu sebelah mana ya?”
“Oh Pantai Timang, Mas. Dari pertigaan yang di depan itu nanti belok kiri, terus ada jalanan cor setapak, masuk aja. Jalanannya lewat dusun gitu, sekitar 3 kilo,” kata bapak penjaga pos.
“Belum ada plangnya ya, Pak?”
“Memang belum saya kasih plang sih, Mas.”
“Oh begitu, terima kasih, Pak.”
“Pokoknya kita samperin pantai yang kamu belum pernah aja, gimana?” kata si Ciwul di awal perjalanan.
“Oke, nanti siapa tau nemuin pantai baru…” aku mengiyakan
dengan cara itu.
Perjalanan dimulai pukul 06.00 WIB dengan motor seksi punya si agen satu itu. Kami belum
punya firasat apapun soal pemilihan motor seksi ini buat tunggangan di misi
kali ini. Pertimbangannya sih cuma biar nggak capek aja karena pake matic yang tinggal muter gas sama
mantengin rem bisa jalan. Wuuuush…meluncur ke arah Gunung Kidul lewat jalan
Wonosari.
Setelah dua jam perjalanan menyusuri kelak-kelok naik-turunnya jalanan sepanjang Wonosari-Gunung Kidul, tiba-tiba si Ciwul nyeletuk,”Pantai Timang! Dari gambarnya keren…” Awalnya aku sudah terlanjur penasaran dengan kata “timang” itu tapi karena sudah terlanjur menuju ke arah Pantai Siung, ya sudahlah samperin dulu lah pantai satu itu meskipun udah pernah sih sebelumnya. Sebelumnya kami sudah mampir dulu juga ke Pantai Pok Tunggal yang menurut agen satu, suasananya udah jauh beda sama terakhir kali dia dateng ke pantai ini. “Sudah terlalu rame…”, katanya. Alhasil, kita cuma sebentar mampir di pantai satu ini.
Balik lagi ke topik sebelumnya, di pos pintu masuk Pantai Siung, aku sempat bertanya ke petugas yang jaga,”Pak, kalau Pantai Timang itu sebelah mana ya?”
“Oh Pantai Timang, Mas. Dari pertigaan yang di depan itu nanti belok kiri, terus ada jalanan cor setapak, masuk aja. Jalanannya lewat dusun gitu, sekitar 3 kilo,” kata bapak penjaga pos.
“Belum ada plangnya ya, Pak?”
“Memang belum saya kasih plang sih, Mas.”
“Oh begitu, terima kasih, Pak.”
Setengah mati nyari fotonya... |
Lanjut aja ya, dari Siung ini kami bergegas ingin menuju
Pantai Timang yang sudah telanjur bikin penasaran. Berbekal petunjuk dari bapak
di pos penjaga tadi, kami berhasil menemukan jalan cor setapak yang dimaksud.
Awalnya kami berpikir wah ini sih jalanannya enak kalau begini sampai
pantainya, 3 kilometer nggak akan berasa jauh.
“Ini cuma kamuflase, liat aja nanti pasti jalanannya bakal
ekstrim,” kata Ciwul.
Dan sepertinya kata “kamuflase” itu jadi word of the day banget hari itu soalnya
terbukti setelah sekitar 500an meter menempuh jalanan cor setapak yang tidak bisa dibilang mulus juga, jalanan
mulai berubah menjadi batu-batu yang hanya ditata seadanya.
“Gludakkk! Jeglukkk! Klotaakkk! Prakkk!” Bunyi lebay bagian
bawah motor seksi kami beradu dengan bebatuan. Kami mulai berpikir kalau
ternyata salah bawa motor matic buat
melewati jalanan macam ini, naik-turun dengan trek yang super nggak karuan
berbatunya. “Bisa semplak nih motor lama-lama,”pikirku. Tapi apa boleh buat,
perjalanan harus terus berlanjut. Ini
bener-bener blusukan yang sesungguhnya blusukan.
Sekitar setengah jam trek yang harus dilalui “yang katanya
cuma berjarak 3 kilometer ini”. Sesampai di “yang katanya Pantai Timang ini”,
yang terlihat cuma ujung dari jalan setapak tadi dan sebuah gubuk kecil yang
ternyata dipakai untuk parkir. Palingan hanya bisa memuat 5 motor saja. Di sana
ternyata kami tidak sendiri karena ada sekelompok anak muda yang juga sedang
berblusukan ria, sepertinya mereka mau photo
hunting gitu.
Dari gubuk parkir ini terlihat sebuah pantai kecil berbentuk
setengah lingkaran yang dikelilingi bukit batu. Menurutku sih pasirnya warnanya
pink gitu, tapi kata partnerku tercinta, bukan. Apapun itu, pokoknya warnanya
memesona gitu deh, dan suasanya bener-bener bikin pengen langsung turun ke
sana, gegulingan di pasir dan main air sepuasnya.
Ketika kami akan menuju ke pantai yang letaknya agak ke
bawah dari gubuk tadi, ada seorang bapak yang sedang mencangkul di area bukit
di bagian atas gubuk. Kami pun bertanya…
“Permisi, Pak kalau di bagian atas itu ada apa ya?”
“Di sana ada kereta gantung. Bagus, Mas. Coba aja ke sana,
nanti rugi kalo nggak kesana loh. Kereta gantungnya buat ke pulau kecil di
seberang.”
“Hah? Kereta gantung, Pak? Beneran?”
“Bener, Mas. Coba saja ke atas.”
“Itu keretanya buat apa, Pak?”
“Buat ke pulau di seberang, buat ngambilin lobster di sana.”
Setelah percakapan itu, kami memutar haluan ke bagian atas
yang ditunjukkan bapak itu kea rah lokasi kereta gantung itu berada. Kami
berdua penasaran, benarkan yang dikaatakan bapak itu tadi. Kereta gantung di
atas laut? Seperti apa penampakannya? Kami harus membuktikannya. Berjalan terus
menyusuri punggung bukit di sebelah atas gubuk tadi, nggak nyampe 10 menit sampailah
kami di jajaran pepohonan pandan laut yang memagari tebing pantai. Di bagian
tengah jajaran pandan laut itu ada lorong untuk semakin mendekat ke arah
tebing. Kami masuk lewat lorong itu dan….taraaaaaaaa… di sanalah tergantung
sebuah kereta gantung dari katrol plus kayu
yang disusun sedemikian rupa dan digantungkan diatas tali tambang biru yang
terbentang sampai ke pulau kecil di seberang sana.
Mau nyebrang pake ini mesti rogoh kocek 1,2 juta meeen... |
Karena terpesona dengan suasana di atas tebing ini, kami
hampir lupa dengan pantai di bawah sana yang tadi jadi tujuan awal. Selanjutnya,
kami menuju ke pantai yang menjadi tujuan awal kami tadi itu. Di bagian bawah
sana, masih terlihat alunan ombak yang mengiringi perjalanan kami. Sampai di
pasir pantai, kaki rasanya pengen cepet-cepet melepaskan alas dan segera
berlari mengitari pantai yang memang berukuran kecil tapi sangat eksotis ini.
Pasir pantainya bertekstur kasar dan angin di pantai ini
cukup kencang. Bibir pantainya dihiasi oleh karang-karang yang menjadi
penghalang ombak sehingga air di bibir pantainya cukup tenang. Bisa banget buat
mainan air…
Pasir Pantai Timang yang aduhai... |
Bebas main air sepuasnya, berdua... |
Pantai Timang ini memang sangat epic dan kami sangat
berharap agar nasibnya nggak kayak pantai-pantai lain di selatan Jogja yang
setelah masuknya modal-modal swasta/pemerintah, akhirnya hilang kealamiahannya.
Sangat disayangkan jika hal itu terjadi dan jika memang benar pantai ini milik
pribadi, semoga Pak Adi itu tidak terpengaruh oleh “apapun itu namanya” yang
bakal merusak kealamiahan Pantai Timang ini. Jangan sampai ya, Pak. Kalau
sampai rusak oleh tangan-tangan rakus tak bertanggung jawab, bakal bener-bener
bikin jantungan pastinya. Biarkan pantai ini seperti ini saja, eksotis, alami,
epic, terapis dan bikin jantungan dengan
sejuta pesonanya sebagai hidden paradise-nya
Jogja. Oh iya, kami lupa belum mencari
tau makna dan asal-usul nama Pantai Timang ini. Next Agentventure yaaa…bakal kita cari tau sampe dalem-dalemnya.
Kami janji bakal ke sini lagi…
Biarkan pantai ini tetep lestari dengan kealamiannya ya... |
No comments:
Post a Comment