Thursday, April 11, 2013

Eksistensialisme Marcel dalam Libri di Luca: Bukan Resensi

Libri di Luca
Ada sekelompok orang yang menamakan dirinya Lector. Mereka adalah orang-orang dengan kemampuan luar biasa. Orang-orang yang mampu memengaruhi orang lain lewat sebuah bahan bacaan yang dibacakannya. Memengaruhi orang tanpa mereka sadari. Memengaruhi pandangan mereka pada tulisan, tema atau hal lainnya. Bahkan bisa mengubah pendapat seseorang tentang sebuah masalah, semau mereka. Apakah ini kemampuan, bakat atau bencana yang bisa merugikan orang lain?

Diawali dengan kematian seorang pemilik toko buku terkenal di distrik Vesterbro, Kopenhagen, perjalanan kisah ini bermula. Libri di Luca, nama toko buku tersebut. Toko buku legendaris milik keluarga pecinta buku, Campelli. Luca Campelli adalah generasi kesekian yang mewarisi harta berharga tersebut sebelum akhirnya meninggal di toko buku miliknya karena—menurut banyak pendapat—terkena serangan jantung. Dia juga seorang Lector. Sepeninggalnya, kepemilikan Libri di Luca kemudian jatuh ke anak Luca satu-satunya yang berprofesi sebagai pengacara, Jon Campelli.

Jon, yang awalnya tidak sadar bahwa dirinya adalah seorang Lector dan menolak untuk mengelola Libri di Luca, menuntut  keabsahan kemampuan seorang Lector dari rekanan ayahnya di sana yaitu Iversen. Iversen yang juga seorang Lector dengan dibantu Katherina akhirnya berhasil meyakinkan Jon bahwa dirinya memang memiliki kemampuan luar biasa itu. Jon pun akhirnya tahu bahwa Libri di Luca adalah markas sebuah Perkumpulan Pencinta Buku yang anggotanya adalah para Lector.

Perjalanan Jon terus berlanjut, diwarnai dengan kisah asmaranya dengan seorang gadis pengidap dyslexia yang juga Lector, Katherina. Kematian demi kematian terus berlanjut dan kecurigaan adanya campur tangan Organisasi Bayangan yang muncul dari masa lalu kembali menyeruak. Puncaknya ialah setelah kematian pemimpin Lector dari kubu penerima, Kortmaan. Dia yang tadinya menjadi suspect adanya campur tangan Organisasi Bayangan ternyata justru tewas tergantung di menara rumahnya. Tidak lama berselang, rumahnya pun turut terbakar bersama ribuan koleksi buku berharganya.

Dugaan adanya mata-mata dari Perkumpulan Pencinta Buku, keterlibatan seorang pebisnis terkemuka di Kopenhagen, hingga perpustakaan legendaris di Mesir, Bibliotheca Alexandria mewarnai alur kisah cerita ini. Mikkel Birkegaard, sang penulis novel, mampu menyajikan kisah tentang dunia literasi yang dibumbui dengan misteri, dan teori konspirasi suatu sekte legendaris. Dia mampu membawa pembaca menyelami setiap detail kisahnya tanpa keinginan untuk berhenti sebelum selesai.

Saya tertarik dengan kisah ini, banyak sisi filsafat dan pengetahuan disajikan. Digambarkan di sana, Kafka yang muncul di kematian Lee, seorang Lector yang diduga bunuh diri di flatnya. Kafka muncul bukan dalam bentuk manusia tapi karyanya, bukunya. Kafka bisa dibaca dalam banyak cara. Beberapa orang membaca bukunya karena menilainya sebagai sebuah sindiran terhadap masyarakat. Kita tidak usah berusaha keras untuk menemukan ketidakberdayaan di tulisan Kafka dan bila tempatnya sesuai maka tidak terlalu sulit untuk merasa depresi. Jadi, Kafka turut berperan serta dalam mati-bunuh-diri-nya Lee dalam kisah ini, secara teori.

Di tengah genre romantic, teenlit dan sejenisnya, buku yang sudah cukup lama beredar ini (versi bahasa terbit tahun 2009) menyajikan genre dan tema yang otentik. Dunia baca, komunitas membaca, kemampuan membaca, perpustakaan dijadikan latar utama. Selain itu, filsafat menjadi substansi yang tidak bisa dilepaskan dari kisah ini. Mengambil dari eksistensialisme Gabriel Marcel, khususnya eksistensi orang yang sudah mati digambarkan jelas di sini. Keterkaitan having-being ayah anak, Luca Campelli dan Jon Campelli menunjukkan tentang bagaimana cara Jon memandang Luca yang telah meninggal tersebut.
Jon tidak hanya sekedar menerima Luca bahwa dia telah meninggal begitu saja (having). Namun dia masih bisa merasakan eksistensi Luca dalam dirinya. Dia selalu hadir di tengah-tengah kehidupannya, dalam bentuk kekuatan, bagaimana dia mengambil keputusan dan bertindak. Jon yang sudah hampir 20 tahun tidak pernah bertemu dengan Luca Campelli, ayahnya, ternyata setelah kematiannya justru merasa semakin dekat dan mulai mengetahui alasan mengapa selama 20 tahun tersebut Luca tak pernah mau menemuinya dan berlaku laiknya ayah yang jahat. Itu tidak lain karena ingin melindungi Jon dari konspirasi Organisasi Bayangan yang akan membahayakan keselamatan bahkan nyawa anaknya.
Nilai filsafat eksistensialisme Marcel yang muncul mulai dari having-being, uniting, hingga tentang creative fidelity dan hope. Apabila seseorang mampu memandang orang lain sebagai being dalam artian melihat eksistensinya secara keseluruhan, meskipun orang tersebut sudah tiada, being orang itu masih akan selalu hadir dalam diri orang yang masih hidup. Juga, adanya sesuatu ikatan antara orang itu (yang telah mati) dengan orang lain yang membuatnya menyatu (unite) maka kematian bukanlah sesuatu masalah bagi orang yang masih hidup dan menjadikan kematian itu sebagai suatu misteri. Misteri itulah yang kemudian diselami oleh orang yang masih hidup sehingga mampu mereduksi perbedaan dimensi yang ada.
Kemudian, eksistensi orang yang telah mati tersebut juga akan tetap hadir karena adanya creative fidelity (kesetiaan). Kesetiaan ini adalah tentang orang yang masih hidup dengan yang sudah mati meskipun banyak pertentangan di dunia eksternal. Di kisah Libri di Luca ini jelas digambarkan bagaimana awalnya (20 tahun silam) Jon merasa tidak dianggap anak oleh ayahnya sendiri, diperlakukan semena-mena hingga diabaikan oleh Luca, hingga saat kematian Luca dia hadir dan mengetahui rahasia dibalik setiap perlakuan ayahnya terhadap dirinya itu. Dari pengetahuan itu, kembali muncul harapan (hope) dalam diri Jon. Harapan tersebut terus tumbuh dalam diri Jon untuk selalu  setia pada ayahnya dan berusaha untuk menguak apa yang telah dimulai oleh Luca yaitu membuka rahasia konspirasi Organisasi Bayangan.
Libri di Luca adalah sebuah novel serius yang menghibur. Mulai dari genrenya, temanya, karakternya, latarnya, hingga setiap detail masalah yang dihadirkan serasa mengundang kita untuk masuk di dalam dunia Libri di Luca itu. Kemampuan memengaruhi pembaca lewat bahan bacaan itu sepertinya benar-benar ada dan dimiliki oleh Mikkel Birkegaard dalam menulis novel ini. Dunia membaca, perpustakaan dan literatur memang tak ada habisnya untuk dieksplor, tinggal bagaimana kita melihat peluang itu dan memanfaatkannya dengan semaksimal mungkin.

No comments:

Post a Comment