Sumber: wallpaperswala.com |
Merasa lemah bagi manusia ialah sesuatu yang wajar bagi makhluk angkuh laiknya manusia. Lemah tak kenal
gender. Lemah tak pandang usia. Lemah tak peduli jabatan. Lemah tak perlu
batasan terestrial. Everybody’s going to be weak whenever they want to. Mmm I’m
sorry, it should be weird but yea, whenever they will, it will... Seseorang bisa merasa
lemah atau sekedar lemah biasa atau memang benar-benar dia orang lemah. That’s
no prob, guys. Any difference? It’s all about W E A K.
Suatu ketika, di sebuah bilik sempit di tepi rel kereta,
seorang pria bersenandung dengan diiringi alunan cello gitarnya. Dari bibirnya
yang kering terlantun irama-irama In My Life-nya The Beatles. Nadanya tak
begitu jelas dan artikulasinya juga begitu payah. Dia hanya tampak seperti
bergumam alih-alih bernyanyi. Satu-satunya hal yang membuatnya terdengar
melantunkan In My Life itu adalah dentingan gitarnya yang mantap. Dia
memainkannya dengan hati. Entahlah, aku tiba-tiba bisa merasakan apa yang pria
itu rasakan. Dia sedang mengutarakan rindunya. Lewat dentingan senar akustik,
dia mencoba mengirimkan ungkapan-ungkapan rindunya entah pada siapa, atau apa.
Beberapa saat, pria itu beringsut dari duduknya. Dia
menuang air dari veldples-nya ke sebuah
cangkir yang terlihat sudah usang. Dua hal yang kontradiktif jika dilihat.
Mungkin dia merasakan bibirnya yang kering. Tenggorokannya gatal karena
sesekali dia terbatuk dan berdehem keras. Aku masih beberapa saat memerhatikan
gerakan pria itu dari jendela kamarku yang berseberangan dengan biliknya itu.
Cahaya redup sesekali membuat gerakan-gerakan tak tentu dari dalam bilik itu.
Aku masih mendengar denting gitarnya.
Semakin lama yang terlihat hanyalah sebuah siluet hitam
pekat. Jelaga membumbung tinggi dan beringsut menuju sebuah ruang sempit tak
berpintu, beratap dan berjendela. Tak bisa dibedakan antara dinding dan lantai.
Ruang itu hanya berbentuk kubus dan semua sisinya sama. Hitam pekat. Pengap.
Aku benci ruang sempit.
Sesak tiba-tiba menyerang. Jantung seperti enggan memompa
darah dan sepertinya memang ada kekuatan yang membuatnya berhenti melakukannya.
Paru-paru terasa kosong, tak ada oksigen yang seharusnya membuatnya bekerja.
Aku ada dimana? Leher terasa semakin tercekat seperti ada ribuan tangan hitam
yang mencekik. Keringat mengucur semakin deras di sekujur badan. Mata hanya
bisa melihat kegelapan. Hidung pun seperti mencium aroma kehampaan. Ada di mana
sebenarnya aku ini?
Beberapa saat berlalu, keadaan masih sama. Penjara ruang
sempit semakin nyata. Aku lemah. Kegelapan menerpa sekujur tubuh telanjang ini.
Tak kuasa rasanya menahan setiap inci bagian tubuh digerayangi oleh kepekatan
tanpa sinar. Pengap, sesak, hitam dan kelam menggelayuti relung abu-abu dalam
diri.
Sesekali kulirik jendela kamarku, masih samar terlihat
siluet hitam di dinding tirai bilik seberang itu. Denting gitarnya mengalun
perlahan, menyayat. Entahlah yang kurasa hanya kosong, hampa tak bertuan. Biarkan
sesekali merasakannya, hina dan mengurung diri. Mungkin ini yang terbaik karena
ujian manusia ketika dihadapkan pada titik lemahnya adalah seberat-beratnya
ujian. Ketika dia mampu melewati ujian itu, sesungguhnya dia adalah manusia
baru, superman, yang telah mampu menaklukan dirinya sendiri. Nafsu, gairah,
hasrat dan kepicikan semua melebur dalam sebuah kedurjanaan dan kefanaan dunia.
Biarlah kegelapan menerpa dengan angkuhnya. Hanya satu yang kuyakini, satu
titik putih dalam ruang hitam pekat akan jelas terlihat, dan ke sanalah aku
menuju.
Pukul 02.13 WIB, Bilik pengap, 22 Maret 2013
Aku yakin kalian tak ingin mengalaminya.
No comments:
Post a Comment