Menanti sunrise di Sunda Kelapa |
Berawal dari
obrolan ringan di kosan, gue bareng lima temen berniat melakukan trip yang beda dari biasanya
kebanyakan orang menikmati Jakarta. Jakarta
Night Trip, kami menyebutnya. Menikmati Jakarta di siang hari mungkin sudah
terlalu biasa bagi gue yang punya derajat kepenasaran terlalu over dan suka
hal-hal baru yang ekstrim. Jakarta harus gue eksplor dengan cara yang lain dari
biasanya. JNT ini juga terinspirasi dari beberapa artikel di internet yang
membahas beberapa tempat di Jakarta yang menarik untuk dinikmati di malam hari.
Berangkat dari kosan di Jagakarsa pukul 23.00 WIB, dengan sepeda motor kami menuju destinasi pertama kami yaitu Monas, sekalian sebagai meeting point dengan seorang rekan yang sudah menunggu di sana. GPS menjadi penunjuk jalan kami dan gue tekankan buat lo semua: jangan percaya seratus persen pada GPS atau paling nggak, pastikan orang yang membaca GPS itu bener-bener bisa membacanya dan sigap! Kecuali lo pengen meskipun udah pake GPS tapi tetep aja salah jalan dan atau yang seharusnya belok tapi si pembaca GPS bilang beloknya setelah ngelewatin belokannya. Nggak guna kan? (ya tetep guna sih…hahaha)
Sedikit
tragedi mewarnai perjalanan kami saat seorang teman, sebut saja inisialnya
Danang, dipepet polisi yang kurang kerjaan gara-gara lampu belakangnya mati di
daerah sudirman. Yang bikin nggak masuk akal adalah, selama temen gue itu
diinterogasi (ditilang bahasa gaulnya), banyak juga motor-motor dengan
pengendaranya yang juga nggak masuk akal, ada yang nggak pake helm, bahkan
ekstrimnya udah bonceng tiga tapi satupun dari mereka pake helm. Pastinya yang
lebih nggak masuk akal lagi adalah, tak satupun
dari pengendara gokil itu yang ditangkep, cuma temen gue satu itu yang
selain lampu belakangnya mati, tak ada pelanggaran lain yang dia lakukan.
Untung saja, nggak sampe ketilang dan kena charge
sama si polisi nggak masuk akal itu.
Saran gue, kalo ketemu polisi di tengah malem kayak gitu di Jakarta, mending
langsung copot helm, sambil ngelewein polisi itu sekalian, pasti polisinya
langsung bales. Oke, ini nggak masuk akal.
Sampai di
Monas, suasana masih rame, mas-mbak. Ternyata gue salah, nggak cuma kami
berenam yang punya nafsu untuk menikmati malam berbeda di Jakarta ini. Ratusan
bahkan ribuan pasang manusia yang disebut dua sejoli banyak kami temui di area
Monas ini. Sedangkan kami berenam udah
kayak power ranger yang sedang berburu Gordon. Bahkan lo tau kan, power ranger
pun pasti ada ceweknya, lah kami? batangan semua sob. Dan gue baru sadar kalo
ini malem minggu (ooo…pantes ). Setelah berfoto-foto dengan berbagai gaya alay
bareng ondel-ondel yang menurut temen gue, sebut saja inisialnya Adi, nyeremin
karena langkahnya yang kayak ngawang itu,
kami langsung nyari spot deket Monas nya langsung. Nikmat tuhan mana lagi yang
lo dustakan setelah berfoto-foto di depan tugu monas…tugu monas men…tugu monas!
(ampun deh…katrok banget gue ya).
Puas di
monas, destinasi berikutnya ialah mampir wisata kuliner malam yang sangat
familiar di Kemayoran, tansu. Apa
itu? Tansu itu ketan susu, sob. Sampai di tkp, buset rame banget ternyata
karena kawasan itu ya emang tempat nongkrong banyak kalangan. Selain itu daerah
yang berbau 17++ juga nggak jauh-jauh amat dari situ, bahkan baunya udah kecium
dari tempat parkir motor kami. Balik lagi ke tansu, sialnya pas nyampe situ pedagang yang cuma satu-satunya itu
dan buka 24 jam, sedang kehabisan stok tansu.
Kami harus menunggu sejam sebelum mateng di giliran berikutnya. Buset emang
laris banget ini dagangan.
Sejam
berlalu dan pesenan kami dateng, dan ternyata men…tansu ini nggak jauh beda sama makanan dari kampong gue yang namanya
kepok. Sama-sama dari ketan yang
dikasih parutan kelapa. Bedanya cuma tansu
ini dikasih susu putih kental manis dan makannya di atas piring kecil pake
sendok, udah. Gue ditipu men, ditipu, karena di imajinasi gue tansu ini makanan yang spektakuler yang tampilannya
sangat aduhai atau mungkin minimal kayak macam onigiri atau juga chicken
roll (nyambung nggak?). Dan harganya ya…murah meriah men. Seporsi tansu ditambah satu gorengan ditambah
teh manis cuma perlu kocek lima rebu rupiah. Rasanya, manis, gurih dan ketan
banget sekaligus susu banget, coba deh main ke tansu kemayoran.
Here we are... |
Pukul tiga
pagi, kami menuju ke kawasan Kota Tua. Kota Tua identik dengan Museum
Fatahillah, Museum Wayang, Museum Keramik atau Café Batavia, tapi bukan itu
tujuan kami. Sudah gue bilang kan, gue nggak suka mainstream jadi harus yang beda, jadi Pelabuhan Sunda Kelapa atau
bahasa jawanya Sunda Kelapa Harbour menjadi arah yang kami tuju. Gue sempat
lihat informasi seputar Pelabuhan Sunda Kelapa itu dari internet dan tempatnya
kayaknya eksotis dan gue yakin cukup mistis apalagi dinikmati di pagi buta
gini.
Benar dugaan
gue, Sunda Kelapa ini memang unik. Sepanjang mata memandang, yang kelihatan
adalah kapal-kapal yang sedang parkir dan tumpukan peti kemas serta alat-alat
berat khas pelabuhan. Tempat ini sangat bersejarah bagi Jakarta. Dulunya di
jaman Belanda, Sunda Kelapa menjadi pelabuhan dagang besar yang menjadi tempat
transit banyak pedagang dari seluruh dunia.
Sebenarnya
gue masih penasaran gimana cara markirin itu kapal-kapal, tapi belum sempat
nanya ke orang sekitar. Bayangin aja, kapal-kapal yang bersandar saling
berdempetan masuk area dermaga yang bisa dibilang sempit untuk ukuran kapal
yang sedemikian besar. Nggak kebayang pasti penghasilan tukang parkir kapal
sangat amat gede (?)
Misi
sebenarnya di Sunda Kelapa ini adalah berburu sunrise. Kami muter-muter nyari
spot yang paling bagus untuk menikmati matahari terbit dari ufuk timur. Setelah
sholat subuh di Masjid Baharen, kami menuju ke tepian dermaga. Tadinya kami
takut apa boleh kita menaiki kapal-kapal yang bersandar itu, soalnya dari ujung
dermaga pemandangannya terhalang oleh kapal-kapal yang super-big itu. Ternyata dibolehin setelah nanya ke orang kapal
(bener nggak nyebutnya…?). Gue pertama naik ke dek kapal diikuti kelima temen
gue yang tadinya juga takut-takut mau ikutan naik tapi setelah gue komporin
kalo pemandangannya super keren eh mau juga.
Jujur,
pemandangan dari atas sini memang keren. Bisa dilihat di depan sana sekitar
seratus meter ada semacam pintu gerbang menuju dermaga itu. Sisi kiri-kanan
gerbangnya cuma semacam tiang yang diatasnya lampu yang kelap-kelip tiada
henti. Di lepas laut sana terlihat perahu-perahu nelayan yang entah sedang
melaut atau sepertinya sih baru pulang melaut. Kelihatan lampu di atas perahunya
yang samar dan kelap-kelip juga. Di kejauhan masiih terlihat pemandangan
lampu-lampu dari gedung-gedung di kota. Paling menakjubkan ialah pemandangan di
atas horizon, sinar keemasan mulai mengintip dari bali awan pekat hitam
kebiruan. Setelah menunggu beberapa saat, sang mentari tak kunjung menunjukkan
batang hidungnya. Ternyata awan pekat itu tak rela untuk mengeluarkan sang
mentari dari persembunyiannya. Kecewa.
Baiklah,
hari ini gue gagal menikmati sunrise yang sesungguhnya di Sunda Kelapa. Tapi
kepuasan karena akhirnya bisa juga menikmati pesonanya di momen yang tak biasa,
cukup mengobati rasa kecewa gue. Sebenarnya masih ada beberapa tempat menarik
di sekitar Sunda Kelapa ini, seperti Toko Merah, Jembatan Intan, Menara
Syahbandar, dan lain-lain, tapi karena cukup lelah setelah semalaman nggak
tidur, akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Sebelum pulang, kami menyempatkan
diri mampir di area Museum Fatahillah untuk sarapan bubur ayam. Nikmat mana
lagi yang terdustakan, kawan?
Pelabuhan Sunda Kelapa |
Sunda
Kelapa, 31 Maret 2013
No comments:
Post a Comment