Sunday, March 31, 2013

Jakarta Night Trip: Menikmati Sudut Malam Jakarta



Menanti sunrise di Sunda Kelapa
Jakarta, sebuah kota megapolitan dengan segala hingar-bingar kesibukannya, dikenal dengan kota yang tak pernah tidur. Ya, sebelas-duabelas sama NY lah. Kemacetan, panas, polusi udara, kebisingan, bau menyengat menjadi warna kota yang dulunya dikenal dengan nama Batavia ini. Selain itu, gedung-gedung tinggi, pusat-pusat perbelanjaan modern, hingga pemukiman kumuh memberikan kesan kontras. Masyarakatnya yang heterogen dengan berbagai latar belakang, menghuni setiap sudutnya. Di sisi lain, pesona eksotisme kota ini masih cukup mengundang bagi para pemburu tempat-tempat unik dan menarik. Apalagi jika mendatanginya pada momen yang tidak biasa.

Berawal dari obrolan ringan di kosan, gue bareng lima temen berniat melakukan trip yang beda dari biasanya kebanyakan orang menikmati Jakarta. Jakarta Night Trip, kami menyebutnya. Menikmati Jakarta di siang hari mungkin sudah terlalu biasa bagi gue yang punya derajat kepenasaran terlalu over dan suka hal-hal baru yang ekstrim. Jakarta harus gue eksplor dengan cara yang lain dari biasanya. JNT ini juga terinspirasi dari beberapa artikel di internet yang membahas beberapa tempat di Jakarta yang menarik untuk dinikmati di malam hari.

Berangkat dari kosan di Jagakarsa pukul 23.00 WIB, dengan sepeda motor kami menuju destinasi pertama kami yaitu Monas, sekalian sebagai meeting point dengan seorang rekan yang sudah menunggu di sana. GPS menjadi penunjuk jalan kami dan gue tekankan buat lo semua: jangan percaya seratus persen pada GPS atau paling nggak, pastikan orang yang membaca GPS itu bener-bener bisa membacanya dan sigap! Kecuali lo pengen meskipun udah pake GPS tapi tetep aja salah jalan dan atau yang seharusnya belok tapi si pembaca GPS bilang beloknya setelah ngelewatin belokannya. Nggak guna kan? (ya tetep guna sih…hahaha)

Sedikit tragedi mewarnai perjalanan kami saat seorang teman, sebut saja inisialnya Danang, dipepet polisi yang kurang kerjaan gara-gara lampu belakangnya mati di daerah sudirman. Yang bikin nggak masuk akal adalah, selama temen gue itu diinterogasi (ditilang bahasa gaulnya), banyak juga motor-motor dengan pengendaranya yang juga nggak masuk akal, ada yang nggak pake helm, bahkan ekstrimnya udah bonceng tiga tapi satupun dari mereka pake helm. Pastinya yang lebih nggak masuk akal lagi adalah, tak satupun  dari pengendara gokil itu yang ditangkep, cuma temen gue satu itu yang selain lampu belakangnya mati, tak ada pelanggaran lain yang dia lakukan. Untung saja, nggak sampe ketilang dan kena charge sama si polisi nggak masuk akal itu. Saran gue, kalo ketemu polisi di tengah malem kayak gitu di Jakarta, mending langsung copot helm, sambil ngelewein polisi itu sekalian, pasti polisinya langsung bales. Oke, ini nggak masuk akal.

Sampai di Monas, suasana masih rame, mas-mbak. Ternyata gue salah, nggak cuma kami berenam yang punya nafsu untuk menikmati malam berbeda di Jakarta ini. Ratusan bahkan ribuan pasang manusia yang disebut dua sejoli banyak kami temui di area Monas ini.  Sedangkan kami berenam udah kayak power ranger yang sedang berburu Gordon. Bahkan lo tau kan, power ranger pun pasti ada ceweknya, lah kami? batangan semua sob. Dan gue baru sadar kalo ini malem minggu (ooo…pantes ). Setelah berfoto-foto dengan berbagai gaya alay bareng ondel-ondel yang menurut temen gue, sebut saja inisialnya Adi, nyeremin karena langkahnya yang kayak ngawang itu, kami langsung nyari spot deket Monas nya langsung. Nikmat tuhan mana lagi yang lo dustakan setelah berfoto-foto di depan tugu monas…tugu monas men…tugu monas! (ampun deh…katrok banget gue ya).

Puas di monas, destinasi berikutnya ialah mampir wisata kuliner malam yang sangat familiar di Kemayoran, tansu. Apa itu? Tansu itu ketan susu, sob. Sampai di tkp, buset rame banget ternyata karena kawasan itu ya emang tempat nongkrong banyak kalangan. Selain itu daerah yang berbau 17++ juga nggak jauh-jauh amat dari situ, bahkan baunya udah kecium dari tempat parkir motor kami. Balik lagi ke tansu, sialnya pas nyampe situ pedagang yang cuma satu-satunya itu dan buka 24 jam, sedang kehabisan stok tansu. Kami harus menunggu sejam sebelum mateng di giliran berikutnya. Buset emang laris banget ini dagangan.

Sejam berlalu dan pesenan kami dateng, dan ternyata men…tansu ini nggak jauh beda sama makanan dari kampong gue yang namanya kepok. Sama-sama dari ketan yang dikasih parutan kelapa. Bedanya cuma tansu ini dikasih susu putih kental manis dan makannya di atas piring kecil pake sendok, udah. Gue ditipu men, ditipu, karena di imajinasi gue tansu ini makanan yang spektakuler yang tampilannya sangat aduhai atau mungkin minimal kayak macam onigiri atau juga chicken roll (nyambung nggak?). Dan harganya ya…murah meriah men. Seporsi tansu ditambah satu gorengan ditambah teh manis cuma perlu kocek lima rebu rupiah. Rasanya, manis, gurih dan ketan banget sekaligus susu banget, coba deh main ke tansu kemayoran.

Here we are...
Pukul tiga pagi, kami menuju ke kawasan Kota Tua. Kota Tua identik dengan Museum Fatahillah, Museum Wayang, Museum Keramik atau Café Batavia, tapi bukan itu tujuan kami. Sudah gue bilang kan, gue nggak suka mainstream jadi harus yang beda, jadi Pelabuhan Sunda Kelapa atau bahasa jawanya Sunda Kelapa Harbour menjadi arah yang kami tuju. Gue sempat lihat informasi seputar Pelabuhan Sunda Kelapa itu dari internet dan tempatnya kayaknya eksotis dan gue yakin cukup mistis apalagi dinikmati di pagi buta gini.

Benar dugaan gue, Sunda Kelapa ini memang unik. Sepanjang mata memandang, yang kelihatan adalah kapal-kapal yang sedang parkir dan tumpukan peti kemas serta alat-alat berat khas pelabuhan. Tempat ini sangat bersejarah bagi Jakarta. Dulunya di jaman Belanda, Sunda Kelapa menjadi pelabuhan dagang besar yang menjadi tempat transit banyak pedagang dari seluruh dunia.

Sebenarnya gue masih penasaran gimana cara markirin itu kapal-kapal, tapi belum sempat nanya ke orang sekitar. Bayangin aja, kapal-kapal yang bersandar saling berdempetan masuk area dermaga yang bisa dibilang sempit untuk ukuran kapal yang sedemikian besar. Nggak kebayang pasti penghasilan tukang parkir kapal sangat amat gede (?)

Misi sebenarnya di Sunda Kelapa ini adalah berburu sunrise. Kami muter-muter nyari spot yang paling bagus untuk menikmati matahari terbit dari ufuk timur. Setelah sholat subuh di Masjid Baharen, kami menuju ke tepian dermaga. Tadinya kami takut apa boleh kita menaiki kapal-kapal yang bersandar itu, soalnya dari ujung dermaga pemandangannya terhalang oleh kapal-kapal yang super-big itu. Ternyata dibolehin setelah nanya ke orang kapal (bener nggak nyebutnya…?). Gue pertama naik ke dek kapal diikuti kelima temen gue yang tadinya juga takut-takut mau ikutan naik tapi setelah gue komporin kalo pemandangannya super keren eh mau juga.

Jujur, pemandangan dari atas sini memang keren. Bisa dilihat di depan sana sekitar seratus meter ada semacam pintu gerbang menuju dermaga itu. Sisi kiri-kanan gerbangnya cuma semacam tiang yang diatasnya lampu yang kelap-kelip tiada henti. Di lepas laut sana terlihat perahu-perahu nelayan yang entah sedang melaut atau sepertinya sih baru pulang melaut. Kelihatan lampu di atas perahunya yang samar dan kelap-kelip juga. Di kejauhan masiih terlihat pemandangan lampu-lampu dari gedung-gedung di kota. Paling menakjubkan ialah pemandangan di atas horizon, sinar keemasan mulai mengintip dari bali awan pekat hitam kebiruan. Setelah menunggu beberapa saat, sang mentari tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Ternyata awan pekat itu tak rela untuk mengeluarkan sang mentari dari persembunyiannya. Kecewa.

Baiklah, hari ini gue gagal menikmati sunrise yang sesungguhnya di Sunda Kelapa. Tapi kepuasan karena akhirnya bisa juga menikmati pesonanya di momen yang tak biasa, cukup mengobati rasa kecewa gue. Sebenarnya masih ada beberapa tempat menarik di sekitar Sunda Kelapa ini, seperti Toko Merah, Jembatan Intan, Menara Syahbandar, dan lain-lain, tapi karena cukup lelah setelah semalaman nggak tidur, akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Sebelum pulang, kami menyempatkan diri mampir di area Museum Fatahillah untuk sarapan bubur ayam. Nikmat mana lagi yang terdustakan, kawan?
Pelabuhan Sunda Kelapa


Sunda Kelapa, 31 Maret 2013

No comments:

Post a Comment