Sumber: search button from Twitter for Blackberry |
Jangan bebani harimu
dengan “sumpah pemuda” yang muluk-muluk. Mending yang simpel tapi konsisten dan
komitmen pada apa yang diucapkan.
Hari ini di twitter
begitu ramai twit yang mengutarakan pendapat mereka mereka mengenai Sumpah
Pemuda. Apa mereka tahu maknanya atau tidak, itu urusan lain. Pokoknya lihat
apa yang lagi rame, langsung deh ikutan. Twitnya pun bermacam-macam,
mulai dari sekedar mengucapkan selamat
hari sumpah pemuda, mengkritisinya, mengalaykan, bahkan menggalaui Hari
Sumpah Pemuda pun ada.
Saya tertarik dengan
twit seorang wanita yang cukup simpel tapi silakan dinilai sendiri. Demikian
isi twitnya:
Apa yang terpikirkan ketika
membaca twit tersebut? Biasa saja? Atau ada yang ‘menggelitik’ kita? Mungkin
banyak yang menganggapnya biasa saja, karena cukup banyak yang me-retweet-nya.
Atau mungkin (lagi-lagi) mereka tidak tahu, lebih tepatnya tidak mau tahu.
Apatis bahasa gaulnya kaliyaaa...
Masyarakat twitter di
Indonesia sebagian besar memang generasi muda. Bisa dikatakan hampir 95%
penduduknya (unnofficial survey). Bagaimanapun, ungkapan atau twit-twit
‘masyarakat timeline’ ini bisa merepresentasikan karakternya. Fakta ini
tentunya bisa menimbulkan pro-kontra tapi yang jelas representasi kehidupan
nyata dari twit pengguna begitu kentara. Memang, twitter tidak bisa digunakan sebagai
parameter penilaian karakter seseorang apalagi suatu bangsa. Tulisan saya ini
pun tidak didukung oleh data-data ilmiah yang mendukung. So, this is my opinion. That’s
yours if you’ll accept or reject it.
Back to the point,
entah berawal dari dimensi mana, Indonesia sekarang menjadi bangsa seremonial.
Begitu WAH dengan seremoni dan award tapi lupa dengan substansi dari seremoni
yang dilakukan. Contoh nyatanya dan paling dekat adalah sekarang ini, Sumpah
Pemuda. Sekali lagi, momentum ini saya lihat menjadi ajang seremonialitas bagi
sebagian besar bangsa, khususnya pemuda-pemudi Indonesia.
Bukti? Bisa
diperhatikan dengan seksama twit wanita yang saya cantumkan di atas. Kesan
pertama saya ketika membacanya ialah bahwa momentum realisasi sumpah-sumpah pemuda
harus dilakukan hari ini. Terus hari yang lain bagaimana? Argumentasi saya
mungkin akan dibantahkan oleh stetmen “daripada
tidak direalisasikan sama sekali nah bagaimana?”. Memang kita ini sudah
terjebak dalam lingkaran setan sebagai bangsa yang suka ngeles, pintar cari alasan dan pembenaran atas apa yang sebenarnya
keliru.
Seremonialitas sumpah
pemuda bukan hal yang salah, itu juga sebagai bentuk penghargaan kita terhadap
perjuangan dan semangat pemuda pada 28 Oktober, 84 tahun silam. Tapi yang lebih
penting, bagi kita khususnya generasi muda, adalah memahami substansi dari
momentum sumpah pemuda ini. Bahwa semangat dan komitmen yang ditunjukkan oleh
pemuda-pemudi Indonesia pada waktu itu untuk menjunjung tinggi harkat dan
martabat bangsa menuju integritas persatuan dan kesatuan dengan semangat
terbarukan.
Indonesia hari ini,
berbeda ruang dan waktu dengan Indonesia 84 tahun silam. Hari ini, tantangan
dan tekanan datang dari segala penjuru dan dalam beraneka ragam bentuk. Sebagai
pemuda yang memiliki semangat juang dan tidak sekedar banyak cakap di luar tapi
melompong di dalam, sudah seharusnya kita menunjukkan aksi nyata. Aksi nyata
dalam rangka membawa Indonesia ke arah cahaya keemasan, lumbung kesejahteraan
dan bahtera kejayaan.
Lagi-lagi, itu hanya
bisa dicapai oleh kita sebagai bangsa bukan individu. Seperti yang saya
ungkapkan di awal tulisan ini, jangan bebani dirimu dengan sumpah-sumpah yang
muluk, lebih baik simpel tapi konsisten pada sumpah tersebut. Mulai dari diri
sendiri, tanamkan bahwa;
I am not a ceremonial person,
I am a substantialer,
I am an inventor,
I am what I choose to be.Bukan janji dan sumpah muluk yang diharapkan bangsa ini dari kita, tapi aksi nyata, konsisten dan kontinuitas aksi tersebut yang akan membawa bangsa ini menjadi bangsa yang diakui, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Sumpah Pemuda, Jakarta
28 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment