Merasa termarjinalkan,
lagi-lagi perasaan seperti ini turut mewarnai hariku dari kemarin. Memikirkan
kata-kata ibu di telepon dan short
message yang intinya sama. Aku jadi anak bagaimana sebenarnya? Jauh dari
orang tua, dulu jadi anak paling bandel di rumah, tidak bisa merawat diri
sendiri dan sekarang jatuh sakit. Merasa termarjinalkan, warna kelabu temaram
menjadi aura yang mengikutiku mungkin sejak kemarin
Ibu bilang,”salah
sendiri tidak pulang, kalau sakit beneran ya sana rasain sendiri, kalau udah
sembuh cepet kabarin.” Mungkin tidak ada yang salah dengan kata-kata itu. Tapi
entah kenapa aku begitu memikirkannya. Kata-kata itu diulang dan sama persis di
layar henpon dan di telinga.
Intonasinya sama, datar tapi emosional. Jangan tanya ekspresi macam apa itu.
Yang jelas aku menangkap nada kekecewaan seorang ibu.
Entahlah, aku
termarjinalkan. Secara naluri inang dan pemikiran mungkin. Menjelang idul adha
kemarin aku memang jatuh sakit. Imunitas menurun dan influenza menyerang.
Ditambah leher serasa ditimpa sekarung beras, ngilu dan kaku. Kebanyakan teman
satu kosan pulang ke kampung halamannya, merayakan lebaran qurban bersama
keluarganya. Aku biasanya juga demikian. Tapi tahun ini, entahlah. Aku tidak
ada keinginan pulang walaupun sebenarnya ingin. Biasanya walaupun tidak pulang
kampung, minimal aku pulang ke rumah kakakku di Bekasi. Lebaran qurban bareng
keponakan di sana. Biasanya selalu ada tradisi barbeque party semalam setelah idul adha. Maklum, daging banyak
tinggal bakar.
Tapi kali ini, aku termarjinalkan.
Secara fisik dan hati. Aku kembali memikirkan kata-kata ibuku kemarin dan pagi
tadi di sms.
Terasingkan memang
bukan hal yang mengenakkan. Sungguh. Itu hanya akan membuatmu merasa sepi dan
kurang berguna. Dalam hal apapun. Aku merasa getir di dada. Tak tahu mungkin
pikiranku terlalu tinggi mengawang dan tak tahu jalan pulang. Sekarang, tinggal
nurani berbalut seonggok daging kemanusiaan. Nurani berkata tanpa diimbangi
logika untuk berpikir. Melankolis dramatis, tapi mengalun cukup statis. Satu
per satu serpihan piringan hitam memori aku ratakan.
Terasingkan membuatku
berpikir. Tidak hal lain sesederhana keterlibatan. Ketika terlibat, jelas kita
masuk dalam hal yang kita libatkan. Ketika melibatkan diri, membuat kita
mengerti apa yang kita libati. Ketika aku mengerti apa yang aku libati, aku
percaya dia selalu ada meski dalam dimensi berbeda. Seketika aku tersadar,
sejujurnya aku tak pernah termarjinalkan. Semua itu fatamorgana.
Ibu, I miss you in my every single breath I have
breathe away. I knew you always here (heart).
My Room, one corner of the room in my brain. October, 27th 2012
No comments:
Post a Comment